German
English
Turkish
French
Italian
Spanish
Russian
Indonesian
Urdu
Arabic
Persian

Kitab suci dan sabda tuhan

I. Muslim Bertanya

 

  • Mengapa Injil berjumlah empat dan bukan satu? Manakah Injil yang bersifat asli?
  • Apakah adanya perbedaan penyajian di dalam ke-empat Injil merupakan bukti bahwa Injil itu sudah tidak asli lagi?
  • Bagaimana mungkin Kitab Suci adalah Sabda Tuhan kalau hampir semua Kitab itu memakai nama pengarangnya (Yesaya, Mateus, Markus, dsb.)? Mereka mungkin hanya bisa menjadi “Pembawa berita”, yakni wahyu yang disampaikan kepada mereka.
  • Bagaimana bisa mengukur kredibilitas para penulis Kitab Suci sebagai “Pembawa berita” padahal mereka sendiri bukan saksi mata terhadap wahyu dan bukan juga merupakan orang-orang yang menerima dan memberikan berita dari para pendahulu dan menyampaikannya kepada generasi-generasi berikut secara tidak terputus, sebagaimana terjadi dengan kumpulan tulisan berbagai kata dan tindakan Nabi Muhammad SAW yang disebut hadïth itu? Penginjil Lukas misalnya tidak pernah bertemu dengan Yesus secara pribadi dan dalam awal Injilnya pun dia tidak menyebut nama-nama pendahulu yang memiliki otoritas sebagai saksi-saksi tentang hidup dan karya Yesus (lihat Luk.1:1-4).

 

II. Pandangan Muslim

 

Secara umum

 

Pada prinsipnya Muslim menggunakan cara menilai al-Qur’ān sebagai patokan untuk menilai ke-empat Injil dan juga seluruh Alkitab. Dalam iman Islam, al-Qur’ān dilihat sebagai model dan kriteria untuk setiap Kitab Suci yang diwahyukan oleh Allah. Al-Qur’ān adalah Sabda Allah yang diturunkan secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Seorang nabi dalam hal ini tidak kurang dan tidak lebih adalah pembawa Sabda yang diterima itu kepada orang lain. Naskah Sabda yang diterima adalah satu dan asli, tanpa pernah melibatkan peran manusia di dalamnya.

 

Al-Qur’ān adalah kriteria (furqān). Setiap Kitab Suci yang lain harus berorientasi pada kriteria ini. Alkitab bersama Injil hanya bisa disebut Firman Allah kalau mereka selaras dengan al-Qur’ān. Siapa yang sudah memiliki al-Qur’ān, tidak perlu membaca Kitab-kitab lain, karena Kitab-kitab tersebut dianggap sudah dirobah atau minimal tidak dipahami oleh para pemegang Kitab ini secara benar, dan tidak sesuai lagi dengan naskah-naskah asli. Lazimnya orang-orang Muslim tidak memiliki keinginan yang besar untuk membaca Alkitab kecuali didorong oleh rasa ingin tahu untuk menemukan apa yang diklaim sebagai kelemahan-kelemahan Alkitab yang berpengaruh terhadap ajaran dan praktek hidup orang Kristiani. Sebetulnya dengan melakukan ini, orang-orang Muslim sekaligus mempertanyakan al-Qur’ān, yang merupakan kebenaran terakhir yang terwahyu.

 

Pandangan Khusus

 

1. Dalam Islam hanya ada satu Kitab abadi yang disebut ”Ibu dari segala Kitab” (umm al-kutūb, Sura 3,7; 13,39; 43,4). Umm al-kutūb adalah Firman Allah yang tidak pernah dirobah dan tersimpan dalam al-lauh al-mahfūz (Sura 85,22). Dalam perjalanan waktu Kitab asli ini diwahyukan kepada nabi-nabi terhormat: kepada Musa dalam bentuk Taurat (kurang lebih identik dengan Pentateukh), kepada Daud dalam bentuk Mazmur (zabūr) kepada Yesus dalam bentuk Injil (indschïl), dan pada akhirnya kepada Muhammad dalam bentuk al-Qur’ān berbahasa Arab. Semua Kitab ini didiktekan oleh Allah kepada para nabi yang berkewajiban untuk meneruskannya kepada orang-orang lain, kata demi kata tanpa ada pemalsuan.

