Misi dan Dialog
Sebuah pandangan kristiani *
1. Misi
Cinta Allah yang menyelamatkan
Allah adalah cinta (1 Yoh 4,8.16). CintaNya yang menyelamatkan diwahyukan kepada manusia dalam diri Kristus; Ia ada dalam dunia dan berkarya lewat Roh Kudus. Gereja hendaknya menjadi tanda yang hidup bagi cinta ini, sehingga dengan demikian ia dapat menjadi norma hidup bagi semua manusia. Seturut kehendak Kristus, misi Gereja hendaknya menjadi sebuah perutusan cinta, karena justru dalam cinta ini, ia menemukan sumber, tujuan dan cara menjalankan perutusannya. Karena itu, setiap aspek dan setiap karya Gereja harus ditempa oleh cinta demi kesetiaannya kepada Kristus – Dia yang menyerahkan misi ini, menatangnya secara moral dan memungkinkan perkembangannya di tengah gelombang sejarah.
Gereja, umat Allah masehi
Seperti yang digarisbawahi oleh Konsili Vatikan II, Gereja adalah umat masehi, perkumpulan yang nyata dan komunitas rohani, umat Allah yang berziarah bersama seluruh bangsa yang memiliki pengalaman yang sama. Gereja harus menjadi ragi dan jiwa masyarakat, supaya ia dapat diperbaharui dalam Kristus dan dengan itu menjadi keluarga Allah. „Umat Allah masehi ini … mentaati hukum baru untuk mencintai, sebagaimana Kristus telah mencintai kita“ (Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja Lumen Gentium, No. 9). „Pada hakekatnya Gereja peziarah bersifat misioner“ (Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja, No. 2; bdk. Ebd. No. 6.35-36). Bagi setiap orang kristen, disposisi misionaris adalah sebuah ekspresi yang lumrah dari iman yang hidup.
Perutusan Gereja
„Oleh karena itu perutusan Gereja terlaksana dengan karya-kegiatannya. Demikianlah Gereja, mematuhi perintah Kristus dan digerakkan oleh rahmat serta cinta kasih Roh Kudus, hadir bagi semua orang dan bangsa dengan kenyataannya sepenuhnya ...“ (Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, No. 5). Tugas ini hanya satu, tetapi dilakukan dalam cara yang berbeda-beda, tergantung dari situasi dan kondisi, dimana misi itu dijalankan. „Adapun keadaan-keadaan itu tergantung atau dari Gereja, atau juga dari berbagai masyarakat, golongan-golongan atau orang-orang, yang dilayani dalam perutusan itu... Tindakan-tindakan yang khas atau sarana-sarana yang baik harus sesuai dengan setiap situasi atau keadaan... Tujuan khas kegiatan misioner itu mewartakan Injil dan menanamkan Gereja ditengah bangsa-bangsa atau golongan-golongan, tempat Gereja belum berakar“ (Ibid. No. 6). Pernyataan-pernyataan lain dari Konsili menekankan, bahwa yang termasuk dalam perutusan/misi Gereja adalah juga karya penyebarluasan kerajaan dan nilai-nilainya lepada seluruh umat manusia (bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, No. 5; Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini Gaudium et Spes No. 39; Dekrit tentang Ekumenisme Unitatis Redintegratio No. 2; Pernyataan tentang Kebebasan Beragama Dignitatis Humanae No. 14; Dekrit tentang Kerasulan Awan Apostolicam Actuositatem No. 5).
Cara-cara yang berbeda dan aspek-aspek misi/perutusan
Cara-cara yang berbeda serta aspek-aspek misi diformulasikan secara baru oleh Konsili Vatikan II. Catatan dan dokumen-dokumen Magisterium seperti sinode para Uskup tentang keadilan sosial (1971), tentang Evangelisasi (1974) dan Katekese (1977), pernyataan-pernyataan yang beraneka ragam dari Paulus VI dan Yohanes Paulus II serta Konferensi Para Uskup Asia, Afrika dan Amerika Latin mengembangkan lebih lanjut aspek-aspek ajaran Konsili. Misalnya “sebagai suatu elemen yang hakiki dari misi/perutusan yang tidak boleh dipisahkan” (Yohanes Paulus II dalam surat Ensikliknya Redemptor Hominis, 4 Maret 1979, No. 15) adalah berpihak pada manusia, pada keadilan sosial, kebebasan dan dan hak asasi manusia serta pada perubahan struktur-struktur sosial yang tidak adil.
Sebuah kenyataan yang tak terpisahkan tetapi kompleks/rumit
Dalam tatanan kesadaran Gereja, misi itu adalah sebuah kenyataan yang tak terpisahkan dan homogen tetapi sekaligus kompleks dan rumit. Elemen-elemen dasar tentang homogenitas dan kompleksitasnya akan dipaparkan di sini. Misi sudah menjadi kenyataan lewat kehadiran orang kristen apa adanya dan lewat kesaksian hidupnya (bdk. Paulus VI, Dekret Apostolis Evangelii Nuntiandi, 8. Dezember 1975, No. 21), juga kalau tetap diakaui, bahwa kita „mempunyai harta ini dalam bejana tanah liat“ (2 Kor 4,7), sehingga kita harus membedakan antara bagaimana tampang orang kristen ke luar secara eksistensial dan bagaimana ia seharusnya, sembari berusaha untuk menjembatani keduanya. Bukan hanya itu. Kenyataan misi dapat disimak juga dalam sumbangan-sumbangan konkret pelayanan terhadap manusia dan dalam karya-karya pengembangan sosial, juga dalam perjuangan memberantas kemiskinan dan struktur-struktur yang lahir darinya. Yang perlu mendapat perhatian juga ialah kehidupan liturgi, doa dan kontemplasi sebagai kesaksian-kesaksian nyata bagi hubungan yang hidup dan membebaskan dengan Allah yang memanggil kita kepada kerajaan dan kemuliaanNya (bdk. Kis 2,42).
Tidak lupa pula dialog, dengannya orang-orang kristen berjumpa dengan semua orang yang menganut tradisi-tradisi religius yang lain, untuk secara bersama-sama berusaha mencapai kebenaran dan bekerjasama dalam kara-kara yang berhubungan dengan interes bersama. Akhirnya pewartaan dan katekese. Yang diwartakan adalah kabar gembira Injil dan usaha pendalamannya berhadapan dengan hidup dan budaya. Semuanya ini termasuk dalam apa yang dinamakan misi.
Tugas semua orang
Setiap Gereja lokal bertanggung jawab terhadap seluruh misi. Juga setiap orang kristen dipanggil untuk memenuhi tugas ini berkat kekuatan iman dan pembaptisannya. Situasi-situasi yang menantang, sikap dan disposisi khusus umat Allah dan karisma-karisma pribadi memampukan orang kristen untuk berpartisipasi dalam memenuhi tuntutan-tuntutan aspek tertentu dari misi.
Kristus sebagai contoh
Kehidupan Yesus mengandung dan mencerminkan seluruh elemen misi. Menyangkut diriNya Injil memberitakan tentang aspek-aspek hidup kontemplatif dan aktif, tentang doa, dialog dan pewartaan. PewartaanNya tidak dapat dipisahkan dari karya-karyaNya; Ia mewartakan Allah dan kerajaanNya bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga dengan perbuatan dan karya-karyaNya. Ia mengalami segala pertentangan, kegagalan dan kematian; kemenanganNya diperoleh lewat penyerahan hidupanNya. BagiNya segala-galanya hanyalah sarana dan jalan menuju pewahyuan keselamatan (bdk. Ebd. No. 6-12). Inilah yang harus dicontohi oleh orang-orang kristen: „Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (Yoh 13,35).
Gereja perdana
Perjanjian Baru juga menawarkan sebuah gambar yang beranekaragam dan terstruktur tentang misi. Ada banyak fungsi dan pelayanan atas dasar karisma yang berbeda (bdk. 1 Kor 12,28-30; Ef 4,11-12; Rom 12,6-8). Paulus sendiri menekankan kekhususan panggilan misioner, ketika ia mengatakan: „Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil.“ (1 Kor 1,17). Karena itu disamping para rasul, nabi dan penginjil, terdapat juga kelompok atau orang lain yang dipanggil untuk karya-karya bersama dan untuk membantu mereka yang menderita. Ada tugas-tugas yang berhubungan dengan keluarga, tugas-tugas kaum pria, wanita dan anak-anak; ada hak dan kewajiban tuan dan hamba. Setiap orang memberikan kesaksian khusus dalam masyarakat. Surat pertama Santu Petrus misalnya, memberikan petunjuk-petunjuk kepada orang kristen yang hidup dalam sebuah situasi diaspora – petunjuk-petunjuk yang masih tetap aktual hingga saat ini.
Paus Yohanes Paulus II menamakan suatu perikop darinya sebagai „hukum emas“ dalam pergaulan orang kristen berhadapan dengan samasaudaranya dari kelompok dan golongan iman yang lain: „Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.“ (1 Petr 3,15-16).
Misionaris-misionaris penting
Dari contoh-contoh yang beraneka ragam dalam sejarah misi kristiani, di sini dipaparkan norma-norma yang diberikan oleh Santu Fransiskus dari Asisi kepada sama saudaranya dalam aturan tidak resmi (1221) – sama saudara yang „digerakkan oleh Allah untuk pergi ke Saracen ... Di tengah-tengah kaum Saracen, mereka boleh mengatur hubungan spiritualnya lewat cara ganda. Yang pertama, bahwa mereka tidak boleh memulai pertengkaran atau perselisihan, melainkan memperhambakan dirinya dibawah makhluk hidup atas dasar cinta kepada Allah seraya mengakui dirna sebagai orang kristen. Yang kedua adalah, bahwa kalau mereka melihat kehadirannya sebagai suatu yang berkenan pada Allah, maka mereka boleh mewartakan Sabda Allah” (Fransiskus dari Asisi, Regula non Bullata XVI: Fontes Franciscani, Assisi 1995, 198dst.). Abad/zaman kita menjadi saksi tentang apa yang menjadi pengalaman Charles de Foucauld. Ia menjalankan misi dengan sebuah sikap rendah hati dan diam dalam persatuan dengan Allah, dalam kebersamaan dengan kaum miskin dan dalam persaudaraan yang universal.
