German
English
Turkish
French
Italian
Spanish
Russian
Indonesian
Urdu
Arabic
Persian

Salib, Dosa dan Penebusan

I. Muslime fragen

 

  • Bagaimana mungkin Allah yang kekal bisa menderita dan wafat pada kayu salib? Bagaimana mungkin Allah bisa menyerahkan seorang nabi demikian agung seperti Yesus ke dalam tangan para musuh? Bagaimana seorang Bapa bisa membiarkan anakNya dipaku pada kayu salib? Bukankah ini semua merupakan penghojatan terhadap Allah?
  • Kematian seorang yang tidak bersalah dan adil tidak bisa menghapus dan menebus dosa-dosa orang lain. Adalah sebuah ketidakadilan yang luar biasa bahwa seorang yang tak bersalah harus mati untuk orang yang bersalah.
  • Pengampunan dosa-dosa dari pihak Allah tidak membutuhkan korban seperti ini. Allah adalah Maha Kuasa dan bisa mengampuni dosa-dosa manusia. Cukuplah kalau manusia bertobat atau tetap setia pada iman mereka seperti dalam ajaran Islam. Allah itu baik. Dia bukan seorang hakim yang kejam.
  • Mengapa semua orang memikul akibat dosa Adam dan dituduh bersalah oleh karena dosa Adam? Bagaimana mungkin seorang anak yang baru dilahirkan bisa dikatakan pendosa, padahal dia belum bisa berbuat dosa? Bukankah setiap orang harus bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatannya?
  • Kodrat manusia itu pada dasarnya tidak jahat. Mengapa ada pesimisme Kristiani?
  • Apakah benar bahwa para Teolog Kristiani dewasa ini menolak pandangan bahwa seluruh bangsa Israel dikutuk oleh Allah karena leluhur mereka terlibat dalam pembunuhan Yesus?

 

II. Pandangan Islam

 

Pandangan Umum

 

Pada prinsipnya setiap orang bertanggungjawab terhadap semua perbuatannya dan akan diadili setimpal dengan perbuatannya. Pemahaman bahwa seorang anak memikul dosa-dosa orangtuanya atau bahwa seseorang harus mengorbankan diri untuk orang lain adalah absurd dan tidak masuk akal.

 

Dosa – kecuali oleh karena murtad dari iman dan oleh karena mengasosiasikan Allah dengan sebuah wujud ciptaan (schirk) – tidak merupakan dosa berat. Dosa tersebut terutama merupakan pelanggaran konvensi moral dan konvensi sosial (harām) atau dalam konteks yang lebih berat merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah (scharï’a). Akan tetapi dosa tersebut tidak merupakan serangan langsung terhadap Allah. Allah terlalu besar dan agung sehingga begitu mudah merasa terluka oleh karena dosa manusia. Allah mengampuni semua kesalahan dan dosa manusia dengan penuh kerelaan dalam kebesaran dan kebaikanNya. Seseorang bisa menjadi Muslim yang baik juga kalau seandainya dia tidak selamanya patuh terhadap semua peraturan.

 

Salib bernuansa sebuah skandal dari inkarnasi atas cara yang sangat radikal bahwa Allah yang menjadi manusia mati sebagai yang terkutuk. Penyaliban Yesus ditolak oleh al-Qur’ān secara jelas. Dalam sejarah manusia salib merupakan lambang sesuatu yang tidak menguntungkan. Salib merupakan simbol perbuatan yang sebenarnya tidak terlalu cocok untuk dikenakan sebagai simbol kasih Kristiani (bdk. kata Salib dipanai oleh bahasa Indonesia untuk peristiwa Perang Salib. Bahasa Barat dan bahasa Arab juga demikian: salïb – al-hurūb al-salïbiyya: peperangan di bawah panji salib, sejarah kolonialisme mencatat realitas perselingkuhan antara kuasa politik dan agama Kristiani, dalam usaha mempertahankan kekristenan Eropa seperti peperangan Prancis melawan pembebasan Aljazair. Juga dewasa ini persengketaan antara dunia Arab dan Barat tidak jarang melibatkan simbol bulan sabit dan salib.