 

2. Setiap Kitab di atas adalah sebuah versi lain dari Kitab kekal yang satu dan sama. Semua Kitab itu memuat pesan yang satu dan sama pula, yakni berupa teguran atau peringatan: Engkau harus menyembah Allah yang tunggal dan benar, dan tidak boleh menyetarakan Dia dengan sebuah wujud ciptaan yang lain. Dengan demikian Kitab Suci orang Yahudi dan orang Kristiani memiliki kesamaan pesan dengan al-Qur’ān; yang diyakini oleh umat Muslim sebagai Kitab terakhir dalam bahasa Arab dan memiliki kadar kebenaran paling hakiki dari segala Kitab dan isinya pun disajikan secara paling jelas dan indah. Sedangkan ketidakcocokan antara Alkitab dengan al-Qur’ān disebabkan oleh kesalahan orang Kristiani dan Yahudi pada masa lalu yang tidak setia menjaga keotentikan Kitab mereka tetapi memalsukannya (harrafa, tahrïf).

 

3. Para Teolog dan Apologet Muslim menggunakan pelbagai dalih untuk menunjukkan bahwa Taurat dan Injil sudah tidak otentik lagi.

- Lima buku pertama dari Alkitab (Pentateukh) tidak bisa merupakan tulisan nabi Musa, misalnya karena Kitab Ulangan 34,5-8 (Kitab ke-5) berbicara tentang kematian Musa. Bagian ini seharusnya bukan ditulis oleh Musa sendiri melainkan oleh seorang penulis lain. Hal serupa dapat ditemukan juga dalam bagian lain dari Alkitab.

- Injil-injil dalam Kitab Suci Perjanjian Baru penuh dengan kontradiksi, misalnya menyangkut ceritra tentang silsilah Yesus, tentang Yesus memasuki Kota Yerusalem dan tentang penyangkalan Petrus. Selain itu Injil-injil ditulis oleh keempat orang berbeda, dan tidak satupun dari mereka pernah bertemu dengan Yesus secara langsung. Oleh karena itu ke-4 Injil tidak bisa memenuhi kriteria paling fundamental tentang sebuah tradisi yang valid seperti yang ditulis dalam hadïth matawātir bahwa sebuah perkataan atau perbuatan nabi harus berada dalam sebuah rangkaian cerita yang tidak terputus hingga pada pencerita pertama.

- Orang Kristen mengakui bahwa mereka tidak memasukan sejumlah Injil ke dalam Kitab Kanonik karena Injil-injil itu merupakan Injil-injil apokrif. Salah satu dari Injil-injil apokrif itu sebenarnya merupakan Injil yang asli karena isinya membenarkan al-Qur’ān. Banyak umat Muslim percaya bahwa sebuah Injil otentik sudah ditemukan dan disebut Injil Barnabas.

- Kedatangan nabi Muhammad yang diramalkan oleh Taurat dan Injil sebetulnya dikaburkan oleh orang Kristiani (bdk. Sura 7,157; 61,6). Akan tetapi jejak ramalan kedatangan Muhammad ini masih bisa ditemukan dalam Alkitab. Kitab Taurat berbicara tentang seorang nabi, seperti nabi Musa, yang akan datang (bdk. Ul 18,15): Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan”. Injil Yohanes (14,26) menulis bahwa nanti ada seseorang ”yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu…”.

- Selain itu terdapat juga ilmuwan Muslim di masa lalu dan juga masa kini(1) yang menerima teks Alkitab seperti yang orang Kristiani akui dan miliki saat ini. Mereka menganuti pandangan bahwa pemalsuan Alkitab seperti yang diklaim oleh al-Qur’ān semata-mata berdasarkan interpretasi atas ungkapan-ungkapan Alkitab yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Kristiani perdana (Paulus!) dan dengan itu tidak mengungkapkan fakta adanya pemutarbalikan Alkitab. Ada juga penulis-penulis Muslim jaman ini(2) mengakui bahwa Injil-injil sebetulnya ditulis berdasarkan pengetahuan akan peristiwa-peristiwa historis. Toh mereka juga memberikan catatan bahwa penjelasan Kristiani sama sekali tidak menutup kemungkinan terhadap interpretasi-interepretasi lain termasuk interpretasi Muslim.

- Cara serupa itu sudah dimulai juga oleh segelintir pemikir Muslim(3) yakni menginterpretasi al-Qur’ān dengan menggunakan prinsip-prinsip modern terhadap upaya interpretasi teks. Tetapi para pemikir ini lazimnya menemukan kesulitan terutama dari pihak-pihak akademik dan politik.