Penghargaan terhadap kebebasan
Perutusan selalu ditujukan pada manusia dalam perhatian yang penuh dan menyeluruh terhadap kebebasannya. Karena itu Konsili Vatikan II tidak segan-segan menekankan urgensi dan pentingnya menyebarkan Kristus yang adalah terang kehidupan “dengan kekuatan rasuli, hingga penumpahan darah” (Konsili Vatikan II, Pernyataan tentang Kebebasan Beragama, No. 14), tetapi pada saat yang sama melantungkan tuntutannya, untuk memajukan kebebasan yang asali pada setiap mitra dialog tanpa memaksanya, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan religiositas. “Adapun kebenaran harus dicari dengan cara yang sesuai dengan martabat pribadi manusia serta kodrat sosialnya, yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui pengajaran atau pendidikan, komunikasi dan dialog. Melalui cara-cara itu manusia menjelaskan kepada sesamanya kebenaran yang telah ditemukannya, atau yang ia telah merasa menemukan, sehingga mereka saling membantu dalam mencari kebenaran. Atas persetujuannya sendiri manusia harus berpegang teguh pada kebenaran yang dikenalnya.“ (Ibid., No. 3). „Tetapi dalam menyebarluaskan iman dan memasukkan praktik-praktik keagamaan janganlah pernah menjalankan kegiatan mana pun juga, yang dapat menimbulkan kesan seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin. Cara bertindak demikian harus dipandang sebagai penyalahgunaan hak mereka sendiri dan pelanggaran hak pihak-pihak lain.“ (Ibid., No. 4).
Penghargaan terhadap pribadi
Penghargaan terhadap setiap pribadi hendaknya mewarnai kegiatan misi dalam dunia dewasa ini (bdk. Paus Paulus VI, Ensiklik Ecclesiam Suam, 6. Agustus 1964: AAS 56 (1964 642-643; Dekret Apostolis Evangelii Nuntiandi, 8. Desember 1975, No. 79-80; Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor Hominis, 4 Maret 1979, No. 12). „Manusia adalah jalan utama yang harus dilalui Gereja dalam memenuhi misinya” (Ibid., No. 14). Nilai-nilai ini yang dipelajari oleh Gereja dari Kristus, Gurunya hendaknya menuntun semua orang kristen untuk mencintai dan menghargai segala apa ang baik dalam kebudayaan dan kiatan-kiatan religius yang lain. „Yang dimaksudkan adalah penghargaan terhadap segala apa, di dalamnya Roh bekerja – Roh yang berhembus, kemana ia kehendaki“ (Ibid., No. 12; bdk. Paus Paulus VI, Dekret Apostolis Evangelii Nuntiandi, 8. Desember 1975, No. 79). Misi kristiani tidak dapat dipisahkan dari cinta dan penghargaan terhadap yang lain, dan bagi kita orang kristen, inilah yang memberi arti pada dialog dalam kerangka misi.
II. Dialog
A) Pendasaran
Dialog terjadi bukan berdasarkan oportunisme taktis sesaat, melainkan ia harus dibangun di atas fgundamen pendasaran-pendasaran rasional yang diperdalam lewat pengalaman, pertimbangan dan bahkan kesulitan-kesulitan serta tantangan.
Tantangan-tantangan individual dan sosial
Gereja terbuka terhadap dialog sebagai tanda keberpihakannya kepad manusia. Dalam diri setiap manusia dan dalam setiap kelompok manusia terdapat keinginan dan kebutuhan untuk diperhatikan dan diperlakukan sebagai persona yang bertanggungjawab, baik ketika seseorang membutuhkan sesuatu dari yang lain, maupun terutama, ketika seseorang menyadari, bahwa ia memiliki sesuatu yang penting untuk dibagikan kepada yang lain. Seperti yang digarisbawahi oleh ilmu-ilmu sosial budaya, dalam dialog antar manusia, ia mengalami dan merasakan keterbatasan-keterbatasannya sendiri, tetapi juga kemungkinan untuk mengatasinya. Manusia mengalami, bahwa ia tidak dapat memiliki kebenaran yang sempurna dan meyneluruh, tetapi bersama dengan yang lain ia dapat menimba kepercayaan untuk mendekati kebenaran itu. Saling menguji yang salah dan keliru, saling memperbaiki satu sama lain, saling membagi talenta dan bakat dalam semangat persaudaraan menuntun manusia kepada kematangan yang lebih besar, darinya bertumbuh kebersamaan interpersonal. Dalam proses saling membagi ini, pengalaman-pengalaman dan pandangan religius dapat dimurnikan dan diperkaya.
Dinamika hubungan manusiawi ini memotivasi dan menggerakkan kita orang kristen untuk mengerti dan mendengar apa yang disyeringkan oleh para penganut kepercayaan lain, sehingga kita dapat memanfaatkan talenta yang dianugerahkan Tuhan kepada kita secara lebih intensif. Perubahan sosial kultural dengan segala ketegangan dan kesulitan yang tak dapat dihindarkan, saling ketergantungan yang terus bertumbuh dalam segala bidang kehidupan bersama serta tuntutan manusia untuk melakukan segala hal demi kebebasan menjadikan corak dialogis hubungan itu menjadi semakin jelas dan penting.
Iman akan Allah, Bapa
Karena imannya, Gereja merasa terdorong untuk mengadakan dialog. Dalam rahasia trinitas, revelasi Allah itu mewanti-wanti kita untuk mengalami sebuah kehidupan dalam kebersamaan dan saling bertukar pandangan satu sama lain.
Dalam diri Allah Bapa kita menyimak sebuah cinta yang sudah telah ada sebelumnya tanpa batas ruang dan waktu. Alam semesta dan sejarah penuh dengan karuniaNya. Setiap kenyataan dan peristiwa hidup ditopang oleh cintaNya. Walaupun kuasa kejahatan acapkali menampakkan sengatNya, toh kekuatan rahmat selalu nampak dalam peristiwa hidup setiap manusia sebagai kekuatan yang membangun dan membebaskan.
Gereja mengemban tugas untuk menemukan segala kekayaan, menampakkan dan mengembangkannya – kekayaan yang tersembunyi dalam ciptaan dan sejarah, bukan hanya untuk merayakan kemasyuran Allah dalam liturginya, melainkan juga untuk meneruskan karunia-karunia Bapa di tengah-tengah umat manusia.
Kristus yang bersatu dengan setiap orang
Dalam Allah Putra kita dikaruniai Sabda dan Kebijaksanaan, sesuatu yang sudah mengandung segala-galanya sejak keabadian. Kristus adalah Sabda yang menerangi setiap manusia, karena di dalamNya tersingkap atau diwahyukan rahasia Allah dan rahasia manusia (bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor Hominis, 4 Maret 1979, No. 8.10-11.13). Ia adalah penebus yang selalu hadir dalam setiap momen pertemuan manusia dengan rahmatNya, untuk membebaskan kita dari segala egoisme dan menantang kita untuk saling mencintai, seperti Ia mencintai kita.
Yohanes Paulus II meniulis: „Setiap orang – tanpa kecuali – telah ditebus oleh Kristus. Kristus bersatu dedngan setiap orang tanpa kecuali dalam cara tertentu, juga kalau ia tidak menyadarinya: Kristus yang wafat dan bangkit bagi semua orang, tak putus-putusnya mengaruniakan kepada setiap orang – baik secara pribadi maupun secara bersama-sama - terang dan kekuatan melalui RohNya, supaya ia dapat bertindak sesuai dengan panggilan tertingginya“ (Ibid., No. 13).
Karya Roh Kudus
Dalam Allah Roh Kudus kita dapat mengalami kekuatan hidup, kuasa yang menggerakkan serta kemungkinan untuk selalu membaharui diri (bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium No. 4) – suatu yang sudah berurat akar dalam kesadaran dan yang menuntun menuju kebenaran melewati jalan hati yang penuh rahasia (bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini Gaudium et spes, No. 22). Roh ini berkarya juga „di luar batas-batas tubuh mistik yang nyata“ (Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor Hominis, 4 Maret 1979, No. 6; bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja Lumen Gentium, No. 16; Konstitusi Pastoral Tentang Gereja dalam Dunia Dewasa ini Gaudium et Spes, No. 22; Dekret Tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, No. 15). Roh Kudus mengantisipasi perjalanan Gereja dan menuntunnya. Pada saat yang sama Gereja mengerti dirnya sebagai instansi yang diberi tugas untuk menjadi tanda kehadiranNya dan mengikutiNya, kemana pun Ia menuntunnya, sehingga akhirnya ia menjadi mitra kerja yang rendah hati dan penuh semangat.
Pengejahwantahan Kerajaan Allah
Kerajaan Allah adalah tujuan terakhir semua manusia. Gereja sebagai „benih dan permulaan“ (Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, No. 5.9) berusaha, pertama-tama untuk melangkah menuju kepadanya dan berikutnya mendorong dan menggerakkan umat manusia menuju tujuan yang sama. Yang termasuk dalam tugas ini ialah juga perjuangan menentang kejahatan dan dosa serta kemenangan atasnya, dimana ia selalu memulai dari dirinya sendiri sembari merangkum rahasia salib. Dengan ini Gereja mempersiapkan dirinya menuju kerajaan Allah, hingga semua saudara dan saudari dalam Allah akhirnya sampai pada persekutuan yang penuh. Bagi Gereja dan dunia Kristus adalah jaminan, bahwa zaman akhir sudah dimulai, bahwa akhir sejarah pun sudah ditentukan (bdk. Ibid., No. 48), dan bahwa dengan itu Gereja dimampukan dan dipanggil untuk berbakti bagi pemenuhan segala hal dalam Kristus.
