Panggilan orang kristen
Perkawinan
I. Pandangan Agama Islam
Dalam pandangan agama Islam, jalinan perkawinan antara pria dan wanita memiliki dasarnya dalam tata aturan ciptaan ilahi:
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezki dari yang baik-baik.“ (Sura 16,72)
Yang termasuk dalam “yang baik-baik” di sini adalah perkawinan dan keluarga sebagai hasil karya ciptaan Allah.
Perkawinan adalah habitat alamiah seksualitas manusia dan penerusan generasi. Sebagaimana halnya dalam agama kristen, dalam agama islam pun praktek seks di luar perkawinan adalah suatu hal yang tabu. Seksualitas selalu merujuk pada kehidupan perkawinan yang merupakan sebuah bentuk persekutuan hidup antara pria dan wanita, antara orang tua dan anak-anak, dimana di dalamnya kehiduapan bersama itu terwujud. Berbeda dengan Gereja Katolik yang menghargai pilihan hidup selibat, agama islam secara transparan mempledoikan bentuk hidup perkawinan (bdk. Sura 24,32).
Al-Quran menekankan kesamaan derajat antara pria dan wanita. Tanggungjawab terhadap ciptaan yang digambarkan dengan ungkapan „Statthalterschaft“ ( kewajiban resmi untuk menjaga/melindungi), diserahkan sepenuhnya kepada pria dan wanita secara bersama-sama, bukan hanya kepada pria.
Hubungan antara suami-istri hendaknya dipenuhi oleh cinta dan belaskasihan:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih sayang.” (Surah 30,21).
Suami-istri hendaknya saling melengkapi, dimana mereka hidup saling berbagi satu dengan yang lain sebgaimana halnya pakaian.
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (Surah 2,187).
Walaupun demikian, ada juga beberapa pernyataan al-Quran yang memberikan ruang bagi superioritas pria berhadapan dengan wanita. Seorang pria berada satu tingkat lebih tinggi daripada wanita (bdk. Surah 2,228). Berhadapan dengan wanita, seorang pria memiliki kekuasaan dan tanggungjawab lebih:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.” (Surah 4,34).
Pernyataan ini berarti: Pria mendapat tempat khusus dan ditempatkan setingkat lebih tinggi dari kaum wanita, ketika ia diserahi tanggungjawab dan kewajiban berhadapan dengan kaum wanita dan anak-anak. Di dalamnya termasuk: mahar bagi istri, jaminan terhadap biaya hidup serta perlindungan bagi kaum wanita dan anak-anak sejauh kemampuannya masing-masing.
Suami, kepala rumah tangga dan kepala keluarga, bertanggungjawab atas jaminan kelangsungan eksistensi, atas posisi dan interes keluarga dalam masyarakat; sedangkan istri lebih banyak berurusan dengan hal-hal rumah tangga dan pendidikan anak-anak. Suami istri tidak memiliki tugas dan kewajiban yang sama, melainkan masing-masingnya mengemban tugas dan kewajiban yang berbeda-beda.
Agama islam mempunyai tendensi untuk membuat pemisah-misahan gender dalam masyarakat. Konsekuensinya ialah bahwa bagi kaum wanita dibuatlah kode-kode etik dan tata krama tertentu. Seorang wanita boleh bergerak bebas dan sesuka hatinya dalam rumah tangga, di antara anggota keluarga dan dalam lingkup kaum sejenisnya, tetapi di luar dari itu ia hendaknya menarik diri dan kepentingannya:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: „Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya... [...]” (Surah 24,31).
Surah ini memberikan penjelasan tentang kebiasaan tradisional pemakaian jilbab dan tata krama perempuan dalam kehidupan masyarakat umum – dimana tujuan yang ada di baliknya bukanlah sebuah diskriminasi, melainkan untuk melindungi kaum perempuan.
Tetapi pria juga hendaknya mengambil jarak dan menunjukkan tata krama tertentu:
„Katakanlah kepada orang laki-laki beriman: „Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah yang lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat“ (Surah 24,30).
Al-Quran menekankan kesamaan derajat antara pria dan wanita dengan mengetengahkan tugas-tugas dan kewajiban khusus bagi masing-masingnya. Prakteknya kadang menyeleweng dari maksud baik ini. Perkembangan sejarah, adat-istiadat dan kebiasaan justru menjadi saksi penyelewengan diskriminatif ini.
