German
English
Turkish
French
Italian
Spanish
Russian
Indonesian
Urdu
Arabic
Persian

Kematian – Pengadilan Terakhir – Kehidupan Abadi

 1. Pandangan Islam

Kematian

Seorang muslim hendaknya tidak menepis kematian dari hidupnya. Sebaliknya ia ditantang untuk hidup bersama kematian. Kematian adalah pendamping harian yang setia bagi manusia. Ini hendaknya disadari oleh setiap manusia demi kehidupan itu sendiri. Dalam al-Quran tertulis: „Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, walau pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kukuh“ (4,79) atau, „Kematian yang ingin kamu hindarkan, pasti akan mendapatkanmu“ (62,9) dan pada akhirnya: „Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-kali, tidak dapat dikalahkan, untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui (56,61-62).

Seorang muslim mengucapkan rumusan ini lima kali sehari: ”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” [...] Dalam tatanan kehidupan iman kaum muslim, kematian itu tidak ditutup-tutupi dan tidak disingkirkan. Justru kematian itu diberi arti tersendiri, atau lebih tepat, diberi arti yang sesungguhnya. Allah mengingatkan manusia lewat SabdaNya – al-Quran –, bahwa kematian itu pada tempat pertama bukanlah “upah dosa”, melainkan terutama “jalan pulang” (kembali), bukan akhir dari segalanya. Apa yang kita lihat dan anggap sebagai kematian, sebagai exitus – ya sebagai jalan keluar, akhir, kiamat atau juga sebagai bencana, dalam kacamata iman justru merupakan kembalinya kehidupan kepada Asalnya dalam “persekutuan yang mesra dengan Allah” (5,36). Dalam al-Quran dijelaskan, bahwa bagi Allah kematian itu bukanlah seperti yang dipikirkan manusia [...]

Tradisi

Untuk lebih mengerti pandangan islam tentang hari kebangkitan dan kehidupan abadi yang dekat dengan Allah secara pasti, kita hendaknya menyimak apa yang diwariskan oleh tradisi yang hidup.

Dalam hubungan dengan peristiwa-peristiwa eskatologis, malaekat maut (tradisi menyebutnya „Izra’il“) memainkan sebuah peran yang dominan. Surah 32,12 memberi kesaksian tentangnya demikian: “Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.”

Juga kalau al-Quran tidak berbicara secara mendeteil tentang peristiwa antara kematian dan kebangkitan, tradisi toh banyak berbicara tentang tema ini. Menurut tradisi, malaekat maut mengemban tugas memisahkan jiwa (‘nafs’ atau ‘ruh’) dari badan orang yang meninggal. Kalau ia termasuk dalam kelompok orang yang diselamatkan, maka ia akan dituntun ke hadapan Allah, dan segala dosanya akan diampuni. Setelah itu jiwa akan kembali ke bumi dan menetap dalam jasad orang yang belum dikebumikan. Sebaliknya, Jiwa orang yang terkutuk akan ditepis menuju gerbang surga yang paling bawah. Setelah itu malaekat maut akan melepaskan tangan darinya dan ia akan jatuh kembali ke bumi. Di sana ia akan berada di bawah kuasa Zabaniya, malaekat penjaga neraka, dan akan dituntun menuju kumpulan orang-orang terkutuk.

Sebuah stasi atau perhentian penting yang patut dicatat adalah wawancara dalam kubur. Ketika jasad orang yang meninggal dikuburkan, akan datang malaekat Munkar (tercelah) dan malaekat Nakir (mengerikan), untuk bertanya tentang iman dan kehidupan iman orang yang meninggal. Tradisi ini berbicara tentang adegan yang menyayat hati – suatu adegan yang memiliki peran penting dalam peristiwa penguburan. Orang-orang yang datang melayat berusaha untuk membantu orang yang barusan meninggal dalam mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan. Rumusan atau formulasi yang dikenakan padanya berbunyi: “Hai hamba Allah! Ingatlah akan kewajibanmu sebelum engkau meninggalkan dunia ini: Pengetahuan dan pengertian, bahwa tidak ada ilah lain selain Allah yang satu dan esa dan bahwa Muhammad adalah utusanNya; bahwa iman akan firdaus (surga) adalah sebuah kebenaran, dan bahwa neraka memang ada; bahwa wawancara dalam kubur adalah benar adanya dan tidak boleh ada kebimbangan tentang pengadilan terakhir yang akan datang, dimana Allah akan membangkitkan semua orang dalam kubur; bahwa engkau hendaknya mengetahui: Allah adalah Tuhanmu, al-Quran adalah panduanmu, Ka’ba adalah arah tujuanmu di saat engkau berdoa dan bahwa semua orang beriman adalah saudara-saudarimu. Allah akan memberikan kekuatan kepadaamu dalam menghadapi cobaan ini; karena al-Quran sendiri mengatakan: ‘Allah menguatkan kaum beriman dengan sabdaNya yang sudah berurat akar – baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan di masa depan; dan Allah membiarkan orang-orang lalim tersesat; karena Allah berbuat seperti apa yang Ia kehendaki’.” (14: 28).