„Benih-benih Sabda“
Pandangan seperti ini menjadi alasan bagi para Bapa Konsili Vatikan II untuk mengeluarkan pernyataan, bahwa dalam tradisi-tradisi religius non-kristen terdapat „hal-hal yang benar dan baik“ (Konsili Vatikan II, Dekret tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam Optatam Totius No. 16), ya terdapat „elemen-elemen keagamaan dan humanaitas yang penuh arti“ (Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja dalam Dunia Dewasa ini, No. 92), terdapat „benih-benih Sabda“ (Konsili Vatikan II, Dekret tentang Kegiatan misioner Gereja Ad Gentes, No. 11.15), tentang sinar kebenaran yang menyinari semua orang“ (Konsili Vatikan II, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dan Agama-Agama Bukan Kristiani Nostra Aetate, No. 2). Berdasarkan petunjuk-petunjuk nyata dari Konsili, nilai-nilai ini terkristalisasi dalam warisan-warisan besar tradisi kemanusiaan. Karena itu warisan-warisan tradisi ini berhak mendapat tempat yang layak dalam dialog (bdk. Ibid.. No. 2.3; Dekret tentang Kegiatan misioner Gereja Ad Gentes, No. 11) – tradisi-tradisi yang tidak hanya mengandung aspek-aspek yang sama, tetapi juga elemen-elemen yang berbeda dan bertolak belakang.
Sebuah dialog yang tulus dan penuh kesabaran
Dalam hubungan dengan dialog yang tulus dan penuh kesabaran, Konsili Vatikan II menggariskan tugas-tugas konkrret lewat pernyataan-pernyataan berikut: „Supaya kesaksian mereka akan Kristus itu dapat memperbuahkan hasil, hendaklah mereka dengan penghargaan dan cinta kasih menggabungkan diri dengan sesama, menyadari diri sebagai anggota masyarakat di lingkungan mereka, dan ikut serta dalam kehidupan budaya dan sosial melalui aneka cara pergaulan hidup manusiawi dan pelbagai kegiatan. Hendaknya mereka sungguh mengerti tradisi-tradisi kebangsaan dan keagamaan mereka, dan dengan gembira serta penuh hormat menggali benih-benih Sabda yang terpendam di situ... Seperti Kristus... hendaklah para murid-Nya, yang secara mendalam diresapi oleh Roh Kristus, memahami sesama dilingkungan mereka dan bergaul dengan mereka, sehingga berkat dialog yang jujur dan sabar itu mereka makin mengetahui, harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa. Serta merta hendaklah mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah Penyelamat.“ (Ibid. No. 11; bdk. Ibid. No. 41; Dekret tentang Kerasulan Awam Apostolicam Actuositatem, No. 14.29 dst.).
B) Bentuk-bentuk Dialog
Aneka macam bentuk
Pengalaman di tahun-tahun terakhir ini menunjukkan aneka macam bentuk dialog ang sudah dilaksanakan. Bentuk-bentuk dialog umum dan khusus yang ditampilkan di sini bisa dipraktekkan, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam perpaduan dengan bentuk-bentuk yang lain.
Dialog kehidupan
Pada hakekatnya, dialog adalah sebuah gaya pendekatan, sebuah sikap atau disposisi dan sebuah semangat (roh) yang menentukan perilaku. Yang termasuk dalam dialog ini adalah perhatian, rasa hormat serta keterbukaan berhadapan dengan yang lain, dengan cara memberikannya ruang gerak bagi perkembangan identitas pribadinya, bagi cara pengungkapannya serta bagi pengejahwantahan nilai-nilainya. Dialog seperti ini merupakan norma serta tatacara yang penting bagi seluruh misi kristiani dan setiap bagian-bagiannya, entah itu berhubungan dengan kehadirannya yang biasa, dengan kesaksian hidup ataupun dengan pelayanan-pelayanan dan pewartaaannya secara langsung (Yohanes Paulus II., Codex Iuris Canonici, 25 Januari 1983, can. 787, § 1). Sebuah misi yang tidak diresapi oleh roh/semangat dialog bertolak belakang dengan tuntutan bagi sebuah kemanusiaan sejati dan tidak sepadan dengan petunjuk-petunjuk Evangelium.
Dialog dalam kehidupan sehari-hari
Setiap murid Kristus dipanggil untuk berdialog dalam kehidupan harian berkat panggilannya sebagai manusia dan « roh dalam dunia », entah ia hidup dalam sebuah lingkungan mayoritas atau minoritas. Ia hendaknya menempa lingkungannya di mana ia hidup dan bekerja dengan semagat Injil : lingkungan keluarga, sosial, pendidikan, seni, ekonomi, politik dan sebagainya. Dengan itu dialog menjadi bagian integral dalam dinamika luas perutusan Gereja.
Dialog karya
Dalam sebuah lingkup lebih lanjut terdapat dialog karya dan kerjasama untuk tujuan-tujuan kemanausiaan, sosial, ekonomi dan politik yang akhirnya bermuara pada tujuan pembebasan dan pengembangan manusia. Dialog ini sering terealisasi dalam organisasi-organisasi setempat, dimana orang-orang kristen dan penganut agama-agama lain bahu membahu menghadapi permasalahan-permasalahn dunia dan ingin mencari pemecahannya.
Lahan kerjasama
Lahan kerjasamanya bisa sangat luas. Terutama dalam lingkup hubungan kerjasama dengan islam, Konsili Vatikan II mengingatkan, supaya « melupakan yang sudah-sudah... dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan. » (Konsili Vatikan II, Pernyataan tentang hubungan Gereja dan agama-agama bukan kristiani, Nostra Aetate, No. 3 ; bdk. Dekret tentang kegiatan misioner Gereja Ad Gentes, No. 11-12.15.21 dst.). Kerjasama ini juga disentil oleh Paus Paulus VI terutama dalam Ecclesiam suam (Paulus VI, Ensiklik Ecclesiam suam, 6 Agustus 1964 : AAS 56 (1964) 655.) dan Yohanes Paulus II dalam aneka pertemuan dengan kepala dan wakil-wakil agama yang berbeda. Masalah-masalah besar yang menimpa kemanusiaan sejagat mendorong orang kristen untuk bekerjasama dengan penganut-penganut agama lain atas dasar keyakinan-keyakinan iman mereka.
Dialog para ahli/ilmuwan
Yang perlu mendapat perhatian ialah dialog antar para ahli/ilmuwan, baik untuk mempresentasikan warisan-warisan religiusnya masing-masing, untuk memperdalam dan memperkaya, maupun untuk mendayagunakan kekuatan-kekuatannya demi mengatasi permasalahan-permasalahan ang dihadapi oleh umat manusia dalam perjalanan sejarahnya. Dialog seperti ini dapat diwujudkan, dimana mitra dialog sudah memiliki sebuah ideologi atau wawasan tentang dunia dan menjadi penganut sebuah agama yang mendorongnya untuk itu. Dialog seperti ini lebih mudah dijalankan dalam masyarakat-masyarakat majemuk, dimana warisan-warisan serta ideologi yang beraneka ragam sudah ada dan sudah saling membaur.
Saling pengertian
Dalam dialog dan perdebatan, para mitra dialog saling mengenal dan menghargai nilai-nilai spiritual dan tolok ukur budayanya sekaligus mendorong manusia untuk hidup dalam kebersamaan dan persaudaraan. Bagi orang kristen, usaha seperti ini adalah juga panggilan untuk bekerjasama dalam rangka transformasi budaya menurut Injil (bdl. Paulus VI, Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi, 8 Desember 1975, No. 18-20.63.).
Dialog pengalaman religius
Dalam sebuah lingkup yang lebih dalam, umat beragama dapat saling mensyeringkan pengalaman-pengalaman doa dan kontemplasi, iman dan karya yang sudah berakar dalam tradisi keagamaannya sebagai ungkapan dan jalan pencarian akan Yang Mutlak. Cara dialog ini mengarahkan umat beriman menuju usaha saling memperkaya dan kerjasama yang baik dalam melindungi dan memajukan nilai-nilai serta idealisme spiritualnya. Dengan sendirinya dialog ini juga memberikan sentilan untuk saling membagi dasar-dasar imannya, dan ia tidak menyerah berhadapan dengan perbedaan-perbedaan yang kadang hampir tak dapat dijembatani. Dialog seperti ini menaruh kepercayaan pada Allah dalam kerendahan hati dan penuh keyakinan, « Allah yang lebih besar dari pada hati kita » (1 Yoh 3,20). Dengan itu seorang kristen mendapat kesempatan untuk menawarkan kemungkinan kepada yang lain, bahwa ia pun dapat mengalami nilai-nilai Injil secara existensial.
III. Dialog dan Misi
Hubungan antara dialog dan misi
Ada macam-macam hubungan antara dialog dan misi. Di sini kita hanya membatasi diri dan mencerna beberapa aspek penting bagi tantangan-tantangan dan masalah-masalah berhubungan dengan kedua topik ini dan bagaimana mengambil sikap berhadapan dengannya.