Juga masyarakat barat mengenal adanya sistem atau struktur masyarakat patriarkalis. Ketika memilah-milah budaya timur dan barat, hendaknya norma-norma keagamaan dan kemasyarakatan tidak boleh dicampur-aduk, juga kalau bahaya ke arah itu selalu ada.
II. Pandangan agama kristen
a. Hakekat perkawinan
Gereja katolik percaya: Allah sendirilah yang membangun persekutuan hidup bersama antara pria dan wanita. Allah menciptakan manusia, pria dan wanita sesuai dengan citra-Nya dan memberikan kepadanya rahmat kebersamaan. Demikianlah diceritrakan dalam kisah biblis pertama tentang penciptaan dalam Kitab Kejadian:
„Maka Allah bersabda: ‚Marilah kami ciptakan manusia menurut rupa dan citra kami. [...] Maka Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya, Ia menciptakannya pria dan wanita. Lalu Ia memberkati keduanya dan bersabda: ‚Beranak cucu dan berkembangbiaklah, penuhilah muka bumi... [...]“ (Kej 1,26-28).
Kisah biblis kedua tentang penciptaan mengangkat persekutuan antara pria dan wanita ini secara lebih transparan:
“Tidak baiklah, bahwa manusia itu seorang diri saja” (Kej 2,18),
dan selanjutnya:
“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2,24).
Bahwa persekutuan perkawinan dibangun oleh Allah, ini diteguhkan lagi oleh Yesus dalam Perjanjian Baru:
“Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu“ (Mrk 10,6-8).
Teks-teks Kitab Suci ini adalah fundamen bagi pernyataan Gereja katolik, bahwa perkawinan itu terarah
● pada kesejahtraan suami-istri dan
● pada kelanjutan keturunan dan pendidikan generasi mendatang.
Menurut pandangan Gereja katolik, perkawinan itu di satu pihak
● merupakan sebuah institusi hukum. Itu berarti: Perkawinan adalah sebuah hubungan yang berakar dalam hukum, terikat dan dilindungi secara hukum pula serta tunduk di bawah aturan-aturan hukum. Ia adalah sebuah kontrak perjanjian.
Di pihak lain
● perkawinan itu juga dimengerti sebagai sebuah perjanjian (Bund) mengatasi definisi yuridis. Sebuah kontrak perjanjian (Vertrag) dapat dibuat lewat pernyataan kesiapan kehendak dari pasangan berdasarkan ketentuan-ketentuan tertentu. Ini memang penting juga dalam sebuah ikatan perkawinan. Tetapi lebih dari nuansa kandungan arti yang terdapat dalam kata kontrak perjanjian (Vertrag), kata perjanjian (Bund) justru merujuk pada sebuah hubungan personal, sebuah kesatuan hidup, malah sebuah persekutuan dalam untung dan malang antara suami-istri yang punya pendasaran religius.
Iman Gereja katolik mempertajam lagi pengertian perkawinan ini dengan mengatakan: Perkawinan adalah sebuah
● Sakramen. Ini adalah sebuah tanda penuh nuansa arti bagi perjanjian (Bund) antara Allah dan manusia. Adalah tugas manusia untuk mewujudnyatakan tanda ini, yaitu menampakkan cinta Allah kepada sesama, sebagaimana Allah juga menampakkan cintaNya kepada manusia lewat Yesus Christus. Bagi perkawinan, ini berarti: Suami-istri hendaknya menghidupkan cinta yang dianugerahkan Allah kepadanya di antara mereka dan sekaligus menampakkannya dalam kehidupan masyarakatnya.
Hanya perkawinan yang sah antara orang kristen lah yang disebut sakramen dalam gereja Katolik. Tetapi Gereja juga menghormati serta melindungi perkawinan antara orang kristen dan non-kristen, begitupun perkawinan antara orang non-kristen, tidak perduli, apakah perkawinan ini dibuat berdasarkan hukum keagamaan, sipil atau hukum-hukum adat suku-suku tertentu. Karena perkawinan itu bukanlah sebuah instansi yang diselenggarakan oleh manusia atau Gereja, melainkan ia dibangun di atas fundamen kehendak dan campur tangan Allah.
