German
English
Turkish
French
Italian
Spanish
Russian
Indonesian
Urdu
Arabic
Persian

Allah Tritunggal

I. Muslim Bertanya

 

  • Apakah kalian betul-betul penganut monotheisme (muwahhidūn)?
  • Apakah kalian percaya akan tiga Allah?
  • Siapakah Allah-Allah itu?
  • Bagaimana bisa Allah diberi nama Bapa dan Putera?

 

II. Pandangan Muslim

 

Pandangan Umum

 

1. Titik pusat ajaran Islam adalah monotheisme (percaya akan Allah yang Esa). Bukti paling utama adalah sebuah Sura yang berbicara secara khusus tentang monotheisme:

 

”Katakanlah: ”Dia-lah Allah, Yang Maha Besar”. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (Sura al Ikhlash, 112).

 

2. Islam yakin sedalam-dalamnya bahwa Allah tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata manusia. ”Bapa” dan ”Putera” pada tempat pertama menunjukkan realitas kefanaan. Orang-orang Kristiani merasa biasa untuk membeerikan makna religius-spiritual terhadap kedua kata di atas sehingga hampir lupa akan arti real dari kedua kata tersebut.

 

3. Penjelasan teologis tentang Trinitas melalui istilah kodrat/natura (tabï’a) dan pribadi/persona (schakhs, uqnūm) tidak banyak membantu. Bahasa Arab untuk pribadi/persona menggunakan kata schakhs dasn merujuk pada sosok seorang manusia nyata. Kata uqnūm sebagai sebuah terminus technikus dalam khasanah teologi Dogmatik kalau dipandang dari segi bahasa Arab tidak lazim untuk orang-orang Arab dewasa ini.

 

4. Al-Qur’ān memahami ajarana Trinitas Kristiani sebagai sebuah paham Tritheisme (ajaran tentang keyakinan akan tiga Allah). Orang-orang Kristiani tidak mengikuti Yesus dalam hal menyebut Allah karena mereka mengatakan bahwa Allah, Yesus dan Maria adalah satu-kesatuan Ilahi (Trinitas):

 

”Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: ”Hai ’Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: ”Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?”. ’Isa menjawab: ”Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib” (Sura 5,116).

 

5. Al-Qur’ān tidak menyinggung apa-apa tentang Roh Kudus sebagai pribadi ke-tiga dari Allah menurut ajaran Kristiani.

 

Pandangan Khusus

 

1. Al-Qur’ān menyebut orang Kristiani dan Yahudi sebagai ”Ahli Kitab” (ahl al-kitāb). Toh sebagian ayat al-Qur’ān tidak menyebut dengan jelas, entahkah orang-orang Kristiani itu penganut monotheisme (Sura 2,62;3,110-115;4,55;5,69.8…), entah orang-orang kafir (kuffūr, Sura 5,17.72-73;9,30) atau sebagai ”orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan seseorang atau sesuatu barang ciptaan lain” (muschrikūn, Sura 5,72;9,31).

 

2. Al-Qur’ān mengklaim bahwa orang Kristiani menyebut Allah itu tiga (thalātha, Sura 4,171). Orang-orang Kristiani berkata: ”Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga” (Sura 5,73) dengan memasukkan Yesus dan Maria ke dalam triade ini (Sura 5,116).(14) Orang-orang Kristiani berkata: Yesus adalah Allah (Sura 5,72.116) atau Putera Allah (Sura 9,30: ibn; Sura 19,34-35: walad), toh dalam kenyataannya Allah yang esa itu ”tiada beranak dan tiada pula diperanakkan…” (Sura 112,3:lam yalid wa lam yūlad).

 

3. Pada Ekseget dan Teolog Islam memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang konsep Allah yang dianuti oleh orang-orang Kristiani. Fakhr al-din Rāzi (1149-1209), seorang dari para Ekseget al-Qur’ān periode klasik, berpendapat bahwa tidak seorang Kristiani pun di zamannya sepakat bahwa Maria termasuk di dalam Trinitas dan juga pendapat al-Qur’ān tentang Trinitas dinilainya mewakili pendapat sebuah sekte yang sebenarnya sudah punah. Banyak pemikir modern sepakat dengan pendapat al-Rāzi.

 

4. Segelintir Teolog Islam juga mewakili pandangan tentang Trinitas yang ternyata sangat positip dan mudah dipahami. Bahkan sebagian dari mereka mengakui bahwa agama Kristiani adalah sebuah bentuk sejati dari monotheisme. Toh pandangan umum umat Muslim tetap menerima bahwa orang-orang Kristiani adalah Tritheis (penganut iman akan tiga Allah).