A. Misi dan pertobatan
Seruan kepada pertobatan
Bagi Konsili Vatikan II, tujuan pewartaan misionaris adalah pertobatan: „Maksudnya supaya mereka yang bukan kristiani, berkat Roh Kudus yang membuka hati mereka, menjadi beriman dan dengan sukarela bertobat kepada Tuhan, serta dengan jujur berpegang teguh pada Dia...“ (Konsili Vatikan II, Dekret tentang kegiatan misioner Gereja Ad Gentes, No. 13; ohanes Paulus II, Codex Iuris Canonici, 25. Januari 1983, can. 787, § 2.). Dalam konteks dialog antar para penganut keyakinan iman yang berbeda, pertimbangan ke arah jalan spiritual bagi pertobatan tidak dapat dihindarkan. Dalam bahasa biblis kristiani, pertobatan kepada Allah dari hati yang merendah dan remuk redam berhubungan erat dengan kerinduan untuk menyerahkan kehidupannya sendiri ke dalam tanganNya dengan tulus hati (bdk. Konsili Vatikan II, Dekret tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, Nr. 13.). Semua orang akan senantiasa dipanggil menuju ke pertobatan ini. Dalam proses ini, seseorang bisa menemukan sebuah keputusan baru untuk meninggalkan tradisi spiritual dan religiusnya yang lama dan menerima sebuah tradisi spiritual dan keagamaan yang lain. Dengan itu seseorang (misalnya) dapat membuka hatinya bagi sebuah cinta universal dan tidak hanya terbatas pada sebuah cinta yang sempit.
Panggilan Allah yang jujur selalu membawa sebuah transendensi diri. Tidak ada kehidupan baru tanpa kematian, seperti yang ditunjukkan oleh dinamika misteri paska (bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam dunia dewasa ini Gaudium et spes, No. 22.). Di samping itu, setiap pertobatan adalah „karya rahmat. Di dalamnya, setiap orang harus kembali kepada dirinya secara menyeluruh“ (Yohanes Paul II., Ensiklik Redemptor Hominis, 4 Maret 1979, No. 12.).
Penghormatan dan penghargaan terhadap suara hati
Dalam seluruh proses pertobatan ini hukum tertinggi yang berlaku adalah hukum suara hati, karena tak seorang pun “dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Tetapi jangan pula ia dirintangi untuk bertindak menurut suara hatinya, terutama dalam hal keagamaan” (Konsili Vatikan II, Pernyataan tentang Kebebasan Beragama Dignitatis Humanae, No. 3).
Roh Allah yang menghidupkan
Dalam pandangan kristiani, agen utama pertobatan bukanlah manusia, melainkan Roh Kudus. “Ialah yang mendorong setiap manusia untuk mewartakan Injil. Ia pulalah yang membiarkan warta keselamatan itu menembusi kedalaman kesadaran manusia dan membuatnya mengerti” (Paulus VI., Pernyataan Apostolis Evangelii Nuntiandi, 8 Desember 1975, No. 75.). Ia menuntun pergerakan hati dan membimbing aktus iman akan Yesus Tuhan (bdk. 1 Kor 2,4). Seorang kristen hanyalah instrumen dan mitra kerja Allah (bdk. 1 Kor 3,9).
Keinginan untuk dialog dua arah
Juga dalam dialog, pada umumnya seorang kristen ingin membagikan pengalamannya tentang Kristus dengan sama saudaranya dari agama dan keyakinan lain (bdk. Kis 26,29) (bdk. Paulus VI, Ensiklik Ecclesiam Suam, 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) 646-647.). Sebaliknya sama saudara dari agama dan golongn lain pun mempunyai keinginan yang sama untuk mensyeringkan keyakinannya.
B) Dialog untuk membangun Kerajaan Allah
Mitra dalam pengejahwantahan rencana ilahi
Allah berdamai dengan manusia lewat Roh Kudus. Gereja menggantungkan harapannya pada janji Kristus yang diberikan kepadanya, bahwa Roh Allah akan menuntunnya melewati lembaran sejarah menuju kepenuhan kebenaran (bdk. Yoh 16,13). Karena itu ia ingin berjumpa dengan seluruh umat manusia dan bangsa dengan segala budayanya dalam kesadaran, bahwa setiap persekutuan manusiawi memiliki benih-benih kebaikan dan kebenaran, dan bahwa Allah mempunyai sebuah rencana cinta yang diperuntukkan bagi setiap bangsa (bdk. Kis 17,26-27). Karena itu Gereja ingin bekerjasama dengan semua orang dalam pengejahwantahan rencana Allah ini dan dengan itu berusaha untuk megevaluasi segala kekayaan kebijaksanaan Allah yang tak bertepi dan beraneka, sekaligus pada saat yang sama memberi sumbangan bagi evangelisasi budaya (bdk. Paulus VI, Pernyataan Apostolis Evangelii Nuntiandi, 8 Desember 1975, No. 18-20).
Memajukan perdamaian universal
„Hati kita selanjutnya kita arahkan juga kepada semua orang yang mengakui Allah, dan dalam tradisi-tradisi mereka melestarikan unsur-unsur religius dan manusiawi. Yang kita harapkan ialah, semoga dialog yang terbuka mengajak kita sekalian, untuk dengan setia menyambut dorongan-dorongan Roh, serta mematuhinya dengan gembira. Kerinduan akan dialog seperti itu, yang hanya dibimbing oleh cinta akan kebenaran, tentu sementara tetap berlangsung pula dalam kebijaksanaan sebagaimana mestinya, dari pihak kita tidak mengecualikan siapa pun, termasuk mereka, yang mengembangkan nilai-nilai luhur jiwa manusia, tetapi belum mengenal Penciptanya, begitu pula mereka, yang menentang Gereja dan dengan aneka cara menghambatnya. Karena Allah Bapa itu sumber segala sesuatu, kita semua dipanggil untuk menjadi saudara. Maka dari itu karena mengemban panggilan manusiawi dan ilahi yang sama itu, kita dapat dan memang wajib juga bekerja sama tanpa kekerasan, tanpa tipu muslihat, untuk membangun dunia dalam damai yang sejati.“ (Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini, Gaudium et Spes, No. 92).
Dialog sebagai sumber harapan
Dengan itu, dialog menjadi sumber harapan dan instrumen persekutuan dalam peran saling membenahi timbal balik. Roh Kuduslah yang membimbing menuju pemenuhan rencana Allah dalam sejarah setiap pribadi dan sejarah umat manusia, sampai anak-anak Allah yang tercerai-berai karena dosa-dosa dituntun menuju persatuan (bdk. Yoh 11,52).
Kesabaran Allah
Allah sendiri mengenal dan mengetahui masa, Ia – yang bagiNya tak ada yang tidak mungkin, Ia – yang RohNya penuh rahasia dan berkarya dalam diam, membuka jalan dialog bagi setiap orang secara pribadi maupun secara bersama, untuk mengatasi segala perbedaan rasisme, sosial dan religius serta saling memperkaya satu sama lain. Kita hidup dalam sebuah masa kesabaran Allah. Dan dalam masa inilah Gereja dan setiap persekutuan kristiani berkarya, karena tak seorang pun yang dapat memaksa Allah untuk lebih cepat bertindak daripada yang sudah ada dalam rencanaNya.
Tetapi berhadapan dengan lemanusiaan baru milenium ketiga, Gereja ingin memancarkan sebuah agama kristen yang terbuka, agama yang selalu siap dan sabar menanti, sampai benih-benih yang ditaburkan dengan air mata dan dalam kepercayaan penuh bertumbuh dan berkembang (bdk. Ak 5,7-8; Mk 4,26-30).
(Tamat)
Sebuah pandangan Islam*
Islam dan Dialog
Kita hidup dalam sebuah zaman pemecahan dan pembagian atom, ya, dalam sebuah abad pemecahan segala yang sudah disatukan. Pluralisme budaya adalah suatu kenyataan aaktual yang tak dapat disangkal, sebuah akibat dari perkembangan zaman yang tidak dapat dimundurkan lagi. [...] Agama Islam, demikian pun semua pandangan hidup lainnya, tidak dapat berada di luar jalur perkembangan ini tanpa takut pada risiko, dihina dan dicercah: definitif dan terulang lagi. [...]
1. REVELASI ALLAH DAN DIALOG
[...] Revelasi Allah menuntut dan menggerakkan Sang Nabi dan semua orang islam untuk mengadakan dialog dengan kelompok non-muslim pada umumnya, terutama dengan para penganut agama-agama Kitab. Kami ingin menambahkan, bahwa kewajiban misi – yang dengan sendirinya terimplisit ketika berbicara tentang dialog, suatu yang tidak boleh disepelehkan – dapat dipadukan dengan penghormatan terhadap orang-orang lain dan orang-orang dari kepercayaan yang berbeda. Toh pada akhirnya Allah sendirilah yang memutuskan dan menetapkan, siapa yang menjadi milikNya: Allah mengetahui lebih baik daripada siapa pun, apakah seseorang berada pada jalan yang benar atau tidak.
2. HALANGAN-HALANGAN BAGI DIALOG
Warisan masa lalu yang berat
Tentu orang akan menantangku dengan pertanyan: Mengapa perjalanan sejarah itu terjadi seperti yang sudah terjadi? Mengapa sejarah meninggalkan beban sejarah masalalu yang tidak ringan, seperti jaringan intrik, pemalsuan, penghinaan dan fitnah? Mengapa diskursus perjumpaan itu lebih banyak diwarnai oleh kekerasan daripada saling pengertian? Tak ada sesuatu pun yang begitu mudah dalam keidupan manusia, dan kita harus memahami dan mencerna warisan yang menyakitkan dari zaman lampau, untuk bisa mencari jalan mengatasinya zaman ini. Karena dalam pandangan kebanyakan orang, islam bukanlah sebuah agama dialog, melainkan agama kekerasan. Karena itu penting untuk membeberkan posisi yang sebenarnya di sini.