Dengan itu dapat dikatakan, bahwa perkawinan antara orang islam dalam kacamata kristiani tetap merupakan sebuah perkawinan yang sah berdasarkan hukum islam, tetapi bukanlah sebuah sakramen. Juga perkawinan antara seorang islam dan katolik bukanlah sebuah sakramen. (Kalau pasangannya yang beragama islam menjadi katolik, maka perkawinan itu adalah perkawinan sakramental). Walaupun demikian, Gereja melindungi dan memberikah ridhonya pada perkawinan seperti itu dan mengakui keabsahannya, sejauh dimintakan dispensasinya (pembebasan dari halangan-halangan perkawinan beda agama).
b. Kebajikan-kebajikan hakiki perkawinan
Gereja katolik melihat perkawinan sebagai sebuah persekutuan hidup personal antara pria dan wanita. Persekutuan hidup bersama sejenis tidak masuk dalam kategori ini. Perkawinan sebagai persekutuan hidup personal tidak hanya didasarkan pada keputusan suami-istri, melainkan pada hubungan antara keduanya lewat Allah. Karena itu, dalam pandangan katolik, setiap perkawinan memiliki ciri khas
● persatuan dan ketakterceraian.
Persatuan yang dimaksudkan adalah persatuan dengan pasangan yang sama, yaitu perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Segala bentuk perkawinan yang dibangun pada saat yang bersamaan, atau selama pasangannya masih hidup tidak mendapat tempat dalam definisi ini. Dengan itu polygyni (perkawinan seorang pria dengan banyak wanita) atau polyandri (perkawinan seorang wanita dengan banyak pria) dengan sendirinya dilarang.
Ketakterceraian berarti: Pada prinsipnya tidak terdapat kemungkinan bagi seorang pasangan atau kedua-duanya untuk secara bebas menikah lagi dengan pasangannya yang lain atau meminta perceraian dengan pasangannya setelah perkawinannya disahkan secara kristiani (katolik). Baik perceraian intern (karena kemauan pasangan), maupun perceraian yang dipengaruhi oleh faktor eksternal (otoritas tertentu) tidak diperbolehkan. Hanya kematian lah yang memisahkan tali perkawinan.
(Dari: Katholisch/islamische Ehen: Eine Handreichung (Perkawinan antara islam dan katolik. Sebuah buku pegangan), Erzbischöpfliches Generalvikariat Köln, Hauptabteilung Seelsorge (Ed.). Redaksi: Referat für interreligiöse Dialog, 2000, hal. 11-14; 35-39)
Kaul Kemurnian Yang Ditahbisakan Bagi Allah
I. Muslim bertanya
- Mengapa para imam dan orang-orang biara tidak menikah?
II. Pandangan Muslim
Secara umum
1. Agama Islam mengajarkan bahwa setiap pria dan wanita dipanggil untuk membangun sebuah keluarga dan menghadapi semua risiko dan tantangan hidup berkeluarga dengan iman. Oleh karena itu membangun sebuah keluarga dilihat sebagai sebuah kewajiban terhadap komunitas umat manusia dan terhadap komunitas iman. Berangkat dari pemahaman ini, segelintir umat Muslim tergoda untuk beranggapan bahwa mereka yang memutuskan secara sukarela untuk hidup membujang adalah sebuah keputusan egoistik. Alasan-alasan lain yang juga terpikirkan adalah masalah impotens pada orang bersangkutan atau kekecewaan luar biasa dalam hubungan cinta sebelumnya. Atau kadang mereka merasa tidak yakin kalau kaul Kemurnian bisa dijalankan dan dihidupi secara konsekuent. Ketidakyakinan ini berangkat dari asumsi bahwa seorang manusia normal tidak bisa hidup tanpa praktek seksualitas dengan orang lain.
2. Perkawinan adalah salah satu kewajiban dasar untuk umat Muslim (“Perkawinan adalah setengah dari iman”: al-zawādsch nisf al-imān, demikian bunyi sebuah Hadïth). Hal ini berlaku terutama untuk kaum lelaki yang memiliki sebuah kewajiban sebagai “pelindung” bagi “makhluk lemah” (kaum wanita). Itulah sebabnya mengapa kehidupan membujang sering kurang dipahami atau malah ditolak oleh umat Muslim. Toh belakangan ini semakin banyak umat Muslim menunjukan pemahaman dan penghargaan terhadap selibat.