 

III. Pandangan Kristiani

 

1. Siapa itu Allah?

 

Orang-orang Kristiani adalah penganut monotheisme, dan adalah tugas serta kewajiban setiap orang Kristiani untuk menjaga tradisi monotheisme ini yang diterima dari warisan iman bangsa Israel. Allah itu Esa. Di dalam bingkai ini orang-orang Kristiani percaya bahwa Allah mewahyukan diri sebagai Tuhan dan Penenbus dalam dan melalui Yesus Kristus. Ini mengandaikan bahwa Allah membuat diri-Nya hadir dan transparan dalam Yesus Kristus tanpa harus mengalami peleburan diri. Dalam diri Yesus, sisi kemanusiaan-Nya tidak mengabsorbsi (menyerap) ke-Ilahian Allah, dan sisi ke-Ilahian dalam diri Yesus tidak juga membatalkan dimensi kemanusiaan-Nya. Sudah sejak awal kekristenan, topik ini menjadi bahan permenungan para Teolog dan juga merupakan pengalaman spiritual orang-orang Kristiani perdana dan kemudian membuahkan dogma tentang Trinitas. Bagi orang Kristiani, Kabar Gembira (Injil) yang diterima dari Yesus Kristus tidak saja menyampaikan bahwa Allah itu ada dan berjumlah satu, tetapi lebih dari itu Injil mau mengatakan siapa itu Allah bagi manusia. Yesus menghantar para murid-Nya kepada pengetahuan dan pengalaman akan Allah yang Maha Kasih dan kepada persekutuan dengan-Nya:

 

”Setelah berulang kali dan dengan pelbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para nabi, ”Akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera” (Ibr 1,1-2). Sebab Ia mengutus Purtera-Nya, yakni Sabda kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal di tengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh 1,1-18).

Maka Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai ”manusia kepada manusia”, ”menyampaikan sabda Allah” (Yoh 3,34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahakan oeh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh 5,36; 17,4). Oleh karena itu Dia – barangsispa meihat Dia, melihat Bapa juga (lih. Yoh 14,9 – dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, dan meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai ktia, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi hidup kekal” (Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi: Dei Verbum, 4).

 

2. Bapa – Putera

 

Ditopang oleh tindakan/perbuatan-Nya, kata-kata dan tingkah laku Yesus juga menjadi dasar utama yang digunakan oleh para saksi perdana yang terinspirasi (para rasul dan ke-4 Penginjil) untuk mendefinisikan relasi Yesus yang khusus dan intim dengan Dia yang senantiasa disapa Bapa, Abba dalam doa dan kesaksian-Nya. Dalam perbuatan-perbuatan Yesus, mereka melihat bahwa Dia sungguh-sungguh memiliki kekuasaan Ilahi yang ditunjukkan misalnya lewat kuasa pengampunan dosa.

 

Dari pengalaman kesaksian iman langsung ini mereka sepakat bahwa dalam diri Allah yang Esa itu terdapat klasifikasi: Asal dan sumber dari segala sesuatu yang ada dan hidup (Bapa) dan Dia, kepada-Nya Sumber dari segala sesuatu ini menyalurkan hidup, dan hadir sebelum segala sesuatu diciptakan (Putera). Putera berasal dari Bapa dan relasi antara kedua-Nya diwarnai oleh penyerahan diri yang total dari Putera kepada Bapa dan dalam ikatan kasih sejati dari Putera. Putera (Yesus Kristus) tidak berada melalui diriNya sendiri melainkan berasal dari Bapa yang mempercayakan kepada-Nya segala sesuatu, karena Dia adalah Putera Tunggal Bapa. Dia tampil sebagai pantulan sempurna dari Bapa, serupa dengan-Nya, tetapi menerima segala sesuatu dari Bapa. Pemahaman akan kata Yunani klasik ”Sabda” (Logos) juga memberikan kontribusi khusus, yakni menjelaskan hakikat ”relasi Bapa-Putera” dalam Allah. Kata ”Logos” lahir dari intelek untuk menjelaskan hakikat intelek itu sendiri. Logos itu berbeda dari intelek tetapi intelek memanifestasikan logos sebagai yang identik dengan dirinya. Itulah Sabda yang menjadi daging (manusia) dalam Yesus dari Nasareth melalui kuasa Allah.