Pertama-tama kami ingin menggarisbawahi, bahwa juga kalau di beberapa negara, pintu masuknya islam dibuka dengan kekerasan, toh islam bukanlah sebuah agama yang memaksakan segala sesuatu dengan kekerasan. Marilah kita berusaha mengerti latarbelakang situasi waktu itu, ketika Islam menyebarkan ajarannya ke dunia. Kedua negara adidaya zaman dulu, kekaiseran Bizantium dan Ctesiphon (Persia) berjuang untuk menanamkan hegemoninya dalam masyarakat. Tidak ada seorang pun yang menentang usaha ekspansi dengan kekerasan. Waktu itu, hanya ada dua posisi: yang menganiaya dan yang teraniaya. Dan sejarah menunjukkan, bahwa semua perang waktu itu adalah “perang adil”, atau sekurang-kurangnya perang yang dapat dibenarkan. Sebuah “roh perang” – dan ini masih terjadi zaman ini – menyembah manusia yang memiliki roh ini. Dalam hubungan dengan ini kita bisa menyebut jalan revolusi yang hari ini masih dipuja-puja – sebagai suatu yang mendatangkan kegembiraan bagi bangsa-bangsa, tetapi sekaligus sebagai suatu yang menghancurkan tembok yang menghalangi jalan menuju kebebasan.
Sebagai agama revelasi dalam ruang dan waktu, tertulis dalam sejarah, disokong oleh manusia dan berada di bawah hukum kebetulan, islam mau tidak mau harus menyesuaikan dirinya dengan situasi zamannya. Islam pun tergiring masuk dalam perkembangan sejarah ini dan ia tidak punya pilihan lain. Sebuah ayat al-Quran – dan ini adalah kenyataan – misalnya dapat ditafsir sebagai seruan untuk berperang dan janji bagi mereka yang menjadi korban untuk menjadi martir dan masuk surga. Tapi seruan untuk perang seperti ini hanya dianjurkan pada kasus-kasus terntetu dan sebagai jalan keluar terakhir. Supaya dapat dibenarkan, seruan perang ini harus dilengkapi dengan pembatasan-pembatasan fisik dan moral yang berbeda. Yang penting dan patut ditekankan di sini ialah, bahwa ayat-ayat yang berisi tentang seruan perang terikat pada nilai waktu dan pada situasi-situasi khusus zaman itu. Kita berharap supaya, ayat-ayat seperti itu tidak aktual lagi untuk situasi kita zaman ini! Mereka tidak mengungkapkan roh dan semangat yang sesungguhnya dari warta yang ingin disampaikan kepada sesama dengan penuh pengertian dan rasa hormat, seperti yang sudah dikatakan tadi. Roh dan semangat inilah yang harus ditemukan sekarang secara baru untuk bisa melenyapkan segala kesalahpahaman yang menghalangi jalan dialog, baik dulu maupun sekarang.
Permasalahan jaman ini
Seyogyanya, segala permasalahan yang ada tidak dapat diselesaikan secara tuntas, setelah hipotek masa lalu sudah dapat ditangani. Juga kalau segalanya kelihatan berjalan baik, masih akan tetap ada kesulitan-kesulitan yang menanti di depan mata.
Bagiku, permasalahan terbesar adalah: Perbedaan-perbedaan yang besar dan kasat mata antar para partner dialog. Misalnya perbedaan dalam hal pendidikan akademis. Tak dinyana, tantangan perbedaan ini adalah suatu permasalahan paling sulit yang tidak dapat diatasi dalam waktu dekat. Karena bagaimanapun juga, memenangkan partner dialog yang kompeten untuk memulai sebuah dialog yang jujur tidak turun begitu saja dari langit. Tak dapat disangkal, bahwa Islam zaman ini masuk dalam kategori perkembangan sivilisasi yang paling mundur: bukan hanya ditilik dari segi materi, tetapi lebih menyangkut aspek intelektual. Bahwa bisa disebut satu dua orang ilmuwan atau pakar dari pihak islam, ini tidak merubah kenyataan. Pengecualian hanya membuktikan aturan. Bersama Corneille bisa dikatakan, bahwa dialog itu bukan hanya sia-sia, tetapi ia juga tidak dapat dimulai karena kurangnya “kemampuan untuk berdialog”. Kesulitan dan tantangan-tantangan lain ialah kenyataan keraguan dan keengganan, ketidakpercayaan dan kurangnya kontak, juga kalau ini tetap diusahakan, dimana pihak kristen lah yang hampir selalu menjadi inisiatornya [...]
Sebuah problem serius lain adalah perbedaan dalam perkembangan pemikiran teologis. Teologi kristen banyak mengambil keuntungan dari perjumpaan-perjumpaannya dengan ideologi-ideologi lain. Perjumpaan dengan ideologi-ideologi berbahaya adalah “momen-momen berahmat“, dimana dari perjumpaan ini ketegangan-ketegangan yang kreatif dapat muncul berkat pertentangan-pertentangan dan kritik. Dengan itu ia bisa memperdalam nilai-nilainya sendiri, bisa mengolah jawaban-jawabannya, kadang harus melewati jalan ujian yang berat dan menyakitkan, tetapi justru dengan itu ia bisa mengintegrasikan kekayaan-kekayaan yang besar – kekayaan yang cocok dengan dinamika batiniahnya. Dengan sendirinya pemikiran-pemikiran kristiani mendapat dinamika baru. Ia mengolah aliran-aliran pemikiran jaman itu dan berkembang dalam dan bersama arus aliran ini sembari melindungi dan memperkuat jaringan hubungannya dengan hal-hal yang paling hakiki dalam tradisinya. Usaha-usaha yang semakin jelas terlihat sejak abad ke-19 ini menjadi ajang lahirnya Konsili Vatikan II. Memang semuanya bukan berjalan tanpa hambatan, tanpa rasa sakit yang menyayat dan tanpa krisis. Tetapi secara umum bisa dilihat, bahwa Gereja semakin maju dan semakin mempersiapkan dirinya untuk dialog. [...]
Bagaimana sikap Islam berhadapan dengan segala usaha seperti ini, usaha yang tidak pernah ada dalam sejarahnya sebagaimana yang dialami dalam sejarah Gereja? Dalam Islam kita berhadapan dengan sebuah teologi yang sebenarnya sudah berhenti di abad ke-12. Pelan tapi pasti, teolog-teolog Islam kehilangan kontak dengan dunia. Berabad-abad lamanya tidak terdapat masalah yang serius. Ia tidak membiarkan dirinya ditantang dan dimotivasi untuk lebih berani masuk ke dalam rahasia dunia. Disposisi seperti ini dapat dilihat sekarang lewat sikap yang statis berhadapan dengan interes-interes sejarah. Memang terdapat juga renaissance (nahda) dalam Islam di abad ke-19. Dan renaissance ini membawa begitu banyak hal yang baik. Tetapi bagaimanapun juga, ia tidak berhasil membawa Islam kembali kepada perkembangan sejarah, dan jalan yang telah ditempuh pun bisa jadi tak seberapa artinya dibandingkan dengan apa yang masih berada di depan mata kita. […]
Kesulitan-kesulitan, prasangka-prasangka dan sikap skepsis hendaknya diolah secara transparan, jika semuanya ini ingin diatasi. Sejauh masih ada kompleks superioritas di satu pihak dan kompleks inferioritas di lain pihak, dialog tidak akan sampai pada tujuan yang diharapkan.
3. ISLAM HARUS MENGATASI KESULITAN-KESULITANNYA
Supaya menghindarkan kesalahpahaman, pertama-tama mau dijelaskan, bahwa berhadapan dengan agama kristen, Islam tidak perlu memiliki kompleks, juga kalau pada saat ini agama kristen dan islam tidak memiliki porsi yang sama dalam hal mempersiapkan diri untuk sebuah dialog. [...]
Pada jaman ini hampir tidak ada lagi batasan geografis: Kontak antara manusia tidak dapat dihindarkan. Pengaruh-pengaruh, baik itu lewat buku-buku, film dan gelombang-gelombang radio maupun lewat televisi tidak dapat dihindarkan. Isolasi hanyalah sebuah fantasi dalam sebuah dunia yang penuh dengan gejolak perubahan dan bertentangan dengan kenyataan. Rupanya semua umat manusia harus mengalami dan melewati sebuah krisis pubertas baru. Tidak ada sarana yang dapat menghalangi pergumulan dengan situasi baru ini. Demokratisasi pendidikan, akses ke sekolah dan terutama ke universitas, standar kehidupan dan standar pendidikan umum yang semakin tinggi, tuntutan-tuntutan yang lahir dari perubahan-perubahan yang seringkali sangat brutal, dapat berakibat fatal bagi kaum muslimin yang selama ini berusaha dengan segala daya untuk menghindar darinya. Agama-agama semakin tidak terkondisi pada persyaratan-persyaratan sosial dan semakin menuntut sebuah komitmen pribadi yang sadar. Kalau agama islam yang dihidupi tidak mampu membaharui para penganutnya lewat dialog dengan segala arus intelektual perkembangan zaman dan tidak berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai yang sesuai dengan keyakinannya, seperti yang terjadi di zaman dulu, maka ia akan berhadapan dengan bahaya keruntuhan misinya di atas bumi.
Gejala deislamisasi sekarang semakin terlihat di universitas-universitas, di kelompok-kelompok orang muda pada umumnya dan di kalangan-kalangan sosial papan atas, dimana mereka sering melihat dan menganggap Islam itu hanya sebagai sebuah cinta sentimental, sebagaimana halnya dengan sebuah warisan budaya kuno. Akhirnya usaha dialog dengan orang-orang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, juga kalau masih tetap terdapat perbedaan yang menyolok, tidak terlalu berbahaya dibandingkan dengan sikap bersikeras untuk berpegang pada pembatasan-pembatasan dalam sebuah dunia yang semakin tidak mengenal batas. [...]