 

III. Pandangan Kristiani

 

1. Menurut orang Kristiani, Sabda Allah pada tempat pertama merupakan pewahyuan diri Allah dalam sejarah manusia. Kitab Suci Perjanjian Lama bersaksi tentang kisah Eksodus sebagai peristiwa pembebasan dari perbudakan di Mesir, tentang ikatan perjanjian di Gunung Sinai dan tentang kisah perolehan Tanah Terjanji sebagai bukti keberpihakan Allah terhadap manusia dalam arti ingin tetap berada dekat dengan manusia untuk menyelamatkannya. Orang Kristiani memberikan artikulasi iman dalam tulisan-tulisan Kitab Suci Perjanjian Baru, bahwa Yesus Kristus adalah Sabda Allah dan wahyu sempurna dan terakhir dari Allah Israel untuk semua bangsa. Terdapat juga perbedaan-perbedaan dalam pemilihan dan penentuan tekanan, seperti misalnya sebuah perbandingan dari kisah-kisah sengsara dari keempat Injil. Kesamaan mereka dalam kisah-kisah Perjanjian Baru ini adalah bahwa mereka memaparkan kata-kata dan tindakan-tindakan Yesus dalam terang kebangkitanNya. Baru pada kebangkitanNya, Yesus menampakkan hakikat-Nya yang sebenarnya dan sekaligus kedalaman firmanNya.

 

2. Alkitab, juga termasuk keempat Injil ditulis oleh para penulis yang sudah “diinspirasi” oleh Allah sendiri. Alkitab adalah Sabda Allah oleh karena ditulis di bawah inspirasi Ilahi. Dalam berbagai “Kitab” di dalam Kitab Suci itu sendiri terdapat tulisan-tulisan yang dihimpunkan setelah sebuah periode pewarisan lisan. Hasilnya adalah teks-teks Kitab Suci yakni Alkitab yang disebut Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru yang dijaga dan digunakan oleh Gereja hingga saat ini. Menurut iman Gereja Alkitab memberikan kesaksian dalam keseluruhannya tentang karya dan solidaritas dari Allah. Sebagai orang-orang beriman kita berjumpa dengan Sabda Allah di dalam Kitab Suci. Para rasul merujuk secara terus-menerus kepada Kitab Suci Perjanjian Lama. Oleh sebab itu kita juga harus melewati sekolah Kitab Suci Perjanjian Lama untuk bisa memahami Kitab Suci Perjanjian Baru.

 

3. Sabda Allah berjumpa dengan kita dalam bahasa manusia. Para nabi mewartakan Sabda Allah yang diterima secara mendetail kepada para pendengar. Para pendengar dan kelompok-kelompoknya menggunakannya dalam konteks situasi tersendiri. Para penginjil mewartakan pesan Kitab Suci juga dalam konteks situasi jemaat Kristiani perdana. Hal ini menjelaskan mengapa terdapat perbedaan-perbedaan dan variasi di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru. Semuanya hanya merupakan perbedaan cara pandang terhadap wahyu yang satu dan sama. Para penulis Kitab Suci bukan semata-mata penyambung lidah. Mereka mewartakan melalui cara-cara khas sehingga Sada Allah yang sudah diterima dapat diaktualisasi.

 

Prinsip-prinsip analisa teks modern membantu untuk menemukan apa sesungguhnya yang betul dan benar menyangkut kesaksian iman jemaat-jemaat Kristiani perdana dan apa yang dikatakan serta dilakukan oleh Yesus. Setelah kita menerima aturan-aturan dasar interpretasi yang sudah tersedia dalam Alkitab sendiri, kita akan dibantu untuk memahami Yesus dalam konteks situasi kita.

 

IV. Kristiani Menjawab

 

1. Adalah penting pada tempat pertama untuk menghadirkan kembali posisi Muslim karena Muslim menilai Injil dengan menggunakan standard al-Qur’ān. Hanya dengan demikian kita bisa berbicara tentang pandangan iman Kristiani. Bagi orang Kristiani, pandangan iman Kristiani yang lahir dari pesan Injil, merupakan tolok ukur kebenaran iman.

 

2. Adalah tidak menguntungkan dalam upaya dialog jika pertama-tama terdapat upaya untuk menekankan perbedaan-perbedaan antara keempat Injil atau mengembalikan keharmonisan di antara keempat Injil. Pertanyaan-pertanyaan inti seharusnya menjadi penekanan utama.

 

3. Injil pada prinsipnya bukan sebuah buku atau kitab. Kata Yunani euangelion berarti „Kabar gembira (keselamatan)“ (al-bushrà). Kabar Gembira ini tidak lain dan tidak bukan adalah kasih Allah yang disharingkan oleh Yesus Putera Allah. Kabar ini mula-mula disampaikan oleh Yesus secara lisan dan diteruskan pula oleh para rasul secara lisan. Mereka adalah saksi-saksi kehidupan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus.