 

3. Melalui Sabda dan Roh

 

Sabda – Putera lahir dari Bapa dan melalui-Nya Allah Bapa menciptakan dunia, karena ”Sabda itu bersama-sama dengan-Nya” (bdk. Prolog Injil Yohanes) dan dalam Allah Bapa, Sabda itu berdayaguna. Sabda membuat segala sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Oleh karena itu dalam setiap ciptaanNya, manusia bisa mengenal kehadiran Sabda Allah (para Bapak Gereja dari masa awal kekristenan menyebutnya ”Benih Sabda”). Proses penciptaan dunia dan isinya menemukan titik kulminasi dalam manusia yang diciptakan ”seturut citra Allah” (Kej 1,27). Di sini manusia mencapai kesempurnaannya karena didekatkan oleh Allah kepada diriNya melalui kemiripan dengan-Nya. Hal ini hanya dimungkinkan oleh Sabda Allah. Melalui Yesus manusia bisa masuk ke dalam relasi yang sesungguhnya dengan Allah Bapa, sumber kehidupan Yusus. Pemulihan hubungan kembali dengan Allah yang terjadi semata-mata oleh karena inisiatip bebas-Nya, adalah karya Roh Kudus. Roh ini berkarya juga di dalam diri manusia yang digerakkan oleh Allah sendiri (seperti juga Roh Kudus di dalam diri Yesus). Roh kasih Allah adalah prinsip dasar relasi antara Putera dengan Bapa dan sekaligus prinsip dasar kasih persaudaraan antar sesama manusia dan demi kasih ini pula umat manusia diciptakan-Nya. Rasul Paulus mengatakan bahwa melalui Roh Kudus ini pula kita boleh menyebut Allah ”Abba” (Gal 4,6). Dengan demikian kita ”diadopsi menjadi anak-anak Allah”. Kita hidup ”dengan, melalui dan dalam Yesus” (bdk. Doksologi Perayaan Ekaristi).

 

4. Bapa – Putera – Roh Kudus

 

Roh Kudus adalah Pribadi Ketiga dalam Allah. Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama Roh sudah sering disebut sebagai kuasa Allah yang berdaya menciptakan dan sebagai ”Nafas hidup” (ruah dalam bahasa Ibrani, rūh dalam bahasa Arab). Roh yang sama menginspirasi para nabi dan juga menghantar umat Israel keluar dari perbudakan di Mesir. Roh ini pula mengorientasikan intelek umat Israel kepada pengenalan Allah yang benar, membimbing sejarahnya sehingga umat Israel selalu berjalan dalam kehendak Allah. Melalui RohNya, Allah tetap berada dalam relasi yang hidup dengan manusia ciptaan-Nya, dan ciptaan-Nya pun senantiasa membuka diri untuk karya keselamatan dari Allah. Yesus sendiri mengkonfirmasi wahyu ini; pertama-tama dalam pribadiNya sendiri, karena Dia ”lahir dari Allah Roh Kudus”, dalamnya dimensi kemanusaan dan dimensi ke-Ilahian-Nya bersatu secara utuh. Dalam Roh pula Dia menjadi ”Anak Allah”, dan dalam Roh Kudus pula Yesus menemukan sumber segala kekuatan, kata dan perbuatan-Nya (bdk. Injil Lukas). Tetapi Yesus juga mengatakan kepada kita bahwa Roh Kudus pulalah yang merupakan landasan utama dari persekutuan-Nya dengan Bapa dan yang menjadikan mereka satu.

 

Relasi semacam ini tidak lain dan tidak bukan adalah relasi Ilahi dan hanya Allah sendiri yang bisa mempersekutukan diriNya dengan Allah. Roh ini memiliki kodrat yang serupa dengan kodrat Allah Bapa dan Allah Putera. Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri. Roh Kudus pula adalah ikatan persekutuan dalam Allah sendiri, prinsip utama persekutuan Allah. Saling mengasihi antara Bapa dan Putera bukan saja merupakan sifat Ilahi, melainkan Allah itu sendiri karena Allah adalah Kasih. Di sini sebuah doa tua dari zaman kekristenan perdana mengalami pembenaran: ”Kepada Bapa melalui Putera dalam Roh Kudus.” Kami berpaling kepada ”Sumber” kehidupan kami melalui ”Yesus” yang kami teladani dalam ”Roh” yang Yesus curahkan kepada kami ketika dipermandikan dan Yesus pulalah yang menghantar kami kembali kepada Allah Bapa, di mana kami semua adalah ”anak-anak angkatNya”.