 

Hingga saat ini orang-orang Kristiani percaya akan arti keselamatan dalam dan melalui salib. Dalam Katekismus Katolik dan beberapa ajaran terkait dikatakan: ”Kristus mengorbankan diri untuk kita”… ”Melalui dosa Adam dan Hawa kita semua juga berdosa…”

 

Pandangan Khusus

 

1. Manusia dan Dosa

 

Al-Qur’ān menceritakan kejatuhan Adam ke dalam dosa melalui kata-kata dan dalam konteks yang dekat dengan Alkitab (Sura 2,30-38; 7,19-27;117- 128). Allah mengeluarkan perintah yang melarang manusia unuk makan buah terlarang. Dosa Adam dan ”isterinya” (nama Hawa tidak disinggung di dalam al-Qur’ān) adalah bahwa mereka tidak mengindahkan larangan Allah. Akan tetapi perlu diingat bahwa Adam bertobat dan Allah mengampuninya. Dengan demikian Adam membuka lembaran catatan para nabi yang tidak berdosa.

 

Dosa Adam mempunyai akibat untuk turunannya. Mereka dienyahkan dari Firdaus dan hidup dalam bayangan godaan setan. Hati mereka terus tidak tenang dan puas. Toh dalam ayat-ayat lain, al-Qur’ān memperotes dengan lugas melawan adanya ide tanggungjawab kollektiv: ”.....dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Sura 6,164; 7,28; 17,15; 35,18; 39,7). Dosa-dosa leluhur tidak bisa diampuni melalui dan oleh turunan mereka. Setiap orang harus sadar akan hal ini. Penghakiman Terakhir akan juga merupakan sebuah hal pribadi dengan Allah. Setiap orang akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu pada hari Penghakiman Terakhir ini (Sura 52,21; 53,38; 56,4-11; 82,19; dan secara khusus 99,7-8: ”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasannya) pula” (Dzarrah adalah sebuah kata Arab (ﺫۜﺭﺓ). Al-Qur’ān versi Jerman menterjemahkan dzarrah dengan ”setitik debu”). Toh al-Qur’ān juga mengakui bahwa manusia itu dari kodratnya memiliki kecenderungan kepada yang jahat. Kalau al-Qur’ān berbicara tentang manusia secara umum (al-insān) lazimnya sifat-sifat berikut akan disinggung pula: ”amarah” (’asï), ”tidak tahu berterimakasih” atau ”tidak beriman” (kāfir), ”mengakui kekerasan”, ”tidak sabar”, ”suka berselisih”, dan ”kurang bisa dipercayai” (Sura 2,75; 3,72; 5,61; 6,43; 7,94-95; 14,34; 17,11. 67. 100; 18,54-55; 21,37; 33,72; 48,26). Manusia juga bisa menumpahkan darah dan menyebabkan malapetaka (Sura 2,30), terbukti sejak penupahan darah karena pembunuhan yang terjadi pada seorang anak Adam yang dilakukan oleh saudara kandungnya sendiri (Sura 5,27-32) hingga penumpahan darah dari para nabi yang dilakukan oleh anak-anak Israel (Sura 2,61; 3,21. 112. 181. 183; 4,155; 5,70). Al-Qur’ān berbicara tentang hakikat ”jiwa” yang menolak yang jahat secara tegas (Sura 12,53).

 

Lebih dari itu al-Qur’ān berbicara tentang solidaritas di antara manusia baik dalam hal dosa maupun dalam perbuatan-perbuatan baik. Orang-orang jahat mengakibatkan kehidupan tanpa Allah dan orang-orang sesat berusaha untuk menjatuhkan orang-orang ke dalam pencobaan (Sura 2,109; 3,69.98.110; 5,49). Kedua jenis manusia di atas sama-sama tampil bekerjasama untuk menentang Allah (Sura 5,78; 8,73; 21,54). Di sini, orang-orang beriman menegakan solidaritas dan saling membantu untuk mengejar kebaikan (Sura 4,114; 9,71; 60,10).

 

Menyangkut doa syafa’at atau doa umat (schafā’a) orang-orang Muslim bersandar pada al-Qur’ān dan berkata bahwa setiap nabi berdoa untuk umatnya masing-masing (Sura 24,62; bdk 3,159; 4,54; 8,33). Nabi Muhammad juga melakukan doa syafa’at untuk umat Islam tetapi dengan ”seijin Allah” dan kalau umat Islam sendiri memohon kepadanya (Sura 2,255; 10,3; 19,67). Dalam kalangan para Sufi ada kecenderungan untuk menambah jumlah penyambung doa syafa’at umat (Walï/auliyā): Orang-orang Kudus, Sahabat-sahabat Allah) dengan risiko bahwa praktek ini bisa menghantar umat Islam kepada berhala dan mendapat kesulitan dengan para Teolog Muslim.