Seandainya jawaban yang akan diberikan oleh orang yang meninggal seperti ini, maka ia akan diterima oleh malaekat Mubashshar dan Bashir (pewarta kabar gembira). Mereka akan membuka sedikit pintu kubur, sehingga cahaya bisa masuk dan menyinari jasad orang yang meninggal sebagai tanda kebangkitan yang dijanjikan. Setelah itu mereka berkata: Tidurlah bagai pengantin laki-laki yang lelap tertidur – pengantin yang hanya bisa dibangunkan oleh kekasihnya tercinta. Tidurlah, sampai Allah membangkitkanmu dari kematian.

Sebaliknya, kalau jawaban yang diberikan melenceng dari jawaban yang seharusnya, orang yang meninggal akan memperoleh hukuman kubur. Ia akan dicemeti dan dihinakan oleh Munkar dan Nakir.

Setelah itu malam panjang pun dimulai, malam penantian menuju pengadilan terakhir. Jiwa-jiwa akan menjalani sebuah kehidupan bagai orang yang lelap dalam kemabukan. Tetapi pada gilirannya, ketika pengadilan akhir itu tiba, segala-galanya akan muncul, „seolah-olah mereka hanya berada sejam lamanya dalam kubur“ (10,46) atau „seolah-olah mereka hanya berada semalam hingga fajar menyingsing“ (79, 47).

Pada prinsipnya, tradisi tentang wawancara dalam kubur didasarkan pada dua ayat al-Quran:

- “Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar” (9,101);

- “Mereka akan berkata: ‘Tuhanku, Engkau membiarkan kami mati dua kali dan dua kali pun Engkau menghidupkan kami kembali, dan kami menyesali dosa-dosa kami. Apakah ada jalan bagi kami untuk menghindar darinya’?” (41,11).

Tentu tradisi di luar al-Quran seperti ini sudah selalu dipermasalahkan dalam teologi, juga kalau ini sudah menjadi bagian integral dalam kesalehan masyarakat umum. Terutama dalam mazhab teologi Mu’tazila yang sangat menekankan ratio (paruh pertama abad ke-8) – termasuk di dalamnya reformator Muhammad Abduh (1849-1905) – ajaran tentang wawancara dalam kubur dan hukuman kubur ditolak. Argumentasi para penganut mazhab Mu’tazila adalah: Bagi yang sudah meninggal tidak dikenal dan tidak dibuktikan adanya penghidupan kembali jasad dan tidak ada interogasi mayat di dalam kubur. Pendapat ini memang tidak sejalan dengan penafsiran harafiah ayat-ayat al-Quran yang sepertinya berbicara juga tentang hukuman kubur. Tetapi menurut mazhab ini, arti harafiah al-Quran hanya bisa diterima, kalau arti ini tidak bertentangan dengan pengalaman dan ratio. Dalam hal ini, ayat-ayat al-Quran itu hendaknya dimengerti secara metaforis. Menurut mazhab ini, adalah sebuah kewajiban untuk percaya, bahwa setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan bahwa atas dasar pertanggungjawaban ini ia akan diterima atau dihukum.

Tentang perhentian jiwa antara batas kematian dan kebangkitan, terdapat warisan tradisi yang berbeda. Ada tradisi yang mengatakan, bahwa sampai kebangkitan, jiwa berdiam di dalam kubur: Ini adalah tempatmu sampai pada hari kebangkitan, karena Allah akan membangkitakanmu. Dalam kubur ini jiwa akan menerima upah atau hukuman sesuai dengan apa yang dilakukan selama masih hidup di dunia. Ini adalah cicipan rasa awal dari apa yang sementara menunggunya pada pengadilan terakhir setelah kebangkitan.

Tradisi yang lain mengatakan, bahwa sebelum pengadilan terakhir, semua orang beriman sudah datang ke firdaus: Jiwa orang-orang beriman itu seperti seekor burung yang bertengger di pepohonan firdaus hingga Allah membangkitkan badannya pada hari kebangkitan.

Mengingat usia tradisi yang masih sangat dini, para teolog menganggapnya sebagai „bila kaifa“, artinya: “Kami memang percaya pada tradisi ini, tetapi tidak mau bertanya, bagaimana itu mungkin”.

Sebaliknya para pengikut Mu’tazila merujuk pada pendapat sahabat-sahabat Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Dalam diskusi-diskusi mereka mencukupkan dirinya dan melayangkan pandangannya pada pernyataan eskatologis: “Jiwa-jiwa kaum beriman beristirahat dalam Allah”, tanpa menambahkan sesuatu pun. Demikianlah sedikit pendapat dan pandangan dari tradisi.

Al-Quran untuk mengatasi batas kematian

Apa pun pendapat yang ditimba dari tradisi-tradisi saleh, harus digarisbawahi, bahwa dari teks-teks warisan tradisi ini tersingkap suatu kepastian, bahwa manusia akan berjumpa dengan Allah, bahwa apa yang dinamakan batas kematian tidak berlaku untuk Allah, bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan sebuah awal baru.

