Jantung Kekristenan
I. Pertanyaan-pertanyaan dari pihak Islam
Sering terjadi, bahwa seorang Islam tidak melontarkan pertanyaan yang langsung mengarah kepada ajaran-ajaran Kristiani, melainkan lebih tertuju pada pertanyaan-pertanyaan umum atas dasar ingin tahu dan interes pribadi: Apa yang mejadi hakekat agama Kristiani, apa yang membedakan agama Kristiani dari yang lain dan apa yang menjadi sentrum atau titik tengah keberadaannya? Bab ini berusaha untuk menunjukkan dan menjelaskan, bagaimana agama Islam melihat dan menilai apa yang menjadi titik tengah agama Kristiani, dan kemudian bagaimana agama Kristiani sendiri melihat apa yang menjadi pusat atau sentrum keberadaannya.
II. Pandangan Islam
Secara umum
1. Secara umum seorang Islam sungguh hidup dalam keyakinan, bahwa agama Islam adalah agama terakhir, agama yang paling sempurna dan komprehensif dari seluruh agama-agama wahyu. Agama-agama yang lain, terutama agama Yahudi dan Kristiani, memang legitim sebelum lahirnya Islam; tetapi setelah kedatangan Islam agama-agama itu sebenarnya tidak relevan lagi. Agama yang benar adalah agama Islam, dan hanya seorang yang menganut agama Islam dapat diselamatkan.
Tidak dipungkiri, bahwa seorang Muslim dapat juga sangat terbuka terhadap nilai-nilai keagamaan tertentu, terutama nilai-nilai yang lahir dari perjumpaannya dengan agama Kristiani. Walaupun demikian ini tidak melunturkan rasa herannya, bahwa mereka yang sudah berjumpa dengan Islam, atau bahkan pernah belajar tentangnya, toh tetap bersikeras menjadi orang Kristiani, dan bukan penuh terima kasih seraya menerima kesempatan untuk menerima agama Islam sebagai agama yang benar dan terakhir, tempat segala harapannya terpenuhi. Bukankah hal ini terjadi – demikian pemikiran seorang Muslim – hanya karena ketergantungan emosial atau ketergantungan rasional yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pada agama dan budaya „barat“ yang justru menjadi batu rintangan bagi orang-orang Kristiani untuk membuka dirinya bagi agama Islam? Ataukah ada motif-motif lain yang berada di baliknya?
2. Ada banyak Muslim yang merumuskan argumentasinya secara lebih rinci. Agama yang dianut Yesus adalah agama Islam yang adalah Kabar Gembira dari Allah yang esa – agama yang menyeruhkan untuk hanya menyembah padaNya. Sejak awal orang-orang Kristiani sudah merancukan Kabar Gembira tersebut. Terutama Paulus-lah yang paling bertanggungjawab terhadap kerancuan Kabar Gembira tersebut. Ada juga yang berpendapat bahwa hubungan antara Gereja dan kekuasaan negara sejak Konstantin Agung-lah yang menjadi penyebab utama pelecehan Kabar Gembira ini. Singkatnya, klaim mereka, Eu-Angelion atau Kabar Gembira yang dibawa Yesus sudah sejak awal „dipalsukan“ oleh orang-orang Kristiani(65).
3. Banyak juga orang Islam yang berpendapat, bahwa pandangan tentang Yesus historis yang dikaji dari penafsiran Kitab Suci serta kabar gembira yang dibawakannya juga mempunyai arti penting untuk mereka. Sebaliknya mereka menolak dogma-dogma utama iman Kristiani, karena menurutnya dogma-dogma ini telah membalikkan atau merekayasa Kabar Gembira original yang dibawah oleh Yesus. Hasil dari rekayasa atau „pemalsuan“ (tahrîf) ini adalah keempat Injil Perjanjian Baru seperti yang dikenal sekarang ini.
4. Sebuah pandangan yang lebih wajar walaupun masih tetap subyektip dikemukakan oleh Kamil Husein(66), seorang dokter, sastrawan dan pemikir religius Mesir. Menurutnya, seorang yang takut akan Tuhan adalah murid nabi Musa; seorang yang mencintai Tuhan adalah murid Yesus; dan seorang yang hidup dalam pengharapan akan Firdaus adalah murid Nabi Muhammad. Dalam lingkup pengertian ini, ia membeberkan pengertian kekristenan sebagai berikut: „Memahami hingga ke kedalaman jiwa, sehingga dengan sendirinya apa yang menjadi dasar panggilan untuk berbuat baik adalah kasih Allah itu sendiri – kasih yang senantiasa memanggil kita untuk mencintai semua yang dicintai Allah; dan lebih jauh menghindari apa yang dapat melukai manusia, karena Allah mencintai semua orang tanpa kecuali, dan pada akhirnya juga untuk mengetahui, bahwa kita tidak dapat mencintai Allah kalau kita menyakiti sesama (umat manusia)“(67).