 

2. Salib

 

Kematian Yesus di kayu salib ditolak oleh al-Qur’ān dengan mengatakan demikian: ”…Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, ‘Isa putra Maryam Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhya dan tidak (pula) menyalibkannya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka…” (Sura 4,175; bdk juga 3,55). Entah apapun interpretasi yang dilakukan oleh para penafsir, ungkapan ”Orang yang diserupakan degnan ‘Isa (Schubbiha lahum) diartikan sebagai seorang pengganti, yakni seorang petinggi Romawi, Simon dari Syrene atau Petrus) yang tampil untuk menggantikan Yesus untuk disalibkan. Sebuah pandangan umum beredar dalam tradisi Islam bahwa Yesus tidak disalibkan melainkan diangkat oleh Allah ke Surga tanpa mengalami sedikit penderitaanpun. Yesus akan datang kembali pada akhir jaman sebagai Pewarta langsung akan datangnya akhir dunia.

 

Adalah penting untuk mengetahui alasan, megapa orang Muslim menolak sebuah doktrin iman Kristiani yang begitu sentral dan sebuah peristiwa bersejarah. Jauh melebihi pengaruh-pengaruh dari ajaran Doketisme dan Gnostik, sebenarnya pandangan di atas lebih didasari atas prinsip monotheisme Qurāniyya dan sekaligus mengantar kepada kesimpulan tersebut.

 

Cerita tentang para nabi versi al-Qur’ān pada umumya mengambil alur cerita yang sama, misalnya bahwa seorang nabi yang diutus kepada bangsanya ditolak oleh orang-orangnya sendiri kecuali diterima oleh sebuah kalangan kecil; atau bahwa orang-orang berusaha membunuh si nabi tetapi Allah menyelamatkannya melalui sebuah mujizad. Alasan penyelamatan oleh Allah berbasis pada keyakinan bahwa Allah tidak mungkin menyerahkan utusanNya ke dalam tangan para musuh. Cerita tentang Yesus mengikuti alur pemikiran klasik tersebut. Sebenarnya inti tuduhan di atas adalah kritik al-Qur’ān terhadap anak-anak Israel, leluhur orang-orang Yahudi di Madina bahwa mereka telah membunuh para nabi.

 

3. Pengampunan Dosa

 

Allah sering digambarkan dalam al-Qur’ān sebagai Allah yang suka mengampuni. Pertobatan manusia dan kerahiman Allah adalah ibarat dua mata uang yang sama. Bahkan pertobatan manusia merupakan syarat utama yang mendahului kerahiman Allah (Sura 9,118). Dalam hal pertobatan terdapat dua persepsi dari kalangan Teolog Muslim. Menurut ajaran para Teolog Mu’tazilah, pertobatan dapat menghapus dosa-dosa manusia ”secara otomatis”. Sedangkan kelompok Teolog Ash’ariat berpendapat bahwa pengampunan dosa hanya bisa terjadi kalau ”dikehendaki oleh Allah” dan menampilkan kontradiksi bahwa pertobatan manusia dan kerahiman Allah saling bertolakbelakang. Seandainya manusia yang berdosa itu bertobat, maka Allah akan mengampuninya. Akan tetapi seandainya dia toh tidak bertobat, Allah tetap mengampuninya. Aliran Ash’ariat juga berpendapat bahwa siapapun yang menyimpan ”atom iman” akan juga masuk ke dalam Firdaus. Al-Qur’ān dan Teolog-teolog modern bersikeras bahwa yang paling penting di sini adalah perbuatan-perbuatan baik dan karya amal.

 

III. Pandangan Kristiani

 

1. Dosa Asal

 

Dewasa ini sebagian besar para Exeget dan Teolog Kristiani memiliki pendapat yang sama tentang makna teks-teks yang tertera dalam Kejadian 3 dan Rom 5,12-21. Teks-teks tersebut tidak bermaksud untuk memaparkan penjelasan ilmiah tentang asal-usul manusia di atas dunia dan taraf-taraf evolusinya, melainkan ingin menyampaikan kepada manusia sebuah keyakinan melalaui cerita-cerita simbolik yang menyentuh dimensi kejahatan dan dosa di atas dunia.