Walaupun gagasan tentang firdaus (sirga) itu beraneka warna dan hanya bisa dimengerti lewat perumpamaan, demikian Surah 47,16, toh menyangkut perjumpaan dengan Allah, al-Quran sepertinya miskin kata-kata, seolah-olah ia mau mendemonstrasikan, bahwa mengatasi kematian lewat kekuatan dan rahmat Allah tidak membutuhkan banyak kata dan rujukan-rujukan.

Dalam kenyataan, bagi agama islam, iman akan kebangkitan menuju kehidupan abadi, iman akan “pengadilan terakhir” dan akan upah serta hukuman adalah suatu yang esensial. Reformator Muhammad Abduh (1849-1905) menulis secara jelas dalam karyanya tentang keesaan Allah (tawhid) demikian:

“Siapa yang percaya pada Kitab Suci dan hukum-hukumnya dan mengalami kesulitan untuk mengerti secara harafiah sabda yang tertera dalam Kitab, ia diperbolehkan untuk mengerti wahyu tentang dunia seberang dan segala kejadian supranatural secara metaforis sebagaimana yang ia pikirkan. Walaupun demikian ia harus mendasarkan interpretasinya pada bukti-bukti yang akurat dan berpegang teguh pada ajaran tentang kehidupan dan kematian. Interpretasi dan penjelasannya juga tidak boleh menyimpang dari iman akan upah serta hukuman-hukuman bagi karya-karya duniawinya dan janji-janji serta ancaman-ancaman yang berdasarkan ajaran al-Quran akan terpenuhi dalam kehidupan di masa datang. Akhirnya interpretasinya pun tidak boleh mempertanyakan kewajiban-kewajiban moral yang dikenakan pada agama.

Di sini Abduh mengakomodasi point kelima pengakuan iman islam yang berbicara tentang “kebangkitan kembali setelah kematian dan hari akhirat”. Pasal atau point ini didasarkan pada al-Quran dalam Surah 2,178 tentang rumusan keimanan (ortodoksi): “... sungguh, adillah orang yang percaya pada Allah dan pada hari kiamat” , atau dalam Surah 30,51: “Karena itu, pandanglah jejak-jejak belaskasihan Allah: bagaimana ia menghidupkan kembali bumi setelah kematiannya. Sungguh! Allah yang sama akan membangkitkan orang mati, karena Ia bisa melakukan segala sesuatu”.

Dalam pengertian Islam, dunia seberang itu tidak digambarkan sebagai suatu kenyataan atau sebagai suatu tempat konkret: Al-Quran dan tradisi tidak memberikan sebuah gambaran konkret tentang firdaus dan api neraka. Lewat pernyataan-pernyataan tentang “taman keabadian” dan tentang “api” yang “dibungkus” dalam perumpamaan, mereka ingin menekankan tingkat intensitas kegembiraan atau penderitaan (tetapi bukan dalam lingkup kualitas) sebagai akibat langsung perbuatan-perbuatan manusia yang dijanjikan dan ditentukan oleh belaskasihan Allah. Kalaupun ada ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang itu dalam lingkup kualitas upah firdaus (surga), itu hanya dalam pengertian ini: “Tidak ada jiwa yang tahu, betapa banyak keindahan yang masih tersembunyi di balik matanya – keindahan yang menjadi upah bagi perbuatan-perbuatannya.” (32,18). Dan dalam sebuah Hadis terbaca: “Saya telah menyediakan sesuatu bagi hamba-hambaku yang benar dan bijak, sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga, ya sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh hati manusia.” (Abu Huraira, berdasarkan Imam Bukhari dan Muslim). [...]

Pandangan tentang firdaus (surga) dan tujuannya

Manusia hanya dapat membayangkan kegembiraan dan penderitaan dalam hubungan dengan pengalaman-pengalaman hidup pribadinya dan dengan situasi-situasi konkret dunia sekitarnya. Muhammad Hamidullah berpendapat, bahwa bentuk dan isi pernyataan tentang firdaus dan neraka tentunya didasarkan pada horizon harapan dan kekuatan imaginasi orang-orang yang hidup di zaman nabi Muhammad, dan bahwa gambaran ini dibuat berdasarkan situasi dan keadaan dunia sekitarnya waktu itu. Dengan menggunakan hal-hal yang dapat diindrai, mereka membayangkan segala apa yang mengitari kehidupan mereka yang fana: Taman dan sungai, gadis-gadis cantik, permadani, batu mulia, buah-buahan, anggur dan segala apa yang dapat diinginkan manusia. Hal yang sama dipetakan untuk neraka: api, ular, air yang mendidih dan cambuk-cambuk; juga padang gurun es – meskipun demikian (!!) tidak ada kematian.