 

4. Kita bersaksi bahwa Yesus adalah Sabda Allah dan pewahyuan diri Allah sendiri. Juga al-Qur’ān menyebut Yesus sebagai Sabda Allah (kalimat Allāh, Sura 4, 171; bdk. 3,39-45), hanya tidak menerima Yesus sebagai Patera Allah.

 

5. Keempat Injil berbicara tentang Yesus Kristus. Keempat Injil tersebut ditulis dalam terang iman akan Yesus yang bangkit. Jika para pendengar dan pembaca memiliki iman yang sama mereka dapat berjumpa dengan Yesus yang adalah Tuhan.

 

6. Apa yang kita sebut keempat Injil mencerminkan – seperti terungkap dalam kategori Muslim – “Tradisi” Gereja, yakni penghadiran kembali pesan Yesus secara tertulis dalam komunitas Kristiani. Pesan tersebut mula-mula diwartakan secara lisan kemudian ditulis sepanjang babak kedua abad pertama (bdk III).

 

7. Keempat Injil dan juga keseluruhan Alkitab memiliki sejumlah variasi teks yang pada umumnya cocok satu dengan yang lain, tetapi di antaranya terdapat juga perbedaan-perbedaan. Dengan menggunakan metode kritik teks kita memiliki kemungkinan untuk bisa mendekati teks asli. Manuskrip-manuskrip awal dari Perjanjian Baru dapat menghantar kita kembali ke masa awal abad kedua. Edisi-edisi kritik teks Alkitab sudah juga dipublikasikan dengan penekanan pada variasi-variasi teks yang signifikan. Kitab-kitab yang ditulis lebih awal (Keempat Injil, Surat-surat dan sebagainya) dihimpunkan dalam jemaat-jemaat sebagai sebuah kanon (himpunan Kitab-kitab). Di saat itu Gereja tidak mengakui keaslian seluruh kitab yang ada dan menolak sejumlah kitab (tulisan-tulisan apokrif).

 

8. Adalah penting dalam dialog bahwa kedua belah pihak menerima keotentikan Kitab Suci yang adalah dasar iman dari salah satu pihak. Hal ini sudah dituntut pada kongres Muslim-Kristiani di Tripoli (Libia, Pebruari 1976).

 

9. Tanpa iman Kristiani sebagai syarat orang hanya akan menerima dan mempelajari teks-teks Kitab Suci sebagai dokumen-dokumen sejarah. Injil-injil bisa membentuk kesimpulan dari berbagai kisah berangkat dari peristiwa yang satu dan sama. Oleh sebab itu terdapat interpretasi-interpretasi dari para Rationalis, Marxist, Yahudi dan juga Muslim. Setiap interpretasi menuai respek, sejauh ia berupaya memahami maksud Kitab Suci. Dari sini timbul harapan bahwa perbedaan-perbedaan antara al-Qur’ān dan Alkitab bisa dijadikan tema pembicaraan dalam dialog.

 

______________________________________________________________

  • (1) Ibn Sina (980-1037), Ibn Khaldun (1332-1406), Muhammad ’Abduh (1849-1905), Sayyid Ahmad Khan (1889-1898).
  • (2) ’Abbās Mahmūd al-’Aqqād (1889-1964), Penulis tentang Hidup Yesus: ’Abqariyyat al-Masïh (1952). Lihat Olaf H. Schumann, Der Christus der Muslime. Köln/Wien: Böhlau, 1988,S. 111-131; Fathi’Uthmān (lahir 1928 di Mesir), Pengarang Buku: Bersama Kristus di dalam ke-empat Injil (Ma’a al-Masïh fi anājïl al-arba’a) (1961). Lihat Olaf H. Schumann, Op.Cit., hal. 132-146; Khālid Muhammad Khālid (lahir 1920), Pengarang buku: Ma’an, ‚ala al-tarïq, Muhammad wa-l-Masïh (Bersama di Perjalanan – Muhammad dan Kristus, 1958), lihat The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, II, 412-413.
  • (3) Mohammed Arkoun (lahir 1928 di Aljazair), Profesor Sejarah Idee dan Sejarah Budaya Islam pada Universitas Sorbonne di Paris; Nasr Abu Zaid (lahir 1943 di Mesir), Profesor Ilmu Islam di Leiden).

_________________________________________________________

Penerjemah: Dr. Markus Solo Kewuta

Kontak

J. Prof. Dr. T. Specker,
Prof. Dr. Christian W. Troll,

Kolleg Sankt Georgen
Offenbacher Landstr. 224
D-60599 Frankfurt
Mail: fragen[ät]antwortenanmuslime.com

More about the authors?