5. Dengan demikian dapat dilihat dua penilaian yang berbeda dari pihak Islam terhadap agama Kristiani:
a) Secara positip: Agama Kristiani adalah sebuah „agama kitab/wahyu“. Awal mulanya beranjak dari Abraham sebagaimana juga dalam agama Yahudi dan agama Islam. Ia adalah agama yang diwahyukan (“surgawi”). Dengan itu ada hubungan kedekatan antara orang-orang Kristiani dan Islam, mereka tidak saling bermusuhan (Sura 5,82). Orang-orang Kristiani adalah orang-orang yang percaya. Dan bagi orang Islam, semua yang percaya adalah saudara (Sura 49,10). Mereka juga adalah penganut satu Allah (monotheismus). Mereka juga berdoa. Mereka merasa bertanggung jawab terhadap kesejahtraan manusia pada umumnya. Agama Kristiani menuntut dari pengikut-pengikutnya untuk mencintai kaum papa dan miskin.
b) Secara negatip: Orang-orang Kristiani adalah orang-orang kafir (kuffâr), musyrik (muschrikûn). Mereka menyembah seorang manusia Yesus dan menjadikannya Allah. Mereka percaya pada „Allah“ (disamping percaya pada Allah, juga pada Maria dan Yesus). Iman mereka sangat rumit, sementara iman Islam itu sangat sederhana. Kitab Sucinya (Injil) “diubah”, “dipalsukan”. Ia tidak lagi seperti bentuk aslinya. Gereja dan magisteriumnya menekan kebebasan berpikir dan mengutuk ilmu (bdk. Kasus Galileo-Galilei 1564-1642). Orang-orang Kristiani tidak mengakui Islam dengan kepercayaannya akan keesaan Allah yang radikal sekaligus menampik Muhammad sebagai nabi terakhir. Mereka menjalankan doa-doanya tidak sesuai dengan aturan, mereka pun tidak berpuasa. Agamanya terlalu menekankan yang spiritual dan menuntut suatu yang tidak alami seperti hidup selibat demi Allah. Ia juga memandang hina tubuh dan terobsesi dengan gagasan dan kehadiran dosa di mana-mana.
Secara khusus
1. Dalam al-Qur’ān terdapat dua posisi yang berbeda satu sama lain: yang satu memuji agama Kristiani, sementara yang lain menaruh benci padanya. Dua tendensi ini selalu ada dalam seluruh lingkup pengaruh Islam, baik dulu maupun sekarang.
a) Tendensi positip: Tendensi positip kita temukan terutama dalam kekaguman yang terus terang terhadap pribadi-pribadi kenabian yang sangat dijunjung tinggi oleh orang Kristiani: Yesus, Maria ibuNya, para rasul, Yohanes Pemandi, Zakaria dll. Kekaguman ini merebas juga ke kekaguman terhadap „Injil“ sebagai sebuah Kitab yang diturunkan ke atas Yesus dan diakui oleh al-Qur’ān, tetapi hanya dalam teks-teksnya yang original dan dalam lingkup artinya yang benar dan „tidak dipalsukan“. Berdasarkan kesaksian al-Qur’ān terdapat juga orang-orang Kristiani yang dekat dengan agama Islam di zaman nabi: „Orang-orang yang paling akrab bersahabat dengan mereka ...“ (Surah 5,82), „lemah lembut dan rendah hati“ (Surah 3,110.113.115; 4,55; 5,66), sementara penilaian terhadap para rahib dan imam masih sangat ambigu (Surah 5,82; 24,36-37; 57,27, dengan kontrasnya pada 9,31.34).
b)Tendensi negatip: Tendensi ini lebih tertuju pada ajaran Kristiani tentang Allah dan Yesus. Orang-orang Kristiani telah menjadikan Yesus sebagai Allah, dan mereka memandangnya sebagai Putra Allah (Surah 4,71; 5,17.72; 43,59; 9,30-31); mereka menyembah tiga Allah (Surah 4,171; 5,73.116), dan mengakui, bahwa Yesus disalibkan (Surah 4,156; bdk. 3,55). Lebih lagi, „mereka mengambil habr (ulama agama) mereka, dan rahib-rahib mereka, sebagai pemelihara-pemelihara selain daripada Allah“ (9,31). Mereka melebih-lebihkan segala sesuatu dalam agamanya (Surah 4,171) dan lewat pandangan-pandangan yang berbeda terhadap pribadi Yesus (Surah 5,14; 19,37; bdk. 2,133.145; 3,61), mereka terpecah-belah dalam sekte-sekte. Mereka bersikeras, bahwa hanya seorang Kristiani yang dapat masuk ke dalam Firdaus (Surah 2,111). Mereka menyebut diri sebagai sahabat-sahabat dan anak-anak Allah yang dicintai, tetapi Allah jugalah yang akan menghukum perbuatan-perbuatannya (Surah 5,18). Orang-orang yahudi dan Kristiani atau yang disebut „pemeluk Kitab“, „ingin menjadikan kamu orang-orang yang tidak percaya lagi, setelah kamu dihantar kepada kepercayaan, karena memang pada dasarnya mereka merasa iri setelah mata mereka melek oleh kebenaran“ (Surah 2,109, bdk. 3,110); dan para rahib (juga ahli-ahli Taurat Yahudi) menunjukkan kebejatan moralnya dengan „memakan harta orang“ (Surah 9,34).
Pandangan yang saling bertolak belakang ini tentu merefleksikan sikap orang-orang Kristiani yang ambivalen berhadapan dengan Muhammad dan al-Qur’ān: Ada yang menerimanya, sementara ada juga yang menolaknya. Sikap ambivalensi ini tercermin juga dalam al-Qur’ān, sehingga di satu pihak orang-orang Kristiani diperhitungkan dalam kelompok istimewa sebagai „orang-orang Kitab“, sementara di lain pihak mereka dikategorikan dalam kelompok orang-orang kafir yang malang (kuffâr) dan penyembah berhala yang politeistik (muschrikûn). Sikap ambivalensi inilah yang mewarnai seluruh sejarah hubungan antara Islam dan Kristiani hingga saat ini. Dengan demikian cara pandang Islam terhadap agama dan orang Kristiani, entah sebagai agama dan orang kafir atau sebagai agama dan orang-orang kitab, sangat bergantung pada kehidupan bersama antara orang-orang Islam dan Kristiani yang damai atau penuh konflik, sebagaimana yang juga sudah terlihat di zaman nabi.