 

Dosa sudah hadir di atas dunia sejak manusia tampil di atas panggung kehidupan. Dosa itu tampak dalam berbagai bentuk: Egoisme individu dan kolektif, permusuhan yang membawa maut, persekutuan melawan Allah dan larangan-larangan-Nya, penyembahan berhala... Setiap manusia senaniasa bertarung antara kebaikan yang ingin dia lakukan dan kejahatan yang menggodai hatinya (Rom 7,21-25). Daya tarik untuk melakukan kejahatan bisa merasuk hati dan pikiran manusia secara total. Setiap anak yang baru dilahirkan juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ini. Manusia tidak selamanya secara spontan mengalami keharmonisan sikapnya dengan kehendak Allah dan dalam persahabatan denganNya karena manusia mewarisi sebuah kodrat yang sekaligus sudah memuat kecenderungan kepada kebaikkan dan kejahatan dan terutama karena ia masuk ke dalam jaringan dosa pribadi yang turut mengeruhkan relasi manusia dengan Allah dan dengan sesama manusia. Alkitab menamakan situasi yang demikian sebagai “dosa dunia”. Demikian kata Rasul Paulus: Setiap manusia, entah itu seorang Yahudi, Yunani atau kafir, dia tetap membutuhkan rahmat pengampunan dari Allah yang diwahyukanNya melalui dan dalam diri Yesus Kristus. Dalam sakramen permandian orang yang dibaptis itu takluk di bawah wilayah kekuasaan Kristus, di mana kuasa dosa pun turut runtuh.

 

Dosa asal pada dasarnya tidak berarti dosa pribadi yang membuat seseorang tetap berada pada posisi yang salah sejak lahirnya. Tidak ada ayat Kitab Suci atau ajaran Gereja yang menyinggung dosa asal sebagai pewarisan dosa pribadi. Nabi Ezekiel memprotes melawan pendapat demikian di%2usalam bab 18. Yesus juga memiliki pendirian yang tidak berbeda dengan pandangan Daniel (Yoh 9,2-3: Mat 16,27).

 

2. Salib dan Penebusan

 

Iman akan penebusan melalui sengsara salib ternyata membangkitkan sejumlah pertanyaan yang kurang masuk akal dalam konteks orientasi hidup beriman, misalnya: tuduhan akan glorifikasi penderitaan (Dolorisme) yang hanya mempunyai batas yang tipis dengan masokhisme, atau tuduhan akan idealisme terhadap ketaatan buta, yakni sebuah mentalitas yang bermuara seutuhnya pada keadilan Allah; atau tuduhan menganuti sikap yang mendukung kehausan terhadap mekanisme ganti-rugi melalui derita hukuman yang ditanggung secara bebas baik oleh diri orang yang bersangkutan maupun oleh seorang pengganti. Perjuangan seorang pemimpin revolusi misalnya, yang bertarung dalam sebuah sangketa sakral demi menegakan keadilan dan pembebasan pengikutnya, bisa dimasukan ke dalam kategori di atas. Sampai di sini kita sudah diingatkan kembali akan kebenaran hakikiki iman Kristiani.

 

2.1 Salib Sebagai Konsekuensi Hidup Yesus

 

Pertama-tama, hidup Yesus itu berdaya membebaskan dan menebus. Akan tetapi dalam hidupNya, Yesus dihadapkan kepada situasi-situasi yang tidak mudah, ketika Dia disalahpahami oleh karena sikap internalNya yang bebas berhadapan dengan hukum agama Yahudi di jamanNya yang ketat (bdk Mat 11,28: 23,4: Luk 11,46), dan di lain pihak oleh karena keberanianNya yang solid dalam mewartakan Allah sebagai Bapa yang mencintai semua orang tanpa syarat. Sikap Yesus dalam kedua aspek ini justru menjadikanNya musuh dari para pemimpin agama bangsaNya sendiri. Para pemimpin ini bersekongkol dengan kaum sakit hati (oleh karena Yesus) untuk membunuh Yesus. Mereka menyerahkanNya ke dalam kedaulatan Romawi untuk membunuNya melalui cara penyiksaan klasik yang brutal tetapi legal, yakni melalui penyaliban. KematianNya dipandang sebagai konsequensi internal dari apa yang diimani dan diwartakan selama hidupNya.