3. Dewasa ini, dalam dunia Islam, terdapat juga praktek kehidupan membujang secara sukarela, kalau itu bukan dilakukan sepanjang hidup, melainkan untuk jangka waktu tertentu. Hal ini dilakukan baik oleh laki-laki maupun wanita oleh karena berbagai alasan, misalnya: anak-anak yang lebih tua dalam keluarga yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan dan pendidikan saudara-saudarinya yang lebih muda, para perawat, pekerja-pekerja sosial yang membaktikan hidupnya untuk karya-karya sosial-karitatip, para pejuang pembebasan (seperti fidā’iyyūn dan fidā’iyyāt di Palestina), atau oleh karena alasan-alasan pribadi lainnya yang ingin dipenuhi sebelum kehidupan berumah-tangga. Selain itu ada juga umat Muslim yang ingin hidup membujang untuk jangka waktu tertentu oleh karena alasan rohani. Hal ini terlihat pada kaum lelaki dan wanita bujang atau janda atau duda muda yang melakukan ibadah haji ke Mekka (hādschiyyūn) dan menetap di Mekka dalam kurun waktu tertentu untuk tujuan doa dan meditasi.
4. Bagi umat Muslim yang mengenal para imam dan kaum biarawan-biarawati dengan baik dan hidup bersama mereka setiap hari akan mengetahui dan mengakui bahwa kehidupan selibat dijalankan dengan sungguh-sungguh. Di Eropa, sebagian wanita Muslim yang bekerja bersama para Suster di institusi-insititusi sosial mengagumi model kehidupan selibater para Suster dan kadang mengungkapkan penyesalan, bahwa model kehidupan yang semata-mata tertahbis untuk Allah ini tidak ada dalam agama Islam. Mereka pun ingin menjalankan model hidup seperti ini sebagai Muslima. Entah apa yang melatarbelakangi keinginan mereka, tetapi banyak juga yang mengatakan “selibat adalah karakterisasi agama Kristiani. Dalam Islam tidak ada praktek asketis (lā rahbāniyyat fil-Islām).
Secara detail
1. Terlepas dari beberapa kekecualian yang sudah disebutkan di atas, dalam agama Islam, kehidupan selibater tidak dipandang sebagai sebuah ideal yang luhur. Al-Qur’ān tidak pernah menyinggung hal ini. Nabi Muhammad sendiri menikah. Ada sejumlah Hadïth yang memuji kehidupan berkeluarga dan menolak kehidupan membujang atau melukiskannya dengan nada negatip. Sebuah contoh: “Perkawinan adalah Sunna kita dalam Islam” (sunnatu-nā al-zawādsch); “Perkawinan adalah setengah dari iman”. “Seandainya saya masih mempunyai masa hidup satu hari lagi, maka saya akan menikahi seorang wanita, supaya saya tidak menjumpai Allah sebagai seorang yang tidak menikah”. Pernah dikatakan kepada seorang lelaki Muslim yang tidak menikah: “Anda memutuskan untuk hidup dalam persekutuan hidup dengan kaum setan? Kalau anda ingin menjadi seorang rahib Kristiani, masuklah agama mereka secara terus terang. Tetapi seandainya anda dalah seorang dari kami, turutilah Sunna kita!”
Seorang Teolog besar Muslim, al-Ghazāl62, pernah mengulas dengan jelas, mengapa perkawinan adalah sesuatu yang bersifat mengikat dalam agama Islam:
– Melanjutkan keturunan. Hal ini sesuai dengan kehendak Allah dan Nabi Muhammad;
- Memperkuat ummah (umat Muslim seluruh dunia);
- Memuaskan kebutuhan alami manusia dan dengan itu sudah mulai menikmati sebagian awal dari kebahagiaan Firdaus;
- Sang lelaki dengan itu menemukan seorang yang memperhatikan kehidupan rumah-tangga dan sekaligus memberikan kepadanya lebih banyak waktu untuk kebutuhan sholat;
- Untuk seorang dari kalangan mistik: Hal ini merupakan pelepas ketegangan melalui hubungan mesrah dengan sang istri;
- Merupakan sebuah kesempatan di mana orang bisa bertumbuh dalam kesabaran dengan menanggung tabiat-tabiat khusus sang istri. Hampir semua lelaki yang bergerak di dunia mistik sekaligus hidup berkeluarga.