4. PERSYARATAN-PERSYARATAN DIALOG
Kami sadar, bahwa dialog itu memang mungkin, walaupun tidak selamanya menyenangkan. Karena itu kita harus menetapkan persyaratan-persyaratan secara jelas – persyaratan yang mampu membawa usaha kita kepada hasil yang maksimal, sehingga dengan itu dialog bisa menguntungkan dan berguna bagi semua orang secara langgeng. [...] Untuk itu, ada dua sikap yang harus dihindarkan – sikap yang bisa mendatangkan kesalahpahaman, kemarahan dan rasa sakit hati, yaitu Roh/sikap polemis dan roh/sikap kompromi dan cepat puas.
Menghindarkan polemik
Pada abad pertengahan, roh/sikap polemis telah mendatangkan kerugian-kerugian yang tak ternilai, baik itu kerugian material, maupun kerugian intelektual dan moral, karena lewat karikatur-karikatur dan pemalsuan, ia membodohkan masyarakat dan menyebarkan kebohongan di bawah selimut kebenaran. [...] W. Montgomery benar kalau ia menulis: „Kalau seorang kristen dan seorang islam hanya berusaha untuk mencari argumentasi untuk menjatuhkan yang lain, mereka akan mendapatkan begitu banyak argumentasi tentang itu, tapi ini sama sekali tidak menuntun mereka kepada dialog“ (Islamic Revelation in the Modern World, Edinburgh 1969, 5. 121). Karena itu yang paling penting ialah berusaha untuk mematikan kecamabah-kecambah atau tunas polemik ini. Sarana yang paling baik untuk menghindari pengulangan usaha-usaha destruktif dan kekerasan melawan roh ialah berusaha supaya dialog itu tidak dijadikan sebagai ajang untuk menggolkan tujuan-tujuan yang terbuka dan tersembunyi, yaitu usaha menobatkan yang lain dan memenangkannya demi agamanya. Jika dialaog direncanakan sebagai sebuah bentuk baru proselitisme, sebagai sebuah sarana untuk menguburkan keyakinan orang lain dan memurtadkannya, maka cepat atau lambat kita akan mendapatkan situasi kita seperti di jaman abad pertengahan. Hanya strateginya yang berubah. [...].
Batas-batas sudah berubah
[...] Tanpa kecuali, semua orang beriman hendaknya selalu sadar, bahwa sejak abad pertengahan dunia ini sudah sangat berubah. Batas-batas tidak lagi berlaku seperti dulu. Pada zaman ini, jarak yang ada bukan lagi terletak pada perbedaan pandangan tentang Allah, atau juga perbedaan dalam cara menyembahNya. Jarak yang paling besar jaman ini justru terjadi antar mereka yang membangun eksistensinya tanpa Allah dengan mereka yang berpandangan, bahwa eksistensinya hanya berhasil kalau itu dibangun dalam dan bersama Allah ; antar orang-orang beriman (entah dari agama apapun), yang sudah menganggap agamanya sebagai mitos-mitos kuno yang sudah sepantasnya dibuang dengan mereka yang masih tetap percaya pada kebenaranNya yang tak dapat diselami. [...]
Orang tidak lagi bertobat atau berpaling dari agamanya lewat polemik.
Pertobatan atau usaha memenangkan seseorang bagi sebuah agama, terutama bagi agama-agama besar, tidak lagi dicapai lewat proselitisme dan polemik. Konversi dari Carloo Coccioli, seorang kristen dan penulis buku "Tourment de Dieu" yang berpindah ke agama Yahudi, ataupun Edith Stein yang berpindah dari agama Yahudi ke agama Kristen – kemudian dibunuh di Auschwitz karena keyahudiannya, atau juga Isabelle Eberhardt yang meninggalkan agama kristen dan mencari perlindungan di bawah « naungan hangat agama Islam » tidak terjadi lewat cara ini. Konversi mereka adalah hasil dari sebuah pergulatan batin yang panjang dan kompleks, buah dari permenungan-permenungan psikologis dan individual, dimana mereka akhirnya menemukan nilai-nilai dan kedalam spiritual pada agama-agama baru yang dianutinya.
Kewajiban apostolat/rasuli.
Bukankah sebuah agama akan menyimpang dari panggilan universalnya, kalau ia tidak menjadikan pertobatan/konversi dari mereka yang belum termasuk dalam sebuah agama manapun sebagai tujuannya? Bukankah itu berarti menyangkal diri sendiri dan melukai kewajiban apostolat/rasulinya? Sejujurnya harus diakui, bahwa sekarang tiba saatnya untuk melenyapkan segala kerancuan dan menghindar dari perangkap-perangkap atau jeratan, terutama menyangkut ungkapan rasa puas yang berlebihan serta kompromi. Tak seorangpun, baik beriman atau ateis, tidak boleh bermain-main dengan iman atau gagasannya. Ini adalah hukum kategoris kemajuan dan hukum usaha asimptotik menuju kebenaran. Keyakinan-keyakinan yang jujur dan keluar dari kedalaman budi tidak dapat ditukar dan dirubah. Yang perlu diperhatikan, ialah menghindar dari bahaya untuk keluar dari suatu ekstrem menuju ke sebuah ekstrem yang lain hanya demi menyenangkan orang lain, karena ini hanya akan menghasilkan sebuah sinkretisme yang dipaksakan dan kebingungan, atau bahkan bisa menuntun orang kepada perkembangan menuju persatuan yang dipaksakan. Dialog yang dimaksudkan di sini bukanlah sebuah politik, ia bukanlah sebuah seni kompromi. Dialog yang dimaksudkan adalah sebuah dialog yang dilakukan dalam sebuah level yang lebih tinggi. Persyaratan yang dibutuhkan adalah kejujuran yang sejati. Supaya dialog itu bisa mencapai tujuannya, setiap pribadi dituntut untuk menjadi diri sendiri, tanpa ada keinginan untuk selalu mencari titik tengkar, tapi juga tanpa merelativisasi segalanya demi persatuan. Dengan ini kita kembali lagi pada kewajiban rasuli, tetapi kewajiban ini bebas dari segala sampah polemik dan proselitisme yang hanya mendatangkan kebutaan. Dari sudut pandang ini, apostolat pada hakekatnya berarti keterbukaan yang penuh perhatian pada yang lain, pencarian yang tak henti-hentinya akan kebenaran dan pendalaman serta pembatinan iman yang langgeng dan berkesinambungan yang akhirnya mengarah pada kesaksian yang murni (dschihad).
Memang pasti banyak orang yang heran dengan penafsiran kata ini, khususnya kalau kata ini dihubungkan dengan perang suci, baik di masa lalu, masa kini dan masa datang – sesuatu yang selalu bergema di telinga. Bagi yang masih berpikiran demikian, kami ingin menjelaskan, bahwa secara etimologis Dschihad tidak berarti perang, juga kalau perang ini dinamakan perang suci. (...) Dschihad punya arti yang lain sama sekali. Pada hakekatnya, Dschihad dalam pengertian luas berarti usaha yang sungguh-sungguh dan ekstrim pada jalan Allah (fi sabil Allah), dan menurut tradisi, bentuk dari dschihad al-akbar yang paling dramatis dan paling membuahkan hasil adalah dschihad yang berakar dalam kedalaman jiwa.
Bentuk apostolat yang paling baik adalah kesaksian seorang manusia yang menang atas perjuangan menuju kepenuhan moral. Bentuk apostolat lewat kesaksian ini adalah satu-satunya bentuk yang menjanjikan hasil dan sesuai dengan tuntutan jaman ini. Bentuk ini jauh dari sebuah proselitisme. Bukankah Sang Nabi sendiri mengingatkan, pada akhirnya Allah sendiri lah yang akan menghantar dan menuntun siapa yang Ia kehendaki kepadaNya ? (al-Quran 28,56). Singkatnya, kewajiban kita dalam hal apostolat ini adalah memberi kesaksian, dan Allah sendirilah yang memungkinkan sebuah pertobatan atau konversi : « Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. » (al-Quran 2,143).
Maka bukanlah suatu yang tidak mungkin untuk mengerjakan sebuah teologi islam yang sesuai dengan respek yang jujur terhadap yang lain. Jelas, bahwa kesaksian seperti ini bagi agama kristen yang adalah agama kesaksian lewat mati sahid bukanlah suatu hal yang turun dari langit seperti juga pada agama-agama lain. Koeksistensi, atau lebih tepat kerjasama, tanpa menyepelehkan keyakinan pribadi, bukan hanya tidak mungkin melainkan justru mendatangkan hasil yang efektif. Juga kalau ekstrim dari proselitisme yang polemis dan kompromi demi menyenangkan yang lain harus dihindarkan, toh kewajiban apostolat itu tetap tinggal sebagai suatu hal yang penting. Yang penting ialah, bahwa ia harus mengambil bentuk yang paling mulia dan sulit, yaitu dschihad batiniah, dan membuka jalan kepada persaingan yang sehat demi kebaikan bersama. Tetapi supaya dschihad batiniah ini tidak tenggelam dalam suatu penarikan diri yang egoistis dan mistis, atau juga hanya pasif dan terbatas pada diri sendiri, atau berkembang ke arah kompromi suara hati yang murah dan ketakacuhan, pada saat yang sama ia hendaknya menjaga dan memelihara kesaksian dan kesiapannya nuntuk tetap mencari dan terus mencari. Di sini peran dialog sangat penting. Ketika dialog menciptakan sebuah situasi yang sehat bagi komunikasi timbal balik dan bagi ketegangan intelektual, pada saat itu ia memajukan sebuah pendalaman iman yang langgeng dan saling memperkaya.
Banyaknya jalan menuju keselamatan.