 

Kematian Yesus di Salib dijadikan oleh para musuhNya untuk membenarkan dugaan dan tudingan bahwa Yesus memang bersalah, karena kalau seandainya Dia benar, maka Allah tidak akan pernah membiarkanNya dalam penderitaan seberat itu. Para Murid Yesus pun mengalami kekecewaan luar biasa karena bayangan mereka akan kehadiran Kerajaan Surga dalam Yesus sungguh terbalik. Seolah-olah mereka berkesimpulan bahwa Allah tampannya sungguh-sungguh lain dari yang diwartakan oleh Yesus selama ini.

 

Toh para Murid tidak membiarkan diri terikat oleh belenggu kekecewaan. Mereka sebaliknya percaya kepada Yesus secara baru bahwa di atas segala peristiwa itu, Yesus tetap sebagai Pewahyu dari Allah, justru semata-mata karena mata iman mereka dibuka dan mereka mampu melihat Yesus yang tersalib dengan mata baru. Hal ini membangkitkan motivasi baru dalam diri para Murid tersebut untuk mengikutiNya dengan semangat baru pula.

 

Kematian Yesus di Salib hendaknya tidak dilihat sebagai bukti pembenaran kesalahan Yesus karena sudah mewartakan Allah yang mencintai semua orang dan menuntut sikap manusia yang cocok di hadapan Allah Maha Kasih. Tentang ini Erhard Kunz SJ menulis:

 

“Orang bisa juga memahami kematian Yesus (di kayu salib) sebagai sebuah konsequensi internal dan paling dalam dari kasih yang diwartakanNya sehingga terbukti bahwa kabar gembira yang ingin diwartakan oleh Yesus bukanlah sebuah penipuan, melainkan sungguh-sungguh merupakan penerapan kasih atas cara baru. Ketika seseorang mengasihi dan melakukan kebaikan terhadap orang lain tanpa syarat apa pun, dia tetap tinggal pada mereka dalam setiap situasi. Entah dalam situasi suka atau duka, dia tetap mengasihi mereka. Siapa yang mencintai dalam roh Yesus, dia tidak enggan menderita dan tidak berlari dari kesengsaraan, melainkan turut mengambil bagian dalam penderitaan Yesus sehingga dia betul-betul turut menderita. Dalam sebuah dunia yang ditandai oleh kemelaratan dan kesengsaraan, kasih adalah jawaban yang tepat (bdk Luk 10,30-37). Kasih tidak begitu saja lenyap dari hati seseorang ketika jatuh ke dalam pencobaan. Kasih justru mengangkatnya kembali karena kasih melampau melawan kejahatan dan mampu untuk mendatangkan kehidupan melalui perbuatan baik.

Ketika kasih menanggung ketidakadilan dan kekerasan tanpa merasa diri disakiti kasih tersebut bisa mematahkan rantai kekerasan yang berpegang pada prinsip pembalasan (mata ganti mata). Kejahatan dengan sendirinya mati ketika kasih yang tidak membalas dendam itu dilukai. Melalui cara ini kasih menang di atas kejahatan. Dalam sebuah dunia, yang ditandai dengan kejahatan, kasih yang demikian membawa seseorang kepada sebuah penderirtaan oleh karena kejahatan yang tidak adil, bahkan kepada sebuah kematian yang tidak adil pula (bdk. Mat 5,38-48).

Jika Yesus mau mewartakan Allah dalam sebuah dunia kejahatan sebagai Allah yang mencintai tanpa syarat dan tanpa batas, maka Yesus tidak bisa mengelak dari situasi penderitaan oleh karena sebuah kejahatan yang tidak adil. Pengalaman situasi nestapa dan kekerasan bukan merupakan alasan yang melawan tujuan dasar Yesus melainkan merupakan jalan untuk menunjukkan bagaimana kasih itu bisa berdayaguna dalam dunia penuh kekerasan. Kebaikan yang lahir dari kasih hanya bisa diraih dan dialami melalui kemampuan untuk berkanjang dalam penderitaan dan menerima penderitaan itu. Hanya kalau biji sesawi jatuh ke dalam tanah dan mati, dia bisa membawa buah (Yoh 12,24). Dari perspektif ini dapat dikatakan bahwa kematian Yesus di salib tidak merupakan sebuah akhir yang fatal sehingga segala sesuatu yang telah dilakukan dan diwartakanNya dianggap sebuah penipuan, melainkan merupakan sebuah pemenuhan internal oleh Yesus. Dalam penderitaan dan kematianNya Yesus mencintai hingga saat terakhir (Yoh 13,1)”(4)