Juga kalau di zaman ini gambar-gambar di atas sudah asing bagi kita, bisa dirasakan dari intensitas ketegangannya, betapa mereka ingin memaparkan sesuatu yang tidak harus dimengerti dengan akal sehat dan dicerna secara logis, melainkan mereka ingin mempresentasikan sesuatu yang berhubungan erat dengan perasaan. Walaupun demikian, tujuan yang ingin dicapai terlihat jelas: Kita dihadapkan dengan gambar-gambar yang menjadi alat bantu untuk memberikan orientasi pada sikap moral dan sikap sosial manusiawi kita.

Misalnya Sang Nabi berkata: “Kalau kematian mendatangi seorang yang beriman, ini adalah suatu kabar gembira dari cinta dan rahmat Allah. Tidak ada yang lebih baik, daripada menerima kematian ini. Manusia rindu untuk berjumpa dengan Allah dan Allah rindu untuk berjumpa dengannya.

Sebaliknya bagi seorang yang tidak percaya, kabar ini datang dalam bentuk sebuah keputusan yang berisi murka Allah dan hukuman-hukuman yang menanti. Tak ada sesuatu pun yang lebih keji, daripada hukuman yang menantinya. Baginya perjumpaan dengan Allah adalah suatu harapan yang sia-sia, dan juga bagi Allah harapan demikian tidak patut dipikirkan olehnya.

Penghuni neraka akan menjadi semakin bertambah, sehingga jarak antara daun telinga dan bahu seperti sebuah jarak yang ditempuh selama tujuh ratus tahun, kulitnya seberat tujuh puluh hasta dan gerahamnya akan menjadi seperti gunung Uhu” (Ibn Omar, berdasarkan Musnad Ahmad).

Jika dipikirkan, bahwa tubuh manusia, terutama kulit dan bagian kepala sangat rentan terhadap rasa sakit, dapat dibayangkan, bagaimana gambaran demikian berpengaruh terhadap orag-orang yang hidup di zaman itu.

Tentang para penghuni firdaus, tradisi mengatakan: “Hal yang paling sederhana bagi kalian penghuni firdaus, ialah bahwa Allah akan mengatakan kepadamu untuk mengungakpakan apa yang menjadi harapanmu. Harapan ini akan dipenuhiNya. … Pada akhirnya Allah akan mengatakan kepadanya, bahwa Ia akan memenuhi segala harapannya. Ia akan menerima segala apa yang menjadi harapannya ditambah lagi dengan hal-hal yang tak disangka-sangka (Abu Huraira dan Muslim).

Memandang Allah

Kunci untuk mengerti tentang harapan keselamatan bagi orang-orang saleh pada akhir hidupnya dapat disimak dalam Surah 10,26. Di sana tertulis: „Bagi mereka yang berbuat baik akan menjadi yang terbaik, bahkan lebih dari itu“. Pemikir tradisionalis Imam Muslim (+ 875) dan Muhammad Abu Isa al-Tirmizi berpendapat, bahwa Nabi Muhammad sendiri mengacu pada ayat al-Quran ini, ketika iaberbicara tentang „rahmat memandang Allah“ sebagai upah terbesar bagi orang-orang yang percaya. Sebuah Hadis mencatat, bahwa Allah akan menampakkan diriNya kepada semua orang yang berkumpul die sebuah „tempat kediaman“, dan mereka semua akan melihatNya, sebagaimana „orang melihat bulan purnama di waktu malam“.

Tujuan terakhir yang ingin dicapai oleh setiap orang islam adalah „persekutuan yang mesra dengan Allah“, „rahmat memandang Allah“. Dalam al-Quran tertulis: „Wajah-wajah (orang-orang mu'min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat“ (75,23). Berdasarkan Surah 9,72, ini adalah „kegembiraan terbesar“, tempat kedamaian abadi, situasi „islami“ sebagai titik akhir dari jalan lurus (10,26). Dan Allah memberikan janji bagi mereka yang mengatasi kematiannya: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.“ (89,28-31).

Sebaliknya bagi mereka yang terkutuk Surah 2,175 mengatakan, bahwa „Allah tidak akan menyapa mereka pada hari kebangkitan“, atau juga dalam Surah 3,78: „Allah tidak akan berbicara dengan mereka dan juga tidak akan memalingkan wajahNya kepada mereka pada hari kebangkitan“; mereka „pada hari itu akan terpisah dari Allahnya“ (83,6). Tetapi situasi seperti ini bukannya sampai selamanya. Muhammad mengatakan: „Tentang neraka akan tiba sebuah hari, dimana pintu-pintunya remuk diterbangkan (angin). Pada waktu itu tidak akan ada orang lagi yang tinggal di dalamnya“ (Abd Allah ibn Amr Ibn al-As berdasarkan Musnad Ahmad).-

Di balik segala tradisi dan janji-janji ini, tertera seruan Allah untuk memperoleh kehidupan yang benar: “Hai kamu semua yang percaya. Jawablah Allah dan utusanNya, kalau Ia memanggilmu; supaya Ia memberikanmu kehidupan dan ketahuilah, bahwa Allah berada di antara manusia dan hatiNya, dan bahwa kepadaNya lah kalian semua akan berarak dan berkumpul“ (8.25).