2. Dalam tradisi dan teologi Islam terdapat juga kedua pandangan yang ambivalens. Meskipun yang paling mendapat penekanan utama adalah pernyataan-pernyataan al-Qur’ān yang negatip. Kedua sisi ini hendaknya kita sadari: Di satu pihak terdapat kutukan tradisional terhadap dogma-dogma dan tata aturan/hukum-hukum Kristiani yang sangat sering dihubungkan dengan peradaban barat yang korup dan dengan neokolonialisme barat; di lain pihak ada juga pandangan sangat lain yang sudah berakar dalam al-Qur’ān yang menyebut agama Kristiani sebagai salah satu dari tiga agama monoteis (“surgawi”) sekaligus memandang orang-orang Kristiani sebagai saudara dan saudari dalam suatu iman yang original (Surah 49,10, di sini orang-orang Kristiani diakui sebagai “orang beriman”).
Dalam kaitan dengan pandangan negatip, ada tiga aspek yang perlu ditekankan:
a) Agama Kristiani “melebih-lebihkan” hubungan antara pencipta dan makhluk-makhluk ciptaan, dimana ia berbicara tentang cinta timbal balik antara Allah “Bapa” dan manusia sebagai “anak-anakNya”;
b) Agama Kristiani melebih-lebihkan juga penekanan terhadap aspek-aspek „spiritual, sehingga interesnya yang paling utama ialah mencapai kehidupan di seberang dengan mengorbankan kehidupan di dunia, menonjolkan jiwa dengan mengorbankan yang ragawi dan menekankan individu tanpa mempedulikan arti dimensi kehidupan bersama. Sebaliknya agama Islam adalah agama “manusia yang utuh”;
c) Akhirnya agama Kristiani tidak cukup menghargai dan menghormati transendensi Allah, karena ia melihat Yesus sebagai Allah dan manusia; ya, karena ia berbicara tentang „partisipasi manusia dalam kehidupan ilahi“.
III. Pandangan Kristiani
Di bawah ini akan dipaparkan dua dimensi agama Kristiani secara selektif:
1. Agama Kristiani sebagai Agama Kasih
1. Istilah Kristiani pertama-tama digunakan oleh para pengikut Kristus di Antiokhia (sekarang: Antakya yang terletak di bagian tenggara Turki) kurang lebih pada tahun 43 AD. Orang-orang kafir menyebut orang Kristiani dengan kata ini (Kis 11,26). Menjadi seorang Kristiani berarti percaya, bahwa Yesus, Sang Nabi dari Nasaret, yang „berjalan-jalan sambil berbuat baik“ (Kis 10,38) dan yang mati di atas kayu salib, bangkit dari antara orang mati adalah Kristus (Mesias) – Dia yang datang dari Allah sebagai pewahyuan diri Allah yang terakhir kepada manusia. Orang-orang Kristiani berusaha untuk menghidupi hubungannya dengan Allah dan sesama manusia seturut teladan dan dalam kekuatan Yesus menurut kehendak Allah dalam pelayanan kepada manusia. Kehendak Allah yang dimaksudkan ialah bahwa semua manusia yang telah dipanggil untuk menjadi anak-anak Allah hendaknya mencintai dengan satu cinta yang sama: cinta terhadap Tuhan dan sesama.
Seorang Kristiani percaya, bahwa Yesus yang mati di atas kayu salib, bangkit dari antara orang mati dan kini mengambil bagian dalam kemuliaan Allah tetap hidup dan berada bersama manusia.
2. Selama hidupNya di atas bumi, Yesus mewahyukan Allah sebagai Bapa: BapaNya sendiri, Bapa seluruh umat Kristiani, bahkan Bapa bagi seluruh umat manusia (lihat misalnya Yoh 5,18; 20,17, Mt 6,9 dan ayat paralelnya). Allah-Bapa ini menginginkan supaya semua manusia memahami dirinya sebagai anak-anakNya. Dengan menggambarkan hubungan antara Allah dan manusia lewat ungkapan Bapa dan anak, Yesus sebenarnya menggunakan ungkapan pembanding atau metafor yang paling kuat untuk menggambarkan cinta Allah: Cinta Allah terhadap anak-anakNya(68. Bagi orang Kristiani, dalam pandangan seperti ini tidak tersirat sebuah hubungan kebapaan fisik atau biologis antara Allah dan makhluk ciptaanNya(69).
Dengan caraNya sendiri Yesus menghidupkan lagi ajaran-ajaran pokok Perjanjian Lama (Taurat): Allah mencintai umatNya dengan cinta yang menyala-nyala seperti seorang ibu mencintai anaknya (Am 3; Ez 16); seperti seorang suami mencintai istrinya, juga kalau ia tidak setia (Hos 1 dan 2; Ez 16); seperti seorang pria mencintai tunangannya (Kid). Yesus mewahyukan cinta Allah yang paripurna dan tanpa syarat kepada manusia. Ini sungguh sesuatu yang berada di luar jangkauan pemikiran orang-orang yang hidup di zamanNya. Karena di zaman Yesus berkembang pemikiran dan pendapat, bahwa Allah yang benar dan esa hanya terdapat dalam agama dan bangsa Yahudi dan hanya bagi orang-orang yang benar dari masyarakat dan kelompok Yahudi. Ajaran ini tidak hanya mengecualikan orang-orang bukan Yahudi dari “Kerajaan Allah”, tetapi juga orang-orang Yahudi yang berdosa dalam pandangan umum (seperti para pegawai pajak), dan juga mereka yang menderita penyakit menular seperti penyakit kusta.