 

2.2 Kebangkitan Yesus sendiri sudah memberikan makna penebusan terhadap kematian Yesus

 

Melalui pembangkitan Yesus dari alam maut, Allah sekaligus memberikan penekanan khusus terhadap makna internal akan kehidupan dan kematian Yesus. Dengan membangkitkanNya, Allah mau menghadirkan Yesus melalui RohNya sepanjang sejarah hidup manusia. Dengan demikian manusia pun merasa bahwa kehidupan dan kematian Yesus bukan sebuah cerita masa lalu, melainkan sesuatu yang berkaitan erat dengan kehidupan manusia sepanjang sejarah. Oleh karena Yesus yang bangkit hidup dalam Allah, maka Dia terus menjadi contoh nyata akan kasih Allah yang tidak pernah berlalu. Sebagai Tuhan yang bangkit, Yesus memiliki kuasa untuk membebaskan manusia dari dosa dan kematian. Dengan demikian, setiap orang yang menerima Yesus dan masuk ke dalam cara hidupNya, bisa diselamatkan. Semua yang setia terhadap kebenaran yang datang dari Allah melalui Yesus, mengasihi semua orang sebagai saudara dan saudari serta rela mengampuni musuh tanpa syarat dan sekaligus mengambil bagian dalam keselamatan Allah. Melalui cara ini, pelaku kejahatan dan korban bersama-sama memutuskan rantai kebencian yang membelenggu dan menghamba mereka. Dengan kata lain, dengan membangkitkan Yesus dari alam maut, Allah memaklumkan kasih sebagai pemenang atas kebencian.

 

Yesus adalah Tuhan, Penebus dan Penyelamat melalui kebangkitan, di mana contoh hidup dan kematianNya mengalami transformasi makna menuju sebuah kekuatan real yang membebaskan belenggu perhambaan manusia dan sekaligus memberikan kemungkinan kepada manusia untuk masuk ke dalam kalangan anak-anak Allah.

 

Oleh sebab itu kita boleh berkata bersama Kitab Suci: Yesus wafat bukan hanya karena dosa-dosa manusia, nafsu egoisme, kebencian yang merajalela, melainkan untuk kita orang-orang berdosa. Dia membuka jalan menuju pembebasan dari dosa-dosa agar manusia bisa menerima kekuatan dan rahmat menuju pembebasan yang kekal.

 

2.3 Refleksi Kristiani Perdana Tentang Hidup dan Kematian Yesus

 

Para murid Yesus, baik laki-laki maupun wanita, sangat merasa terpukau oleh peristiwa kebangkitan Yesus. Pemikiran yang mengganjal mereka setelah kematian Yesus, bahwa nabi agung ini sudah gagal, ternyata lenyap seketika, ketika Yesus hadir kembali di antara mereka sebagai Dia yang bangkit. Para murid menjadi saksi kebangkitan dan dengan gembira pergi mewartakan Yesus sebagai Tuhan dan Penebus. Tentu saja mereka juga berusaha untuk meneliti dan mencari alasan kematian Yesus yang dinilai oleh mereka sebagai sebuah skandal. Dalam upaya penelitian itu, para murid menggunakan bingkai pemikiran tertentu yang mengikuti kebiasaan Alkitab. Demikianlah diangkat tema-tema berikut: tentang saksi perdana, atau seorang martir yang menumpahkan darah karena setia terhadap pengutusan yang diberikan oleh Bapa (Yoh 10,18; 18,37; bdk. Kis 1,5; 3,14). Tema lain adalah Hamba yang menderita, yang wafat karena dosa-dosa bangsanya (Yes 50,5-8; 53,1-12). Atau tema lain tentang Penebus: Dialah Yahwe, gō’ēl, yang menebus bangsaNya ketika Dia membebaskan mereka dari perhambaan di Mesir. Dia membebaskan mereka sebagai kaumNya sendiri (Kel 6,6-8; bdk. 2 Sam 7,23 dst.; Yer 31,32). Dan yang terakhir adalah tema korban spiritual. Dia mengorbankan diriNya sendiri dan dengan itu Dia dengan sukarela merangkul para korban yang tidak bersalah (Ibr 7,27; 9,12.26.28; 10,10.12-14; bdk. Rom 6,10; 1 Ptr 3,18).