(Dari: Muhammad Salim Abdullah, Islam – Für das Gespräch mit Christen (Islam – Untuk Dialog Dengan Umat Kristen). Altenberge, 1988, hal. 82-93

II. Pandangan Kristiani

Kebangkitan orang mati dan Kehidupan Kekal

Ada banyak orang yang meninggal setelah mencapai umur panjang. Tetapi ada juga anak-anak dan orang muda yang meninggal karena penyakit, kelaparan, kedinginan ataupun karena kecelakaan. Allah sendiri yang mengetahui, berapa banyak manusia yang meninggal karena kemasabodohan sesamanya – mereka yang tidak ingin membagi roti dan obat-obatan, yang tidak mau memberikan tanah dan tumpangan kepada sesamanya; atau juga karena kekerasan dari mereka yang lebih suka berperang daripada memperjuangkan perdamaian.

• Kalau orang kristen mengatakan, bahwa mereka percaya pada kebangkitan orang mati dan kehidupan kekal, itu tidak berarti, bahwa mereka mau mengelak dari kematian dan penderitaan.

• Dalam pandangan mereka, yang pertama-tama dan utama bukanlah untuk menghibur sesamanya yang dilalaikan dan disingkirkan dengan pernyataan tentang kehidupan yang lebih baik sesudah kematian.

• Kalau orang kristen mengatakan, bahwa mereka percaya pada kebangkitan orang mati dan kehidupan abadi, mereka ingin megatakan: „Kita percaya dengan pasti dan berharap dengan penuh kepercayaan: seperti Kristus telah bangkit dengan sesungguhnya dari antara orang mati dan hidup selama-lamanya, demikianlah orang-orang benar, sesudah kematiannya akan hidup untuk selama-lamanya bersama Kristus yang telah bangkit kembali dan Ia akan membangkitkan mereka pada akhir zaman“ (KGK 989). Kami percaya, bahwa kami dipanggil untuk hidup dengan segala keberadaan yang telah dimuliakan, lewat cara yang lebih mulia daripada segala apa yang dapat dibayangkan dan diimpikan oleh pikiran kami, karena itulah yang dianugerahkan Allah kepada kami.

Ia bukanlah Allah orang mati

Buku-buku Kitab Suci adalah buku yang penuh ceritra. Di dalamnya manusia berbicara tentang rencana-rencana dan tujuannya. Mereka juga berbicara tentang kegembiraannya yang mereka timba dari kehidiupannya; tentang kesedihan dan kekecewaan, ketika bencana menimpa; tentang kejahatan yang mereka perbuat sendiri dan tentang kejahatan yang ditimpahkan kepada mereka. Mereka bertanya: Untuk apa sebenarnya kita hidup dalam dunia? Untuk apa segala kerja dan usaha, kalau setiap orang tahu, bahwa sekali kelak ia toh harus mati? Mengapa yang lain boleh menikmati kehidupan yang panjang, sementara yang lainnya harus meninggalkan kemah kediamannya di bumi sebelum mereka sungguh menghidupi keidupannya? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini manusia tidak dapat menimba jawaban dari pengetahuannya sendiri.

Semua orang yang dikisahkan dalam Kitab Suci tahu dan sadar tentang keterbatasannya. Tetapi mereka toh mengalami adanya harapan yang melampaui keterbatasannya ini. Mereka merasa, bahwa mereka terbuka bagi Allah. KepadaNya-lah mereka menyandarkan harapannya.

Dalam pewartaanNya Yesus memberikan jaminan, bahwa orang-orang yang telah meninggal akan bangkit. Ketika sahabatNya Lazarus meninggal, ia berkata kepada saudarinya Marta – mengatakan apa yang akan terulang kembali ketika berhadapan dengan setiap orang sedih karena kehilangan saudara atau saudarinya di pintu kubur:

"Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati”

Injil Yohanes 11,25

 

Pada hari paska Allah menunjukkan lewat Yesus Kristus, bahwa Ia lebih kuat dari kematian. Kubur Yesus telah kosong dan Yesus yang bangkit menampakkan diriNya kepada para rasulnya, menunjukkan bekas luka pada tangan dan kaki yang ditembusi paku dalam drama penderitaanNya dan berkata: „Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini“ (Luk 24,39).

 

Kebangkitan Yesus memberikan mereka kepastian, bahwa kita pun akan bangkit bersamaNya, seperti yang dikatakan oleh Santu Paulus:

 

„Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.“

 

Surat Santu Paulus kepada jemaat di Roma 8,11.

 

Yesus bersabda:

“Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.”

Injil Yohanes 5,28-29

Bagaimana dengan kebangkitan orang mati?