Sikap seperti yang digambarkan di atas mengandaikan, bahwa orang harus mengakui banyaknya jalan menuju keselamatan. Masalah ini adalah suatu persoalan yang paling sulit. Justru ini adalah beban sejarah masa lalu yang sulit terpecahkan. Sistem-sistem teologis semua agama – tentu ada beberapa kekecualian – dibangun di atas sebuah fundamen yang sama : « Di luar Gereja tidak ada keselamatan ». Malah dalam kelompok-kelompok agama ini, kelompok inti dari mereka yang setia (yang masih beriman) – mereka yang seharusnya mendapat keselamatan – , menjadi semakin kecil dibandingkan dengan para pembangkang iman (bidat) yang akan dihukum dengan hukuman kekal. Dengan itu orang bisa sampai pada kesimpulan, bahwa kecuali orang-orang pilihan, kebanyakan umat manusia sudah ditentukan untuk neraka. Padahal semua agama mengklaim, bahwa Allah itu mahaadil, maharahim dan mahacinta. Dalam lingkup ini, kita membutuhkan sebuah pembaharuan teologis dan sebuah perubahan berpikir yang radikal. Karena bagaimana menjalankan dialog dalam sebuah situasi penuh keterbukaan dan tanpa curiga, kalau sejak awal dan dari instansi-instansi resmi agama, mitra dialog itu sudah dihempaskan pada pintu neraka hanya karena keyakinannya ?
Dari pihak katolik, sejak Konsili Vatikan II terbukalah sebuah perkembangan baru, terutama berhadapan dengan kaum muslimin (lih. Pernyataan tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan kristiani, Nostra Aetate 3) [...] Dalam roh dan semangat yang sama G. C. Anawati memberikan penjelasan, bahwa berhubungan dengan keselamatan, « kedua tuntutan iman seperti yang dikemukakan oleh Santu Paulus, ada juga dalam Islam dan sudah lama dikenal... Itu berarti, bahwa kalau saya memulai dialog dengan seorang muslim, saya tidak mulai dengan menghempaskanya ke neraka, hanya karena ia adalah seorang penganut islam. Sebaliknya saya dapat memberikan jaminan kepadanya, bahwa dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi, ia dapat mencapai keselamatan, juga kalau ia tetap tinggal sebagai seorang pengantut muslim yang penuh keyakinan.
Apakah ada sebuah permulaan yang lebih baik untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah dialog? » Berseberangan pendapat dengan yang diutarakan akhir-akhir ini, sebuah usaha ke arah itu sebenarnya sudah dimulai sejak abad pertengahan. Misalnya Gahzzali (1058-1111), seorang teolog yang sangat dihormati dan diakui oleh banyak pihak, sorang yang oleh kaum Sunni dipandang sebagai pembicara Islam yang berkualitas (hudschdschat al-islam), dan seorang yang dalam bukunya Faysal al-Tafriqa, mengakaui juga keselamatan bagi kaum non-muslimin dengan persyaratan-persyaratan tertentu, terutama kejujuran dan kehidupan yang baik. Seorang teolog dari mazhab nahda, Muhammad 'Abduh (1849-1905), dalam semangat dan roh yang sama menginterpretasi teks al-Quran 2,62 sebagai berikut : « Bagi orang-orang yang percaya* (*yang dimaksudkan adalah kaum muslimin) dan bagi mereka yang beragama Yahudi, Kristen ataupun kaum Sabian – (semua) yang percaya pada Allah dan pengadilan terakhir serta yang berbuat yang baik, berhak untuk mendapatkan upahnya dari Allah, dan mereka tidak perlu takut (akan pengadilan), juga mereka tidak akan bersedih (setelah putusan pada pengadilan terakhir) » [...]
Tetapi di sini harus ditekankan, bahwa arti dari teks ini masih terus diperdebatkan, sebagaimana yang terlihat dari komentar A. Rida dan M. ‘Abduh [...] Bagi Muhammad sebagaimana juga bagi setiap kaum muslimin, Islam adalah agama, kepadanya semua manusia terarah dan dipanggil. Diletakkan dalam konteksnya, Sura 3,85 tidak mengatakan sesuatu yang lain dari itu, dan ini juga adalah titik berat pewartaan al-Quran. Titik beratnya hanya terletak pada kenyataan, bahwa yang tidak diizinkan mengecapi keselamatan ialah jika orang memang percaya dalam kedalaman dirinya kebenaran dari apa yang ditemurunkan oleh Muhammad, tetapi akhirnya atas dasar aneka kesombongan-kesombongan sosial dan egoisme menolak untuk mendengarkannya, atau bahwa karena oportunisme, orang lalu menjadi plin plan dan berubah-ubah prinsipnya. Bagi mereka yang bersikap demikian – dan hanya mereka inilah, entah dari agama mana pun – pintu keselamatan akan tertutup bagi mereka. [...]
Maka bagi agama islam dan agama kristen, tentu juga bagi agama-agama lain, bukan tidak mungkin untuk mengembangkan sebuah teologi yang memberi tempat pada kebhinekaan atau pluralisme keselamatan. Juga kalau ini hanya terbatas pada kenyataan, bahwa orang tidak lagi membatasi kebaikan Allah pada lingkup agama tertentu, tetapi berusaha untuk mengatasinya lewat tanda dan simbol keadilan, kemurahan serta cinta, dan dengan itu pintu pun terbuka bagi semua orang yang berkehendak baik. Pada akhirnya Allah sendirilah yang menjadi hakim yang bebas dan independen, dan kita harus tunduk penuh kepercayaan pada kebijaksanaanNya. Bagaimanapun juga kita tidak boleh menggantikan posisiNya untuk menghakimi yang lain. [...]
5. POKOK PERSOALAN DAN TUGAS DIALOG
Pokok persoalan.
Muncul pertanyaan: Apakah dialog masih mempunyai arti dan pokok persoalannya, kalau tantangan-tantangan dan kesulitan dalam dialog seperti yang dikemukakan di atas akhirnya dipecahkan dan persyaratan-persyaratannya dipenuhi?
Tentu! Justru dengan itu dialog akan menjadi kerjasama yang tulus tanpa prasangka dalam pelayanan kepada Allah, atau dalam pelayanan demi kebaikan dan kebenaran.
Dalam sebuah situasi yang rileks, murni dan obyektif, dialog itu dapat berkembang menjadi sesuatu yang bisa berguna bagi semua pihak. Kita seharusnya tidak menyerah dibawah ilusi: Kalau dialog itu tidak membuahkan hasil secara merata bagi setiap pribadi dan mitra dialog tidak merasakan manfaat atau andilnya, dialog itu tidak akan terjadi atau kalau sudah dijalankan, ia akan gagal di tengah jalan. Setiap persekutuan, kalau ia merasa terancam, ia akan mendirikan pagar pembatas dan berusaha mati-matian untuk membangun sebuah sistem proteksi intelektual – sebuah sistem yang tidak membawa hasil sebagaimana juga yang terlihat pada langkah-langkah ekonomi protektionis. Karena dalam bahaya yang mengancam, orang tidak berpikir pada konsekwensi isolasi; keinginan untuk mempertahankan diri biasanya selalu lebih kuat dan menang. Sebaliknya dalam sebuah situasi saling percaya, gagasan-gagasan itu biasanya mengalir seenaknya, dan gagasan-gagasan seperti itu biasanya memperkaya semua pihak, lewat sumbgangan pemikiran timbal balik. Tujuan pertama yang harus dicapai dalam dialog ialah menghancurkan tembok yang memisahkan dan melipatgandakan kebaikan dalam dunia lewat shering ide dan gagasan secara bebas. Kemanusiaan pada umumnya, entah yang berorientasi materialistis atau spiritual selalu mempunyai interes untuk membandingkan pemecahan permasalahan-permasalahan besar – permasalahan yang sering mempertanyakan arti kehidupan – dengan model-model pemecahan masalah yang lain, dan kalau memungkinkan hasil perbandingan itu dikonfrontasikan. Dalam kenyataan tidak terlalu sulit untuk meraih dan menjabat tangan mitra dialog melewati batas-batas yang memisahkan, juga kalau sumber inspirasi itu berbeda atau bahkan bertolak belakang. Kesatuan budaya yang sekarang semakin bertumbuh dan berkembang, suatu fenomen yang kasat mata zaman ini, semakin mendekatkan semua manusia setiap hari dan menempatkan mereka pada sebuah level yang sama. Orang-orang beriman dan tak beriman dari segala arah dan golongan berusaha demi kepentingannya untuk memecahkan permasalahan-permasalahan penting jaman ini secara bersama-sama dan sekaligus berusaha untuk saling memperkaya lewat perbedaannya. Bagi semua orang beriman yang dipersatukan dalam pelayanan yang sehati bagi Allah, semestinya lebih mudah untuk memikirkan secara bersama-sama dalam sebuah situasi yang bebas kepentingan dan dalam usaha untuk mencari sebuah bahasa yang sama untuk itu. Dianjurkan misalnya dalam sebuah nuansa kebersamaan, dipikirkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam Dolkumen Konsili Vatikan II „Nostra Aetate“: Apa dan siapa itu manusia? Apa yang menjadi arti dan tujuan hidup kita? Apa itu kebajikan dan apa itu dosa? Darimana datangnya penderitaan dan apa arti/nilai yang dibawanya? Manakah jalan menuju kegembiraan? Apa itu kematian, pengadilan terakhir dan upah setelah kematian? Dan akhirnya: Apa yang menjadi rahasia terakhir dan tak terkatakan eksistensi kita? Kemana kita akan pergi?