Yesus merubah secara total pandangan dan pendapat tentang hubungan antara Allah dan manusia ini. Dia mewartakan, bahwa Allah memalingkan wajahNya kepada semua orang dengan cinta yang sama. Allah yang adalah bapa semua umat manusia, mencintainya semua tanpa kecuali. Kalaupun berbicara tentang preferensi cinta Allah, ini hanya tertuju dan berlaku bagi mereka yang terkutuk dan disingkirkan dari masyarakat: para pendosa publik (yang bertobat) dan orang-orang kafir: “Pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Mat 21,31; bdk. Mat 8,10; Lk 7,9.36-50).
Inilah alasannya, mengapa Yesus dalam kesatuan dengan wahyu Allah yang adalah bapa bagi semua dan berbelaskasih selalu bersedia setiap saat untuk menerima semua orang yang datang kepadaNya untuk mendapatkan jalan keluar dari penderitaannya – baik itu penderitaan material atau moral, baik itu menyangkut kaum papa dan misikin maupun para pendosa yang sudah dikenal publik. Yesus tidak pernah menampik seseorang, Ia menerima undangan, baik dari orang-orang yang berkedudukan dalam masyarakat dan orang-orang farisi, maupun dari para pemungut pajak dan para pendosa. Bukankah Ia pernah dituduh, bahwa Ia duduk makan bersama para pendosa (Mt 8,10; 11,19; 21,31; 9,10-13; Lk 7,9.36-50; 15,1-2.7.10; 19,7)? Dalam hubungan dengan ini Ia berkata, bahwa Ia datang “bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mt 9,13; Mk 2,17; Lk 5,32). Dia juga bersikap keras terhadap mereka yang bangga atas “pembenaran” dirinya dan sekaligus mengutuk „para pendosa“, kaum papa dan kafir (Mat 29,3.13-36; Lk 11,42-52; 18,9-14). Karena, demikian isi ajaranNya: “Akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan” (Lk 15,7.10). Sikap Allah terhadap para pendosa ini digambarkan secara gamblang dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Lk 15,11-32) dan juga dalam perumpamaan-perumpamaan lain yang mengambil kerahiman Allah sebagai tema utamanya (Lk 13-15).
Yesus memerangi segalanya yang mengkotak-kotakan kelompok manusia dalam kelompok orang saleh dan kelompok pendosa. Ia bahkan merelatifkan aturan-aturan yang paling keramat dalam hukum yahudi, seperti hukum Sabbat (Mat 12,8; Mk 2,27; Joh 5,6), atau aturan tentang ibadah yang hanya dilakukan dalam Kenisah Yerusalem (Yoh 4,20-21; 2.13-17). Karena “hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat“ (Mk 2,27). Kalaupun para pemimpin yahudi menghendaki hukuman mati bagi Yesus dan bersikeras supaya tentara Romawi membunuhNya, itu terjadi justru karena Ia mewartakan kesediaan Allah untuk mengampuni dan memberikan perdamaian tanpa syarat apa pun. Kabar gembira inilah yang mempertanyakan dasar kekuasaan para pemimpin bangsa. Nampaknya Allah Bapa bersekongkol dengan para pemimpin, karena Ia sepertinya membuka jalan bagi mereka untuk menyalipkan Yesus. Tetapi „Allah tidak menyerahkanNya kepada dunia orang mati“ (Kis 2,27), melainkan membangkitkanNya dari antara orang mati, sebagai „yang sulung dari antara orang mati“ (Kol 1,18; Kis 26,23; Wahyu 1,5), dan duduk di sebelah kananNya. „Dan tentang hal itu kami semua adalah saksi“, kata Petrus (Kis 2,24-32).
Dengan demikian Yesus adalah sungguh-sungguh Tuhan yang dilengkapi dengan autoritas Allah sendiri – Allah yang sungguh-sungguh mengakui kabar gembira Yesus dan membenarkan apa yang dikatakan Yesus tentang Allah dan manusia.
3. Kabar gembira ini adalah kabar gembira tentang cinta yang tanpa batas. Cinta yang demikian tidak lain adalah cinta Allah, Dia yang mencintai semua manusia dan mengundangnya untuk menjadi anak-anakNya, ya Dia „yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar“ (Mt, 5,45).
4. Ini juga berhubungan erat dengan kenyataan, bahwa Yesus mengetengahkan perintah untuk mencintai sebagai persyaratan terpenting dalam hukum. "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu ... Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri“ (Mat 22,37.39). Sudah dalam Perjanjian Lama cinta terhadap Allah dan terhadap manusia tidak dipisahkan satu sama lain (Ul 6,5; Im 19,18), dan Yesus pun mengambil alihnya dalam pewartaanNya. Ia malah menjadikannya sebuah „hukum baru“ (Yoh 13,34), bukan hanya karena dalam dan melaluiNya hukum ini menjadi rangkuman „segala hukum dan para nabi“ (Mat 22,40; 7,12; Lk 6,31), melainkan juga karena melaluiNya cinta kepada Allah dan kepada sesama memperoleh arti baru.