Kata dan bahasa kita merujuk pada dunia ini dengan segala kenyataannya. Kita tidak mampu membahasakan dunia dan kenyataan Allah. Pengalaman ini sudah dialami oleh orang kristen perdana, ketika mereka bertanya: Bagaimana dengan kebangkitan orang yang sudah meninggal? Bagaimana dengan tubuh yang membusuk di dalam kubur? Apakah seorang yang cacat akan tetap cacat setelah kebangkitan? Apakah seorang anak kecil yang meninggal akan menjadi orang dewasa di surga? Apa yang terjadi dengan semua mereka yang hidup dalam harapan dan iman akan Yesus Kristus, baik yang sudah meninggal maupun yang akan meninggal?

Berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan ini – dan juga dengan banyak pertanyaan lain – kita tidak mempunyai jawaban yang lebih tepat selain mengarahkan mata kita kepada Yesus yang bangkit, Yesus yang berubah rupa dalam kemuliaan dan sekaligus mengenakan bekas luka penderitaan pada tubuhNya sebagai tanda cintaNya yang besar, dengannya Ia mempersembahkan diriNya bagi kita. Kubur yang kosong, bekas luka paku di satu pihak dan penampakkan Yesus yang bangkit secara baru dan penuh rahasia di lain pihak memberanikan kita untuk berkata, bahwa orang yang sudah meninggal akan bangkit bersama tubuhnya yang sudah berubah karena dimuliakan, sebagaimana biji gandum yang jatuh, dalam kematian diubah, supaya bisa menghasilkan buah. (bdk. Yoh 12,24).

Apa artinya "bangkit"? Pada saat kematian, di mana jiwa berpisah dari badan, tubuh manusia mengalami kehancuran, sedangkan jiwanya melangkah menuju Allah dan menunggu saat, di mana ia sekali kelak akan disatukan kembali dengan tubuhnya. Dalam kemaha-kuasaan-Nya, Allah akan menganugerahkan kepada tubuh kita secara definitif kehidupan yang abadi, waktu Ia menyatukannya lagi dengan jiwa kita berkat kebangkitan Yesus.

Katekismus Gereja Katolik, 997.

Berhadapan dengan rahasia sekitar hidup dan cinta yang „dilandaskan pada kekuasaan Allah“, Santu Paulus menulis untuk jemaatnya di Korintus demikian:

„...Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia."

Surat pertama Santu Paulus kepada Jemaat di Korintus 2,9

Ketika kami mengambil bagian dalam perayaan ekaristi, kami memberikan tubuh Tuhan kami yang bangkit kepada tubuh kami sebagai makanan. Ekaristi adalah sebuah jaminan bagi kehidupan kekal. “Penerimaan Ekaristi sudah memberi kepada kita satu gambaran terlebih dahulu mengenai perubahan rupa badan kita oleh Kristus” (KGK 1000).

“Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.”

Injil Yohanes 6,54.

Dalam harapan dan penantian akan kebangkitan, jiwa dan badan orang beriman sudah mengambil bagian dalam martabat „mengenakan Kristus“. Karena itu dituntut untuk menghargai tubuh sendiri, tetapi juga tubuh sesama, terutama tubuh mereka yang menderita (bdk. KGK 1004).

„Tubuh... adalah untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh. Allah, yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya. Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? ... Kamu bukan milik kamu sendiri. ... Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!“

Surat pertama Santu Paulus kepada Jemaat di Korintus 6,13-15.19-20.

Orang kristen dan kematian

Kematian menakutkan manusia – juga bagi mereka yang percaya kepada Allah. Karena kematian berarti perpisahan dan pemisahan. Segala-galanya yang punya pengaruh terhadap kehidupan manusia, harta benda dan manusia, harus ditingglakan. Setiap orang akan meninggal dengan tangan kosong.

Setiap orang yang akan meninggal tidak perlu malu dengan ketakutannya. Juga di atas kayu salib Kristus memanggil bapaNya. BersamaNya setiap orang yang akan meninggal boleh berseruh kepadaNya, ketika senja kehidupannya tiba. Seperti seorang penjahat yang disalibkan bersama Yesus, setiap orang boleh mengungkapkan seluruh kepercayaannya pada Penebus yang akan menjawabnya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." (Luk 23,43). Bersama Yesus setiap orang yang akan meninggal merasa yakin dan pasti, bahwa Allah yang maharahim akan mengubah ketakutan menjadi kegembiraan dan memenuhi tangan-tangan yang kosong. „Dan untuk mereka yang mati dalam rahmat Kristus, kematian adalah "keikut-sertaan" dalam kematian Kristus, supaya dapat juga mengambil bagian dalam kebangkitan-Nya.“ (KGK 1006).

Kami percaya, bahwa Allah berjumpa dengan kita ketika kita meninggal. Mata yang tertutup oleh kematian akan terbuka. Kita berdiri di hadapan Allah, setiap orang dengan sejarah hidupnya, dengan cinta dan dosa-dosanya. Dengan segala yang baik dan yang jahat – ya dengan segala yang ia perbuat: yang ia perbuat demi cinta Allah dan sesama, tetapi juga dengan segala yang merugikan dirinya. Kami percaya, bahwa perjumpaan ini adalah saat yang menentukan kehidupan.