 

Berdasarkan teologi di atas, perlu dicatat beberapa hal yakni: karya penyelamatan yang memuat karakter beban (teori hukuman), kenyataan bahw Yesus menanggung dosa-dosa manusia dan wafat bagi para pendosa (teori substitusi), manusia mengambil bagian dalam penebusanNya (teori jasa), penyerahan diri Yesus secara bebas (teori korban). Barangkali segelintir orang ingin menghilangkan karakter hukum dari dimensi-dimensi hidup Yesus, akan tetapi dimensi kematian Yesus di salib tidak boleh dipisahkan dari hidup dan kebangkitanNya.

 

Upaya umat Kristiani perdana untuk lebih memperjelas kematian Yesus di dalam terang kebangkitan-Nya menemukan jejak di dalam berbagai teks Kitab Suci Perjanjian Baru. Kosa kata-kosa kata tradisi Kristiani yang berkembang dari refleksi ini, yakni dari bahasa Ibrani kepada bahasa Yunani, Latin dan bahasa-bahasa lain serta konteks budaya masing-masing adalah seperti Martirium, Penebusan, penyelamatan, upah dosa, korban, pemulihan kembali dan substitusi.

 

2.4 Teologi Penebusan

 

Yang menggembirakan di dalam konteks ini, sekalipun sebagiannya terlepas dari biblisnya, bahwa Teologi-teologi Penebusan sudah memperdayakan konteks-konteks budaya zamannya dengan penekanan khusus pada kategori-kategori legal yang sangat penting untuk dunia Latin. Atas cara ini berkembanglah:

 

1. Teori hukuman (Bapa-bapa Gereja Latin seperti Agustinus): Dosa menuntut pembalasan hukum yang „setimpal“ dengan kesalahan itu. Kristus menerima hukuman dosa dan menebus kita umat manusia dengan mengimbangi hukuman dosa yang kurang lebih setimpal dengan keadilan Allah. Beberapa Bapa Gereja berjalan lebih jauh dan berpendapat bahwa Kristus membayar imbalan kepada setan yang sudah merampas tempat di dalam diri manusia melalui dosa yang dilakukannya.

 

2. Teori substitusi atau pencukupan (dari Tertullian berkaitan dengan hukum Romawi dan Santo Anselm dari Canterbury dengan kaitannya pada hukum German). Dikatakan, oleh karena Allah itu tiada akhir, kelalaian manusia menuntut pembalasan tiada akhir pula. Manusia yang terbatas pada dasarnya tidak mampu untuk melakukan pembalasan yang bersifat demikian. Oleh karena itu Allah, di dalam kasih-Nya, menyediakan seorang „Perantara“ dengan menggantikan (mensubstitusi) manusia yang bersalah dengan Putera-Nya Yesus Kristus. Atas cara ini, Putera (Yesus Kristus) dapat mengimbangi keadilan Allah.

 

3. Di Abad Pertengahan, teolog-teolog besar seperti Thomas Aquinas lebih mengutamakan „rencana cinta“ di dalam bingkai penebusan. Allah sebenarnya bisa menebus dosa manusia secara langsung. Akan tetapi cara penebusan semudah itu akan membangkitkan kesan bahwa Allah tidak terlalu bernilai bagi manusia. Allah ingin membiarkan manusia mengalami keselamatan dan penebusan pertama-tama melalui Kristus yang sungguh manusia kemudian di dalam diri setiap manusia yang ditebus. Setiap manusia yang diangkat-Nya secara „luar biasa“ oleh karena Rahmat-Nya menuju kehidupan dalam Yesus, melalui iman dan pertobatan, melalui kehidupan dan kematian-Nya dalam ketaatan, bisa turut berpartisipasi di dalam pemenuhan karya penebusan-Nya.