Cinta Allah, Bapa semua umat manusia, menuntut juga cinta terhadap sesama yang dicintai oleh Allah tanpa kecuali sebagai anak-anakNya. Bagi seorang Yahudi di zaman Yesus, dia yang menjadi sesama dan saudaranya dan patut dicintai adalah saudara seimannya sendiri. Bagi Yesus, yang patut dicintai adalah setiap orang, juga para pendosa, bahkan musuhnya sendiri. Lama-lama menjadi semakin jelas bagiNya dan bagi umat Kristiani perdana, bahwa juga orang-orang kafir dan semua mereka yang masuk dalam agama-agama lain (orang-orang Samaria, orang-orang Siro-Fenisia, orang-orang Romawi dll.) juga diperhitungkan dalam hukum cinta ini. Para murid Yesus diminta untuk mencintai satu sama lain, supaya “semua orang akan tahu, bahwa mereka adalah murid-murid-Nya” (Yoh 13,35; 15,12-17). Cinta itu merangkum juga semua musuh dan para penganiaya: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5,43-48).
Sebagai ganti membalas kejahatan dengan kejahatan, hendaknya mereka membalas kejahatan dengan kebaikan (Mat 5,38-42), mereka hendaknya mengampuni tanpa pamrih dan tanpa batas (Mat 18,21-22), sebagaimana Allah mengampuni (Mat 6,12; dalam doa “Bapa Kami”), juga sebagaimana Yesus mengampuni mereka yang memakuNya pada kayu salib (Lk 23,34). Itu tidak berarti bahwa kita memberikan ruang gerak bagi kejahatan dan ketidakadilan serta menganggapnya sebagai suatu yang baik; melainkan mengampuni mereka yang jahat dan tidak adil, karena hanya pengampunanlah yang membebaskan seseorang dari yang jahat dan menuntun kepada perdamaian antara manusia dan Allah serta manusia dengan sesama.
Cinta seperti ini tidak mengenal batas, karena ia adalah gambar dari cinta Allah itu sendiri – Allah yang mengampuni dan mencintai perdamaian, dan juga karena cinta ini adalah karunia dari diriNya sendiri bagi yang lain, bagi Tuhan dan sesama. Cinta itu tidak mencari keuntungan. Ciri khas utamanya adalah pengorbanan diri dan pengampunan: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15,13). Yesus juga tidak pernah puas hanya berkotbah tentang cinta; Ia menghidupinya dan malah menyerahkan hidupNya bagi semua manusia, juga untuk musuh-musuhNya yang menerima pengampunan dari atas kayu salib.
Baru setelah kematian dan kebangkitan Yesus, para rasul dan umat Kristiani perdana mulai mengerti, bahwa inti dari hidup dan ajaran Yesus adalah cinta: cinta Tuhan yang dicurahkan ke atas kita, cinta kita kepada Tuhan dan cinta yang tidak mengenal batas kepada semua orang. Mereka malah melangkah lebih jauh lagi ketika mereka mengatakan, bahwa ujian yang nyata dari cinta terhadap Tuhan adalah cinta terhadap sesama (1 Yoh 4,20-21, dan seluruh surat); sebuah cinta yang efektif “bukanlah kata-kata hampa, melainkan sesuatu yang konkret dan aktif” (1 Yoh 3,18-19) – “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita” (1 Yoh 3,16). Dan dalam kenyataan umat Kristiani perdana sungguh menghidupi persekutuan mesrah atas dasar cinta persaudaraan (Kis 2,42-46; 20,7-11). Dalam merenungkan kabar gembira dan kehidupan Yesus dalam terang cahaya yang diterima dari Roh Kudus, para rasul pada akhirnya mengerti: Kalau memang segalanya seperti yang sudah dijelaskan, bahwa Yesus secara jelas mewahyukan cinta Allah dan menghidupinya dengan cara memberikan jawaban terhadapnya, semuanya ini hanya mungkin, karena Ia adalah “putraNya” dalam sebuah hubungan yang istimewa dan tak tergantikan – Ia yang diutus oleh Bapa untuk mewartakan cintaNya.
Karena Allah adalah cinta (1 Yoh 4,8-16), dan “kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya” (1 Yoh 4,9). Allah yang mencintai ini “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya” (Yoh 1,14). Yesus, Sabda Allah, adalah wahyu cinta Allah, karena Ia adalah putraNya. Meskipun demikian wahyu cinta Allah dalam diri Yesus dan melaluiNya ini harus diterima oleh umat manusia secara keseluruhan dan selanjutnya menerjemahkannya dalam tindakan hingga akhir zaman dengan kekuatan Allah dan Roh Kudus yang berkarya dalam Gereja hingga melewati batas-batas tembok Gereja.
Paulus menekankan, bahwa hanya Roh Allah yang dikirim oleh Yesus sesudah kebangkitanNyalah (Yoh 7,37-38) yang memungkinkan kita untuk menyebut Allah sebagai Bapa (Rom 8,15; Gal 4,6), mencintaiNya dan mencintai sesama kita dengan cinta yang sama, cinta yang diterima dari Bapa (1 Thes 4,9; Rom 5,5; 15,30; bdk. 1 Yoh 4,7). Dalam “himne cinta”-nya Paulus menyatakan dengan jelas, bahwa setiap tindakan kita menerima arti dan nilainya dari cinta, dan bahwa tanpa cinta karisma-karisma yang paling berharga pun tidak mempunyai arti (1 Kor 13).
5. Dogma-dogma Kristiani merefleksikan arti Yesus Kristus dalam pertemuannya dengan aliran-aliran utama agama dan filsafat dalam dekade tertentu. Tujuan dogma-dogma Kristiani ini ialah untuk melindungi iman perjanjian baru di tengah situasi yang setiap saat berubah.
6. Lebih lanjut agama Kristiani berarti berjalan pada jalan cinta yang sumbernya adalah Allah sendiri (1 Yoh 4,7), Dia yang mewahyukan diriNya dalam pewartaan, dalam hidup, kematian dan kebangkitan Yesus, putera Allah. Gereja Kristus didirikan di atas cinta dan hidup dari cinta pula.