Para nabi Israel dan Yesus sendiri menamakan pengalaman-pengalaman ini sebagai sebuah pengadilan. Mata Allah melihat sampai ke kedalaman hati kita. Di hadapanNya kita tidak dapat menyembunyikan sesuatu pun dan berbual. Ia yang keadilanNya tak berbatas, mengetahui, bahwa kita adalah manusia lemah dan Ia memperitungkannya. Dia yang kerahimanNya tak berkesudahan, melihat, apakah kita sungguh-sungguh mengakui segala kelemahan kita dengan rendah hati, dan apakah kita sungguh mengharapkan dan mengandalkan belaskasihanNya. Dalam pengadilan ini akan diambil keputusan: Upah atau hukuman, kebahagiaan atau kutukan, pangkuan Abraham atau api abadi, madah pujian atau tangisan dan kertakan gigi (bdk. Mat 8,12), tari-tarian di tenda pernikahan atau ketukan nihil pada pintu-pintu yang tertutup (bdk. Mat 25,1-13). Ini adalah gambar-gambar yang merindingkan bulu roma. Kata-kata ini dialamatkan bagi semua mereka yang berada dalam ziarah perjalanan, supaya mereka dapat bertobat dan mengubah hidupnya dan dapat menimba kekuatan dari Kristus: dalam iman, harapan dan cinta.

Maka sebagai umat beriman yakinlah kami, bahwa hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan, dan bahwa suatu kediaman abadi tersedia bagi kami di surga, bila pengembaraan di dunia ini berakhir.

Prefasi misa arwah

Kematian: tanda dari akhir kehidupan duniawi dan permulaan dari kehidupan abadi: Jiwa terpisah dari tubuh yang fana. Ia berjumpa dengan Allah dalam sebuah pengadilan khusus. Pada hari penghakiman, ketika Yesus datang kembali dalam kemuliaanNya, semua orang yang telah mati akan bangkit, jiwanya akan bersatu kembali dengan tubuhnya: bagi orang-orang benar dengan tubuh yang telah dipermuliakan, sementara bagi orang-orang terkutuk dengan tubuh yang penuh rasa sakit dan penderitaan.

Pengadilan: Dibedakan antara pengadilan khusus (=Pengadilan bagi tiap pribadi) dan pengadilan terakhir pada hari penghakiman. Pengadilan khusus terjadi langsung setelah kematian. Dalam pengadilan ini diputuskan, apakah seseorang masuk dalam persekutuan orang-orang pilihan sampai kekal ataukah selamanya dikucilkan dari persekutuan ini. Keputusan atau penghakiman ini dibuat berdasarkan kenyataan, sejauh mana setiap pribadi berusaha untuk melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupannya yang fana dan sejauh mana ia mengimani Kristus. Keputusan ini adalah kekal adanya. Pengadilan terakhir (pengadilan dunia) berhubunganerat dengan hari penghakiman, hari kedatangan kembali Kristus untuk mewahyukan kerajaan Allah dan kerajaanNya. Pada hari ini semua orang yang sudah meninggal akan bangkit. Di hadapan segala bangsa yang dipanggil oleh Kristus, setiap orang akan bangkit kembali dengan seluruh jiwa dan badannya (bdk. 25,32).

Putusan: Putusan didasarkan pada kehendak bebas manusia selama kehidupannya yang fana di dunia. Siapa yang secara tahu dan mau memisahkan diri dari Allah, ia tidak mendapat tempat dalam persekutuan orang-orang pilihan; nasibnya adalah dikucilkan “di dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya” (Mat 25,41): itulah “neraka”. Bagi mereka yang memang percaya pada Allah dan putraNya Yesus Kristus, tetapi belum sepenuhnya siap dan pantas untuk berjumpa denganNya waktu kematian, mereka membutuhkan sebuah waktu pemurnian, penantian dan pendewasaan yang disebut “Purgatorium” (Api penyucian): Di sana mereka menanti dalam harapan untuk menjadi anggota penuh dalam persekutuan dengan Allah. Doa orang beriman yang masih berziarah akan membantu mereka untuk itu. Kepada kaum terpilih – mereka yang dalam kehidupannya di atas bumi membiarkan dirinya dialiri dan diubah oleh cinta Kristus – dikenakan sabda Kristus: “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.” (Mat 25,34). Mereka akan melihat Allah, sebagaimana Ia ada dan menjadi serupa denganNya. (bdk. 1 Yoh 3,2); mereka hidup dalam persekutuan denganNya sampai keabadian. Mereka berada „di dalam Surga“.

Kehidupan abadi

 

Tidak takut pada siapa pun, juga pada kelemahannya sendiri; menjadi manusia seperti yang dikehendaki Allah, ketika Ia memanggilnya dengan namanya sendiri; hidup dalam Allah; hidup dalam kepenuhan, hidup untuk selamanya, bukan dalam sebuah ketenangan abadi, melainkan dalam sebuah kepenuhan damai, cahaya dan cinta yang tak terbayangkan – siapa yang dapat mengatakan, bagaimana semuanya ini akan terjadi?