2. Sekalipun demikian, kaul kemurnian yang ditahbiskan untuk Allah tidak seluruhnya ditolak dalam agama Islam. Al-Qur’ān memuji Maria, Bunda Yesus, sebagai sebuah contoh keperawanan yang sempurna: „Dan (ingatlah kisah) Maryam yang terlah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuhnya) ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam“ (Surat 21,91; bdk juga 66,12 dan 3,39). Pujian ini mengarah juga kepada Yohanes Pembaptis (Yahyā) yang tidak bercela (hasūr) dan sekaligus mengarah kepada kemurnian Yesus sendiri. Para rahib juga dipuji di dalam al-Qur’ān (Surat 5,82; 24,36-37; 57,27 dan 9,31-34). Beberapa pribadi mistik dan pertapa Muslim juga pernah hidup dalam janji keperawanan yang dipersembahkan untuk Allah. Contoh klasik dalam hal ini adalah Rābi’a dari Basrah di abab ke-8 setelah Kristus yang tidak menikah karena keputusannya untuk hidup membujang dan membaktikan diri kepada Allah. Buku-buku petunjuk beberapa tarikat (golongan) Sufi juga memuji keperawanan oleh karena tujuan rohani, seperti Rahmāniyya dan Bektāshiyya. Al-Ghazāli meganjurkan jalan hidup perawan didasari beberapa alasan, misalnya: Seorang tidak mampu menanggung kesulitan hidup berumahtangga, kalau karakter istri sungguh sangat sulit, atau kalau istri melarang suami dari golongan Sufi untuk bermeditasi dan melaksanakan kegiatan-kegiatan Sufi. Al-Ghazāli menarik kesimpulan bahwa status menikah atau tidak menikah sebenarnya tergantung dari situasi dan kondisi. Toh kehidupan seorang Muslim yang ideal menurutnya adalah memadukan secara sempurna status hidup menikah dengan penyerahan diri secara total kepada Allah seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.
Tentang Yesus yang membujang, al-Ghazāli berkata:
“Mungkin Dia (Yesus) sejak lahir dianugerahi kepribadian demikian, sehingga Dia akan merasa sangat dibebani oleh keluarga atau merasa berat kalau Dia membangun sebuah keluarga dan menghidupi keluarga sebagaimana mestinya; atau Dia merasa sulit untuk memadukan kedua pihak secara adil dan sempurna, yakni istri dan penyerahan diri yang total kepada Allah, dan akhirnya Dia memutuskan untuk mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah”63.
III. Pandangan Kristiani
Pokok pembicaraan di sini pada dasarnya bukan menyangkut sebuah budaya tunggal dalam sebuah wilayah tanpa agama, di mana tidak dikenal samasekali praktek “pengekangan dan pengontrolan diri”. Yang dibiacarakan di sini adalah motivasi orang-orang Kristiani yang memilih jalan hidup membujang secara sadar, terutama tentang kaul kemurnian yang ditahbiskan untuk Allah dari para Imam dan anggota-anggota biara termasuk penahanan diri dari kontak seksual.
1. Padangan Gereja Katolik
Dari sudut pandang iman agama Katolik, terdapat paling kurang tiga alasan utama mengapa seorang memilih untuk mengikrarkan dan menghidupkan kaul Kemurnian yang ditahbiskan bagi Allah. Ketiga alasan ini tidak berdiri secara sendiri, melainkan saling melengkapi satu sama lain:
- Pertama, demi Kerajaan Allah (Mat 19,12) atau demi Pewartaan Injil seperti pada Rasul Paulus (bdk. 1Kor 9). Di sini, seorang yang berkaul kemurnian ingin menunjukan rasa terima kasih dan cintanya yang utuh kepada Yesus Kristus. Bagi mereka yang menekuni jalan hidup ini, dituntut untuk memiliki dan menghidupi hubungan internal yang kuat dan terbuka dengan Tuhan. Jalan hidup ini memenuhi harapan Tuhan dan Kerajaan-Nya oleh karena pengabdian diri seutuhnya tanpa harus membagi diri secara khusus untuk seseorang atau sesuatu yang lain.
- Kedua, demi pelayanan terhadap sesama manusia yang pada dasarnya menuntut penyerahan diri sepenuhnya terhadap tugas.
- Ketiga, secara sadar meneladani Yesus yang telah hidup membujang, juga mengikuti contoh Maria, Ibu Yesus yang disebut sebagai “Perawan” di dalam credo. Pada umumnya mereka yang mengikrarkan kaul Kemurnian dan menghidupinya, mengambil alasan ini sebagai alasan paling utama.