Pelaksanaan otoritas dalam Gereja pada tempat pertama merupakan sebuah pelayanan pada komunitas Yesus Kristus berdasarkan gambar cinta yang hidup dalam Allah sendiri. Konsekwensinya, pelaksanaan autoritas ini menuntut cinta yang melayani terhadap Yesus dalam sebuah level atas (Yoh 21,15-17: “Petrus, apakah engkau mencintai Aku? … Gembalakanlah domba-dombaKu”).
Yang perlu diperhatikan, ialah bahwa komunitas cinta antar orang-orang Kristiani ini bukanlah sebuah cinta narsis yang hanya mengarah ke dalam diri sendiri. Komunitas ini haruslah menjadi komunitas kesaksian, “supaya dunia percaya” (Yoh 17,21). Adalah menjadi kewajiban setiap orang Kristiani dan kelompok-kelompok komunitas Kristiani untuk menjadi saksi cinta dalam dunia dengan mengusahakan keadilan, rekonsiliasi dan perdamaian: sebuah idealisme tinggi yang belum bisa dilaksanakan secara penuh dalam praktek. Setiap orang harus selalu mengusahakannya secara baru sesuai dengan bakat dan talenta yang diberikan. Sayangnya dalam perjalanan sejarah orang-orang Kristiani pada umumnya dan Gereja pada khususnya tidak selalu setia pada idealisme ini; kenyataan pahit ini hendaknya diakui dan disesali secara jujur(70).
Walaupun demikian kabar gembira Yesus itu selalu aktual dan aktif, sekarang dan dulu. Ia mendorong Gereja untuk hidup seturut hukum cinta dan bekerja demi perluasan misinya serta menghancurkan segala tembok pemisah antar manusia, baik itu karena ras, golongan maupun agama. Yang terpenting ialah berusaha mencabut „akar dosa“ egoisme dan kebencian. Setiap orang Kristiani dipanggil dalam Kristus untuk berusaha tanpa pamrih, agar cintalah yang pada akhirnya menang.
Uraian Tambahan: Islam dan Cinta Allah
Untuk mengklaim, bahwa cinta terhadap Allah dan terhadap sesama merupakan hukum yang pertama dan terutama dari agama Kristiani, itu tidak berarti bahwa agama-agama lain, terutama agama Islam sama sekali tidak mempedulikan cinta Allah dan sesama ini, atau juga bukan berarti, bahwa setiap orang yang berbicara tentang cinta dan hidup darinya sekurang-kurangnya adalah orang Kristiani. Ada sebuah jalan cinta yang kita kenal dalam agama Islam dan dipraktekkan oleh orang-orang Islam tanpa harus dihubungkan dengan ajaran Yesus atau ajaran agama Kristiani.
1. Hanya ada beberapa ayat al-Qur’ān yang berbicara tentang cinta Allah, baik itu cinta Allah kepada manusia (Allah sebagai “Dia yang mencintai secara intensif: wadûd, dua kali dalam Surah 11,90; 85,14; Allah yang “melemparkan” cintaNya – mahabba – kepada Musa, Surah 20,39) maupun cinta manusia kepada Allah (empat kali dalam Surah 2,165; 3,31; 5,54). Ada juga dua ayat al-Qur’ān yang berbicara tentang cinta timbal balik antara Allah dan “sebuah bangsa yang Ia cintai dan mencintaiNya” (Surah 5,54 dalam konteks dschihâd – dimengerti sebagai perjuangan fisik melawan orang-orang kafir, “perang suci”). Atas dasar ayat-ayat ini kita tidak bisa mengatakan, bahwa cinta Allah kepada manusia dan cinta manusia kepada Allah merupakan tema utama dalam agama Islam. Tema utama dari pesan al-Qur’ān ialah pewartaan tentang Allah yang satu dan esa, hakim yang adil dan berbelaskasih. Walaupun demikian cinta tetap merupakan sebuah tema dalam al-Qur’ān, dalam Hadis dan dalam ajaran-ajaran Islam klasik. Ia juga menjadi isi dan kosa kata khusus yang mendapat perhatian istimewa dalam tradisi spiritual agama Islam.
2. Tradisi spiritual ini dapat dilihat secara lebih jelas dalam Mistik-mistik Islam, para sufi. Bermula dengan Râbi’a di abad ke-7M, para Sufi mulai menjadikan cinta kepada Allah (yang dimaksudkan ialah cinta yang lebih mengarah pada cinta Allah kepada manusia, bukan sebaliknya) sebagai poros utama dalam segala pencarian mereka menuju Allah. Lewat para Sufi yang terkenal di babak-babak awal keberadaan agama Islam, terutama lewat Muhammad al-Ghazâli (+ 1111) „jalan cinta“ ini akhirnya dimasukkan dalam ajaran-ajaran Islam ortodoks. Ghazâli menekankan, bahwa hanya Allah-lah yang patut dicintai dan justru cinta inilah (mahabba) yang menjadi titik puncak dan titik akhir pencaharian atau pengembaraan spiritualnya. Kemudian idealisme cinta manusia kepada Allah ini mulai berkembang ke seluruh dunia Islam lewat komunitas-komunitas religius. Selanjutnya ia menjadi sebuah tema penting dalam meditasi yang sungguh-sungguh diterima oleh ajaran-ajaran Islam yang resmi.