Pilihan pertanyaan-pertanyaan ini dapat menjadi topik sebuah dialog atau tema diskusi-diskusi. Mengapa kita tidak mengorganisir sebuah “dialog meja bundar”, dimana wakil-wakil agama kitab dan non-kitab itu diundang untuk datang bersama? Untuk menghindari konfrontasi-konfrontasi yang mengarah kepada kekerasan, baik kalau dialog atau pertemuan ini sejauh mungkin bersifat terbuka bagi segala golongan. Toh terdapat juga konggres-konggres yang diadakan secara periodik, dimana para pakar sejarah, para filsuf dan fisikawan dari berbagai benua diundang. Mengapa tidak ada forum seperti ini dalam bidang dialog antar agama, dimana kaum beriman dari segala macam agama diundang untuk berbicara tentang pertanyaan-pertanyaan terbuka yang menjadi pokok persoalan bersama? Forum seperti ini pasti akan sangat berguna, juga kalau misalnya pada langkah pertama diundang para wakil resmi Gereja-Gereja (bukan hanya para ilmuwan/teolog-teolog di luar hirarki) untuk bisa saling bertukar informasi dan saling kenal mengenal satu sama lain. Dalam jaman kontradiksi ini, isolasi (enkapsulasi) sebuah agama sama seperti sebuah suntikan morfin yang memungkinkan sebuah kematian yang tenang. […]
Bisa dilihat, terdapat kemungkinan-kemungkinan yang jujur bagi agama-agama untuk salng memahami dan saling berdialog. Yang paling penting ialah mengetahui, bagaimana menemukan bentuk-bentuk dialog itu dan menerapkannya. Membangun sebuah teologi agama-agama, sebuah teologi sosial yang berhubungan langsung dengan tantangan-tantangan jaman atau juga mencari bentuk dialog yang cocok dengan kenyataan di lapangan hanya dapat bertumbuh dari kerjasama semua orang yang percaya, bahwa nasib setiap manusia itu berada dalam rencana Allah, dan bahwa keberadaannya memiliki sebuah tujuan yang tidak hanya terbatas pada dunia ini. Bertolak belakang dengan pemikiran ini, terdapat juga kelompok dan aliran yang melihat manusia itu sebagai tolok ukur segalanya dalam sebuah universum tertutup tanpa sebuah jalan keluar; melihat segalanya bukan sebagai buah dari karya ilahi, melainkan sebagai sebuah necesitas (keharusan) dan kebetulan. Jika semua yang membahayakan kehidupannya sudah diberantas, itu tidak berarti bahwa dialog itu kosong, tidak berguna dan tanpa isi. Justru dengan itu dialog semakin berisi dan menuju ke kedalaman. Lingkup-lingkup yang luas dari Etika sudah cukup untuk mempresentasikan bahan-bahan dialog yang mendalam dalam sebuah dunia, yang sering mengalami kegagalan dan selalu mencari tata aturan masyarakat baru dan nilai-nilai yang berada di baliknya. Apa yang dibawa Kabar Gembira Allah bagi semua orang yang terbuang, bagi semua orang yang dipangkas haknya, ya bagi semua orang yang tertunduk lesuh yang berdoa, meminta atau menantang, yang marah dan mengutuk? Dalam hubungan dengan pertanyaan-pertanyaan ini, dialog itu sangat dibutuhkan, karena dari jawaban-jawaban yang diperoleh bergantung seluruh pengalaman akan kehadiran Tuhan dalam hati setiap manusia di masa depan. [...]
Tugas Dialog.
Juga kalau hasil-hasil positif dialog itu terbatas pada bingkai dan isinya yang sederhana, toh tugasnya ke depan bukanlah suatu hal yang disepelehkan. Tugas utamanya ialah menyadarkan, menggerakkan dan menjauhkan manusia dari usahanya yang picik untuk memegang erat apa yang sudah menjadi keyakinannya. Memang setiap pribadi mempunyai hak untuk membagi dan mensyeringkan apa yang diyakininya, tetapi ini menjadi picik, kalau ia tidak berusaha untuk mengerti yang lain dan tidak mau menerima informasi dari yang lain. Sebelum seseorang mau mengajar yang lain – kalau ia mengalami kesulitan untuk berdialog dengan yang lain perihal elemen-elemen keagamaan tertentu – sekurang-kurangnya ia terlebih dahulu mendengarkan yang lain. Kita ingin meyakinkan terutama kaum muslimin, bahwa gagasan-gagasan yang sering diyakini sebagai gagasan-gagasan yang sangat berbahaya, kadang-kadang justru menjadi gagasan-gagasan yang sangat membantu, misalnya karena kekuatan gagasan ini mampu menghapuskan gagasan-gagasan lama yang kurang bermutu, atau menjadi kejutan yang memurnikan disposisi untuk mencapai suatu kesadaran yang mapan. Kalau tidak dijelaskan, gagasan-gagasan ini akan menjadi kekuatan yang meruntuhkan kebersamaan dan menelan struktur-struktur yang ada tanpa memberikan suatu simbangsih positif. Risiko ini sangat nyata, terutama dalam tubuh islam dewasa ini, sehingga harus mendapat perhatian serius. Makanya baik islam maupun aliran kepercayaan yang lain tidak memiliki pilihan lain, kecuali berani mengambil langkah dan risiko menuju dialog.
Sebuah eksegese baru yang tidak perlu menyangkal hasil-hasil dan perolehan yang kaya di masa lampau adalah „saat kairos“. Saat kairos ini membutuhkan situasi penuh keberanian, keterbukaan dalam dialog serta kemampuan menyimak segala ketegangan yang ada, supaya dapat melihat secara jeli tanda jaman dan berusaha memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang ada. Kalau situasi-situasi seperti yang digambarkan di atas dapat dicapai – situasi yang sudah berabad-abad lamanya tidak mendapat tempat dalam dunia islam – maka dialog akan memainkan peran penting untuk menuntun kaum muslimin keluar dari zona nyaman dan membuka hati dan telinga mereka secara baru bagi kabar gembira Allah. Karena kalau sabda Allah itu kekal adanya, seperti yang diyakini oleh kaum muslimin, maka konsekuensinya adalah, bahwa walaupun pewahyuan diri Allah itu terjadi pada suatu waktu dalam sejarah dan pada suatu tempat, sabdaNya mengatasi ruang dan waktu, sehingga gemanya dapat didengar di segala tempat dan di segala waktu secara baru. Karena itu sabda Allah itu tidak boleh dimengerti secara statis dan diterima secara pasif, melainkan ia harus dilihat sebagai kemungkinan-kemungkinan baru yang belum pernah dicerna – kemungkinan yang harus diejawantahkan dengan terus menerus mempertanyakannya secara baru. Tuntutan ini tidak selamanya revolusioner. Para ekseget pada zaman dulu pun sudah mengajukan tuntutan demikian, mereka yang merasa kagum akan kekayaan kemungkinan interpretasi al-Quran – interpretasi yang membongkar batas-batas bahasa yang biasa di bawah tekanan yang hebat dari kemungkinannya untuk mengungakapkan. Karena itu sangat penting untuk mendengar suara Allah yang senantiasa hadir dalam setiap detak kehidupan kita dengan telinga jaman ini. Menghidupkan kembali sebuah eksegese modern dengan menyatukan kebijaksanaan dan keberanian yang menyerap segala ketakutan, ketidaktenangan dan pertanyaan-pertanyaan jaman ini secara langsung merupakan suatu persyaratan sinne qua non, sehingga hak-hak Allah sendiri tidak dikoyak-koyak, melainkan selalu berbicara secara baru dalam sejarah kemanusiaan. Eksegese seperti ini hanya dapat dikembangkan dalam sebuah dialog dengan semua orang, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. [...]
6. HORISON-HORISON
Ke mana kita akan dibawah oleh penelitian yang dilakukan dalam semangat keterbukaan dan bukan isolasi? Tak seorang pun yang dapat menunjukkannya secara pasti. Yang paling menentukan adalah suatu langkah berani yang dihidupi dan dibuat dari hari ke hari. Apakah tujuan yang ingin dicapai pada akhir labirin adalah penyatuan agama-agama? [...]
Pada akhirnya kita toh terantuk pada misteri rencana Allah yang tak dapat diselami dan nasib seluruh umat manusia. Yang harus kita lakukan ialah menerima risiko perbedaan-perbedaan pendapat dan kontradiksi yang ada untuk masuk dalam sebuah persaingan yang sehat, sehingga dengan itu ujian pemecahan atau dialektik dapat lebih dipermudah. Kita juga harus menghindari harapan-harapan akan dialog yang tidak memiliki dasar untuk melindungi diri dari kejengkelan dan keputusasaan serta bertahan dalam segala situasi. Janganlah kita tenggelam dalam ilusi-ilusi: Walaupun sudah diutarakan tindakan-tindakan pencegahan, akan selalu ada jalan-jalan yang berbeda penuh persimpangan. Juga di jaman dulu tak ada satu pun tongkat ajaib yang mampu menyelesaikan segala kesalahpahaman dan segala persoalan dunia hanya dengan sebuah sentakan pukulan. Di masa depan pun tak akan ada tongkat seperti itu. Dialog adalah sebuah proses yang membutuhkan kesabaran yang langgeng. Jika ia berhasil membuka jalan menuju kontak yang semakin intensif antar partner dialog, jika ia berhasil mengubah kemasabodohan dan permusuhan menjadi persahabatan, ya malah persaudaraan di antara mereka, walaupun perbedaan iman dan pendapat tak dapat dielakkan, itu sebenarnya sudah cukup dan sudah banyak yang dicapai. Mengadakan dialog bukan berarti mencari sebuah penyelesaian bersama, juga bukan berarti menemukan sebuah kesepakatan dengan segala macam cara. Lebih dari itu, tugas dialog adalah menuntun segala kejelasan yang sudah tercapai dan segala keterbukaan ke dalam diskusi-diskusi baru dan memungkinkan semua mitra dialog untuk lebih berkembang dan bukan merasa nyaman dalam kepastiannya. Jalan menuju ke kerajaan terang masih sangat panjang, karena Allah menyelubunginya dengan kerudung rahasiaNya. [...]
-----------Tamat----------
*(Ringkasan teks essay dari Muhammad Talbi, Islam und Dialog (Islam dan Dialog). Köln: CIBEDO, 1981. (Teks asli dipublikasikan pada tahun 1972 dalam bahasa Tunisia).