 

● Seorang Bapa Gereja terkenal, Santu Agustinus, pernah menulis: „... di sana kita semua akan bebas dan kita akan melihat, kita akan melihat dan mencintai, kita akan mencintai dan berterimakasih. Lihatlah, inilah yang akan terjadi pada akhirnya – sesuatu yang tidak akan berakhir.“

 

Para nabi Israel dan Santu Yohanes, nabi “akhir zaman” kristiani, berbicara dalam gambar untuk melukiskan kehidupan baru yang dimaksudkan. Mereka berbicara tentang surga bukan seperti sebuah tempat tertentu di balik awan. Surga ada, dimana Allah tinggal, dimana manusia sebagai bangsaNya hidup bersama denganNya. Dunia lama yang penuh dosa dan ternoda oleh manusia lenyap. Sebuah dunia baru menjadi tempat tinggal manusia, sebuah dunia seperti yang dimaksudkan oleh Allah, diterangi oleh Kristus yang bangkit. Sebuah dunia, dimana manusia, bangsaNya, hidup bersamaNya dan dengan penuh kegembiraan memandangNya: Ia sendiri menjadi terang dan hidup bagi mereka. Karena itu, di sana matahari dan bulan tidak lagi dibutuhkan. Dan dalam Yerusalem yang baru tidak akan ada lagi rumah dari batu dan tidak akan ada lagi sinagoga sebagai tempat perjumpaan dengan Allah. Allah selalu ada, Ia tinggal di antara manusia.

 

Akan ada sebuah dunia dan bumi baru yang subur, sebagaimana yang digambarkan oleh Kitab Suci dengan menggunakan gambar-gambar: Sumber-sumber air akan bermunculan di padang gurun; pohon-pohon bertumbuh dan berbuah duabelas kali dalam setahun. Sebuah dunia, dimana tidak ada satu makhluk hidup pun yang merongrong kehidupan eksistensi yang lain: Serigala akan tinggal bersama domba; mereka dapat hidup bersama tanpa mengancam kehidupan yang lain. Seorang anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak., tanpa dipagut olehnya (bdk. Yes 11,6-8).

 

Manusia menemukan, apa artinya kemanusiaan itu dalam seluruh kepenuhan dan integritasnya: Tidak akan ada lagi penyakit, tidak ada kematian, tidak ada kesepian, tidak ada kesedihan, tidak ada air mata, tidak ada kebencian, tidak ada permusuhan, tidak ada penindasan.

 

Masih ada banyak lagi gambar-gambar yang digunakan, karena pada dasarnya semuanya ini tidak dapat digambarkan secara penuh hanya dengan beberapa gambar: Mata orang buta akan dicelikkan, telinga orang tuli pun akan dibuka, yang lumpu akan melompat seperti rusa, dan lidah orang-orang bisu akan bersorak sorai penuh kegembiraan (bdk. Yes 35,5-6). Pedang dan tombak tidak berguna lagi; mereka akan ditempa menjadi mata bajak dan pisau pemangkas. Orang tidak berpikir lagi tentang perang. Setiap orang bisa duduk di bawah pohon anggurnya atau pohon aranya, tanpa ditakut-takuti (bdk. Mikha 4,3-4). Allah sendiri akan mengeringkan airmata terakhir dari mata orang-orang yang sedih hatinya – ya, segala yang sudah berlalu akan berlalu.

 

„Dan mereka akan melihat wajah-Nya, dan nama-Nya akan tertulis di dahi mereka.“

Wahyu 22,4

 

Santu Yohanes, peramal, menulis Kitab terakhir Perjanjian Baru, „Apokalypse“, yang berarti wahyu. Di dalamnya tertera rahasia-rahasia yang „diwahyukan“ oleh Allah dalam visi atau penglihatan Santu Yohanes: Kemenangan jaya Allah dan PutraNya Kristus serta kekalahan semua kekuasaan yang memusuhiNya; keselamatan abadi; kebahagiaan manusia yang tinggal dalam rumah Tuhan sepanjang masa.

 

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.

 

Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.

 

Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.

 

Aku katakan "di dalam Kristus", karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan--kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya-- supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.

 

Di dalam Dia kamu juga--karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu--di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya.

 

Surat Santu Paulus kepada Jemaat di Efesus 1,3-14.

 

(Dari: Ich glaube. Kleiner katholischer Katechismus [Aku percaya. Katekisme kecil Katolik, Königstein i. T.: Kirche in Not, 2004), hal. 105-113.)

Kontak

J. Prof. Dr. T. Specker,
Prof. Dr. Christian W. Troll,

Kolleg Sankt Georgen
Offenbacher Landstr. 224
D-60599 Frankfurt
Mail: fragen[ät]antwortenanmuslime.com

More about the authors?