Cinta kepada Allah ini ditandai oleh kekhasan-kekahasan Islami. Ia lebih dimengerti sebagai cinta manusia kepada Allah, dan bukan cinta Allah kepada manusia. Karena cinta dimengerti sebagai keinginan menggapai sesuatu yang tak dapat dijangkau, sementara Allah menurut iman agama Islam adalah Allah yang sungguh bebas dari suatu “kebergantungan” seperti itu. Cinta Islami adalah suatu kerinduan akan Allah, ya – kerinduan untuk lebih dekat denganNya, sementara suatu persatuan yang mesrah antara Allah dan manusia tidak mendapat tempat dalam definisi cinta ini. Memang cinta kepada Allah ini menuntut juga cinta terhadap sesama, tetapi cinta ini tidak dapat dan tidak boleh disejajarkan dengan cinta kepada Pencipta. Banyak mistik Islam, diantaranya Râbi’a dan al-Ghazâli, berpendapat, bahwa dalam usaha untuk meresapkan cinta Allah secara menyeluruh dan utuh, adalah penting untuk mengambil jarak sejauh mungkin dari makhluk-makhluk ciptaan.
2. Agama Kristiani sebagai jalan menuju kepenuhan manusia dan kemnanusiaan.
1. Bagi orang-orang beriman, baik Kristiani maupun Muslim, manusia itu diciptakan lewat “tangan Allah”, dibentuk berdasarkan gambarNya dan akan kembali kepadaNya. Ini adalah panggilan mendasar dari setiap pribadi, seluruh umat manusia, ya – bahkan seluruh ciptaan yang mendambakan kebebasan dari segala bentuk penindasan, untuk dapat sampai pada kemuliaan Allah (Rom 8,19-25; Surah 81; 82; 99; 101). Panggilan bersama inilah yang menjadi dasar bagi persamaan-persamaan dasar seluruh umat manusia melewati perbedaan-perbedaan ras, kedudukan sosial dan agama.
2. Pendapat tentang pribadi Yesus sebagai sabda Allah dalam agama Kristiani sesuai dengan pendapat yang ada dalam struktur bangunan iman al-Qur’ān. Tetapi agama Kristiani pertama-tama bukanlah sebuah ajaran, melainkan sebuah jalan, yaitu jalan mengikuti Kristus. Setiap orang dipanggil untuk diangkat menjadi putra-putri Allah (Ef 1,5). Antara Pencipta dan ciptaanNya berlaku cinta timbal balik. Pencipta adalah Bapa, manusia adalah anak-anakNya. Persatuan mesrah hubungan ini sungguh melampaui hubungan antara hamba (‘abd) dan tuan (rabb). Setiap orang Kristiani dipanggil untuk mencintai Allah dan seluruh umat manusia, karena mereka semua adalah saudara dan saudari Yesus serta anak-anak dari Bapa yang satu dan sama.
Cinta kepada Allah dan cinta kepada seluruh umat manusia adalah satu-satunya kepenuhan yang nyata dari setiap manusia. Ia sungguh melampaui cinta antar sesama manusia yang alami. Karena Yesus menuntut supaya orang jangan membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan selalu mengampuni, bahkan mencintai musuh-musuhnya. Tak seorang pun yang dapat merealisasikan cinta ini atas dasar kekuatannya sendiri. Ia adalah anugerah dari Allah. Kekhasan cinta ini terpatri ketika kita sungguh mencintai saudara-saudari kita sebagaimana Allah mencintai mereka. Yesus sendiri menghidupi kabar gembira ini sampai wafatNya di kayu salib. Menolak kepercayaan dan iman akan Allah – juga kalau Ateisme berusaha untuk memagarinya dengan penjelasan-penjelasan subyektip – berarti merampas makna terakhir dari kehidupan manusia.
3. Orang-orang Islam dan Kristiani berada bersama dalam perjalanan menuju kerajaan Allah. Tetapi kepenuhan manusia dalam dunia ini tidak akan pernah dapat direalisasikan secara penuh. Harapan akan kepenuhan yang utuh dan total adalah kekuatan besar yang menjadi daya dorong bagi manusia dan kemanusiaan pada umumnya. Kemajuan dalam segala maknanya akan selalu saja mungkin sampai akhir zaman, dan dalam lingkup kehidupan individual akan saja mungkin sampai kematian menjemput. Bagi kebanyakan orang, ini bisa saja dilihat sebagai bukti bagi kesia-siaan dan kehampaan kehidupan manusia, tetapi bagi kaum beriman kematian Yesus di atas kayu salib justru membuka jalan bagi kebangkitanNya dan kebangkitan semua orang yang percaya. Dia mengubah kematian dengan merilis kemenangan atas kematian. Akhir dari kehidupan manusia, akhir dunia pada akhir zaman membuka jalan menuju kehidupan baru, menuju pemenuhannya yang terakhir. Di sana setiap manusia akan melihat wajah Allah dari muka ke muka dalam langit dan bumi yang baru. Di sana segala umat manusia beserta segala ciptaan akan mendapatkan realisasi kepenuhannya yang utuh dan definitip (Rom 8,22-23).
4. Martabat manusia itu didasarkan pada kenyataan, bahwa ia diciptakan menurut gambar Allah (Gen 1,26-27, dikutip lagi dalam 1 Kor 11,7; Kol 3,10; Yak 3,9), menurut gambar Kristus (Yoh 1,3; Rom 8,29; 1 Kor 8,6; Kol 1,16; Hebr 1,2). Karena itu manusia tidak boleh menjadi sarana atau alat untuk suatu tujuan tertentu. Hak-haknya harus dihormati oleh setiap kekuasan, baik itu kekuasaan sekuler, religius, sosial ataupun politis.