 

Dari teologi-teologi ini hendaknya dipegang teguh beberapa point penting berikut: pertama, adanya upaya pengambilalihan karakter beban dosa di dalam proses penebusan (teori hukum), kedua, Yesus Kristus menerima seorang pendosa dan menanggung semua akibat dosanya (teori substitusi), ketiga, manusia mengambil bagian di dalam penebusan (jasa) dan keempat, penyerahan diri Kristus secara total (korban). Dimensi yuris-formel bisa dilepaskan. Akan tetapi harus selalu diingat bahwa kematian Yesus tidak boleh dipisahkan dari hidup dan kebangkitan-Nya.

 

IV. Kristiani Menjawab

 

Dosa asal bukan merupakan dosa atau kesalahan pribadi yang diwarisi dari Adam. Yang dimaksudkan dengan dosa asal adalah sebuah situasi kesalahan yang umum yang meraja di dunia karena dosa dan yang melekat dalam kecenderungan setiap manusia sejak lahir. Dosa pada dasarnya adalah sebuah perbuatan pribadi, dan setiap orang harus bertanggungjawab secara pribadi pula. Tetapi pada saat yang sama tak seorang pun tidak bisa mengabaikan keterlekatannya dengan kecenderungan kepada kejahatan dengan segala pengaruhnya yang bisa menjatuhkan manusia. Dosa memiliki juga dimensi sosial. Dosa juga memberikan peluang kepada kejahatan dalam dunia.

 

Kematian Yesus di salib adalah sebuah fakta historis yang tidak bisa dinegasi dengan argumen-argumen sebaik apapun. Yang dimaksudkan adalah argumen-argumen yang dibawa oleh al-Qur’ān yang tidak bisa diterima begitu saja oleh orang Kristiani, karena mereka percaya bahwa Allah bisa melakukan segalanya untuk memenuhi ramalan (para nabi) sebelumnya. Jadi menurut iman Kristiani Allah tidak menutup sejarah keselamatan dengan kematian PuteraNya tetapi membangkitkan Dia dari alam maut dan mentransformasi kematianNya ke dalam kemuliaan kekal.

 

Selain itu Allah tidak meyerahkan Yesus kepada drama sebuah proses kematian seperti sebuah cerita hasil rekayasa seorang sutradara, di mana para pelakon memainkan perannya secara terencana. Yesus dijatuhi hukuman mati oleh karena sikapNya yang jelas dan kadang bertolakbelakang dengan pola iman dan sikap bangsaNya terhadap Allah dan terhadap hukum. Dia menjadi korban kekuasaan yang jahat, yakni kebencian, ketidakadilan, irihati dan egoisme. Ini semua adalah kekuatan-kekuatan jahat yang masih merajalela di dunia.

 

Konsili Vatikan II dengan lugas mengatakan bahwa dosa-dosa dunia inilah yang bertanggungjawab terhadap kematian Yesus. Konsili menolak untuk meletakan tuduhan pembunuhan Yesus ke pundak orang-orang Yahudi dan kepada bangsa seluruhnya.

 

Penebusan dalam dan melalui Yesus tidak dimengerti sebagai upaya halus dari Allah sendiri sebagai Allah yang suka membalas dendam untuk memulihkan nama baikNya yang sudah terluka oleh manusia. Kekhasan makna penebusan terletak dalam kenyataan ini, bahwa dalam hidup, kematian dan kebangkitanNya, Yesus tidak putus-putusnya dan secara tegas mewartakan kasih Allah yang penuh kerahiman dan senantiasa mau mengampuni. Melalui contoh penyerahan diri bagi mereka yang dikasihiNya (bdk. kata Arab al-fidā’, yang diterjemahkan di wilayah Arab Timur dengan ”penebusan”). Yesus membawa manusia kepada persekutuan hidup dengan Allah dan membuka ruang hidup dalam kasih.

______________________________________________________________

  • (4) Geist und Leben , 46 (1973) 81-85. Kutipan ini dari hal. 82.

_________________________________________________________

Penerjemah: Dr. Markus Solo Kewuta

Kontak

J. Prof. Dr. T. Specker,
Prof. Dr. Christian W. Troll,

Kolleg Sankt Georgen
Offenbacher Landstr. 224
D-60599 Frankfurt
Mail: fragen[ät]antwortenanmuslime.com

More about the authors?