2. Pandangan Gereja Kristen “Mainstream”
Dalam Gereja ”Mainstream”, model hidup menikah dan membujang masing-masing mendapat dukungan yang sama. Kehidupan membujang tidak mendapat tekanan khusus, namun cara hidup demikian bisa merupakan sebuah jalan yang baik untuk mewartakan Injil Tuhan secara intensip. Toh model kehidupan ini tidak diwajibkan kepada para Pastor, baik pria maupun wanita. Di beberapa tempat, praktek ini dijalankan, tetapi tidak mengikat. Contoh kehidupan Yesus yang membujang tidak memiliki sorotan khusus, karena Yesus semasa hidup-Nya menjadi suri-teladan baik untuk mereka yang menikah, maupun mereka yang membujang. Hal yang sama tidak berlaku untuk Maria, Ibu Yesus. Sebagian Ekseget Kristiani berpendapat bahwa Maria tidak hidup membujang sepanjang hidup karena selain Yesus, Maria masih memiliki beberapa anak lain (bdk. Mrk 6,3).
IV. Kristen Katolik Menjawab
1. Manakala kaul Kemurnian dianggap sebagai sebuah bentuk egoisme, dapat dijelaskan bahwa ideal model kehidupan yang tertahbis untuk Allah ini sekaligus menekankan juga aspek horisontal, yakni pelayanan terhadap sesama manusa (li-khidmat a-insāniyya) dan berasal dari kehendak baik untuk berbuat yang luhur (li-l-a’māl al-khayriyya). Ini tentunya menuntut kesiap-sediaan mereka yang menghayati kaul ini untuk pelayanan kemanusiaan. Seandainya model dan praktek hidup mereka tidak berbeda dengan mereka yang menikah, maka jalan hidup mereka masih jauh dari idel dan belum meyakinkan. Kaul Kemurnian dalam konteks Gereja hanya bisa dihidupi dengan penuh makna, kalau model hidup ini sungguh ditempah oleh roh Injil Kristus.
2. Ketika ditekankan alasan moral-agama untuk menikah dan membangun keluarga, bisa dijelaskan bahwa kaul Kemurnian adalah sebuah model hidup yang ditahbiskan untuk Allah (li-wajh Allāh; aslama wajha-hu li-llāh), atau merupakan hasil dari kehidupan doa. Hal ini mengandaikan bahwa seseorang yang menghayati kaul Kemurnian sungguh-sungguh mengikuti bimbingan Roh Kudus dengan penyerahan diri sepenuhnya dan mendasarkan semuanya di atas doa.
3. Ketika orang beranggapan bahwa model hidup membujang oleh karena kekecewaan dalam hubungan cinta, bisa dijelaskan bahwa pengalaman seperti itu adalah bagaian dari hubungan cinta manusiawi dan dari pengalaman seperti ini lahir juga sekian banyak pasangan kehidupan yang bahagia.
4. Toh tidak boleh disangkal bahwa jalan hidup membujang bukan tanpa kendala. Tidak sedikit orang yang menghayati kaul kemurnian mengalami pelbagai kesulitan di tengah jalan dan memutuskan untuk mengubah haluan. Jalan hidup ini tidak boleh diartikan sebagai sebuah jalan mujizat yang bisa dijadikan sebagai alat untuk melindungi diri dari pelbagai krisis manusiawi.
5. Kaum rohaniwan atau biarawan-birawati, ketika diminta untuk berbicara atau berdiskusi tentang hal ini, bisa menceriterakan pengalaman panggilan pribadi sebagai sebuah panggilan, sebuah undangan (da’wa) undangan Tuhan kepada cinta yang lebih besar dengan hasrat mendalam untuk meneladani Yesus dan Maria. Bisa diceriterakan juga bagaimana panggilan ini mengalami proses kematangan melalui doa, permenungan dan nasihat dari sesama Kristiani yang lebih berpengalaman, melalui dukungan keluarga (jika demikian), hingga menuju sebuah keputusan yang matang, sehingga penolakan terhadap panggilan Tuhan ini hanya akan membawa kesedihan dan kemalangan. Toh kebahagiaan di jalan hidup ini mengandaikan bahwa seseorang mampu menemukan dan menghayati kepenuhan dimensi manusia dan dimensi rohani secara serentak.
______________________________________________________________
- (62) Lihat Hans Bauer, Islamische Ethik. Nach den Originalquellen übersetzt und erläutert. Heft II. Von der Ehe (Buku yang ke-12 dari karya utama Al- Gazālï (Ihyā ’Ulūm al-dïn) Halle: Max Niemeyer, 1917 (photomechanischer Nachdruck Hildesheim: Olms Verlag, 1979
- (63) Ibid. Hal.48.
_________________________________________________________
Penerjemah: Dr. Markus Solo Kewuta