Tetapi pribadi manusia itu hanya dapat mencapai kepenuhannya dalam sebuah masyarakat atau kelompok, dimana orang-orang yang hidup di dalamnya adalah pribadi-pribadi yang bebas dan tidak dideterminasi. Karena itu keluarga dan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat memainkan peran penting, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Hak-hak pribadi dan hak-hak bersama harus berada dalam suatu porsi yang seimbang. Kelompok atau komunitas-komunitas manusia, baik itu sekuler maupun religius, mengabdi bagi kepentingan umum, kalau dan sejauh mereka menghormati martabat setiap pribadi.
Uraian Tambahan: Humanisme Islam
Agama Kristiani bukanlah satu-satunya agama yang mengklaim dirinya sebagai agama yang menawarkan sebuah pandangan yang menyeluruh tentang manusia, tentang asal-usulnya dan tentang penentuan keberadaannya. Agama Islam pun mengklaim hal yang sama. Humanisme Islam memiliki banyak kesamaan dengan pandangan Kristiani. Tetapi ketika agama Kristiani menjadikan Kristus dan agama Islam menjadikan al-Qur’ān sebagai titik tengah permenungannya, di sana terdapat perbedaan-perbedaan mendasar dalam hal penekanannya.
Al-Qur’ān mengajarkan: Allah menciptakan manusia „dengan tanganNya“ (Surah 38,75), membentuknya dari tanah liat (Adam: Surah 7,12; 23,12; 32,7) atau pun dari benih laki-laki (Surah 18,27; 22,5; 32,8; 80,19). Setelah itu Allah menghembuskan „Roh“-Nya ke dalamnya (Surah 15,29; 32,9; 38,72). Dengan mengacu pada Genesis 1,26, sebuah Hadis yang terkenal mengajarkan, bahwa manusia itu diciptakan seturut gambar Allah.
Manusia diciptakan untuk menyembah Allah yang esa, untuk mengabdi kepadaNya, untuk mentaatiNya, memuliakan, memuji dan berterimakasih kepadaNya (Surah 4,1; 51,56; 3,190-191; 7,172; 30,17-18). Ia adalah makhluk yang fana (baschar), sering memberontak. Walaupun demikian ia diserahi tugas untuk bersaksi tentang iman akan Allah yang esa (Surah 7,172-173).
Barangsiapa yang menolak untuk mengimani Allah yang esa, ia tidak beda dengan binatang (Surah 25,44; 8,55; 22,18). Manusia memiliki derajat yang lebih tinggi. Hanya kepada Adamlah Allah mewahyukan segala nama binatang, suatu yang tidak dibuat kepada malaekat sekalipun (Surah 2,31-33). Karena itu setelah penciptaan Adam, Allah memerintahkan para malaekat untuk berlutut di hadapan Adam. Hanya setan (Iblîs) -lah yang menolak untuk melakukan perintah ini (Surah 15,31; 18,50; 19,44; 20,116; 38,74). Manusia adalah raja dari segala ciptaan yang lain. Allah menghendaki supaya mereka semua tunduk di bawah perintah manusia dan mempercayakan semuanya di bawah tanggung jawabnya pula (Surah 14,32-33; 16,12-14; 22,65). Ia adalah „Wali Allah di atas bumi“ (Surah 2,30), sebuah pernyataan yang sering dikutip oleh penulis-penulis modern yang mewakili sekaligus ingin memperkenalkan humanisme Islam(71).
______________________________________________________________
- (65) Sebagian umat Muslim yakin bahwa Injil palsu ini muncul lagi dewasa ini oleh karena ditemukannya ″Injil Barnabas″. Akan tetapi harus diketahui bahwa Injil yang disebut ″Injil Barnabas ini“ merupakan Injil palsu dari abad ke-16, kemungkinan besar ditulis oleh seorang Muslim Andalusia yang dikonversi secara paksa kepada agama Kristiani, atau mungkin ditulis oleh seorang Muslim yang hidup di kota Venezia, Italia. Bdk. Christine Schirrmacher, Der Islam, Band. 2: (Neuhusen/Stuttgart: Hänssler, 1994), hal.268-289.
- (66) Al -Wādi al-Muqaddas (Lembah Suci), Kairo, Dar al-Ma’ārif, 1968. Terjemahan Inggris: The Hallowed Valley. A Muslim Philosophy of Religion, Cairo 1977.
- (67) Bdk. Ibid. Hal:31
- (68) Juga al-Qur’ān berbicara tentang kasih melalui formulasi kata-kata yang bisa membangkitkan resonansi emosional, misalnya “mahabba, mawadda, rahma”.
- (69) Pokok pikiran ini sudah dilihat dengan jernih oleh pemikir Muslim besar al-Bïrūnï (1973 sampai sekitar 1050). Bdk. Kutipan-kutipan yang berkaitan dengan ini di bawah judul: “Allah yang Esa”, dan di bawah bab “Keallahan Yesus”.
- (70) Lihat bab “Gereja”.
- (71) Dalam sebuah refleksi mendalam tentang Surat 33,72, pemikir Muslim kontemporer Muhammad Talbi (Lahir di Tunisia tahun 1921) menjelaskan bagaimana Allah menawarkan “amāna”, yakni harta karun iman atau tanggungjawab pemerintah duniawi kepada langit, bumi dan gunung gemunung, akan tetapi pada masa itu manusia terlalu bodoh sehingga menolak tawaran tersebut. Menurut Talbi, inilah sisi tragik dari nasib manusia (s. Comprendre [Paris], no.98, Nop.1970).
_________________________________________________________
Penerjemah: Dr. Markus Solo Kewuta