 

5. Persekutuan Kasih

 

Roh Kudus memainkan peran sebagai ”Hukum internal” yang mengatur hidup orang Kristiani di atas jalan Allah. Roh ini menghidupkan Yesus. Dia juga menghidupkan kita. Dengan demikian segenap ciptaan dipanggil untuk masuk ke dalam persekutuan kasih Allah yang adalah Allah itu sendiri. Roh diberikan kepada manusia supaya mereka menjadi alat-alat perdamaian yang universal dan yang berdaya menciptakan, yakni perdamaian antara manusia dengan Allah dan perdamaian antar umat manusia. Persekutuan adalah awal dan tujuan segala karya Allah karena persekutuan ini ada dalam diri Allah sendiri. Tetapi berbeda dengan pandangan Muslim, kita percaya bahwa persekutuan ini adalah sebuah kesatuan dalam relasi yang semata-mata didasari atas kasih.

 

”Dalam tugasnya mengembangkan kesatuan dan cinta kasih antar manusia, bahkan antara bangsa, Gereja di sini terutama mempertimbangkan manakan hal-hal yang pada umumnya terdapat pada bangsa manusia, dan yang mendorong semua untuk bersama-sama menghadapi situasi sekarang.

Sebab semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi. Semua juga mempunyai satu tujuan terahkir, yakni Allah, yang penyelenggaraan-Nya, bukti-bukti kebaikan-Nya dan rencaran penyelamatan-nya meliputi semua orang, sampai para terpilih di persekutuan dalam Kota suci, yang akan direangi oleh kemuliaan Allah; di sana bangsa-bangsa akan berjalan dalam cahaya-Nya.

Dari pelbagai agama manusia mengharapkan jawaban tentang teka-teki deadaan manusiawi yang tersembunyi, seperti di masa silam, begitu pula sekarang menyentuh hati manusia secara mendalam; apakah manusia itu? Apakah makna dan tujuan hidup kita? Apa yang baik dan apakah dosa itu? Darimanakah asal penderitaan dan manakah tujuannya? Manakah jalan untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati? Apakah arti maut, pengadilan dan pembalasan sesudah mati? Akhirnya Misteri terakhir dan tak terperikan itu, yang merangkum keberadaan kita, dan menjadi asal serta tujuan kita?” (Konsili Vatiakan II, Pernyataan Tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani, Nostra Aetate, Nr.1).

 

6. Tritunggal

 

Tritunggal Allah adalah suatu hal mendasar dalam iman Kristiani. Kepercayaan akan Allah Tritunggal sekaligus membatalkan segala jenis penyembahan berhala karena Allah adalah Esa dan Dia menggerakkan hati manusia untuk menyembah Dia, Allah yang benar dan hidup. Lebih dari itu Tritunggal adalah sumber persatuan seluruh umat manusia yang juga terpanggil untuk masuk ke dalam persekutuan Ilahi melalui Roh Kudus.

 

”Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu. Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku sebab Aku hidup dan kamu pun akan hidup. Pada waktu itulah kamu akan tahu bahwa Aku di dalam BapaKu dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Barang siapa memegang perintahKu dan melakukanNya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barang siapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh BapaKu dan aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diriKu kepadanya. Yudas, yang bukan Iskariot berkata kepadaNya… Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti FirmanKu dan BapaKu akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia. Barang siapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti FirmanKu; dan firman yang kamu dengar itu bukanlah daripadaKu melainkan dari Bapa yang mengutus Aku” (Yoh 14,15-24).

 

Melalui permandian orang-orang Kristiani diangkat dalam Roh menjadi anggota-anggota tubuh mistik Kristus (Gereja). Di dalam tubuh Kristus ini orang-orang Kristiani melanjutkan karya misi Kristus, yakni untuk membebaskan manusia-manusia yang dibelenggu oleh kuasa maut. Ketika orang-orang yang percaya kepadaNya dan masuk ke dalam ”TubuhNya”, mereka juga sekaligus masuk ke dalam kehidupan kekal yakni persekutuan yang erat dengan Allah. Mereka menerima kehidupan kekal ini sebagai ”karunia”, yang adalah diri Yesus sendiri dan berusaha untuk hidup dari diriNya. Untuk itu mereka harus berkanjang dalam penyebaran misteri Allah dan membiarkan diri untuk senantiasa dipimpin oleh Roh Kudus.

 

”Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus turun-temurun sampai selama-lamanya” (Ef 3,20-21).

 

7. Sejarah Timbulnya Ajaran Tentang Allah Tritunggal

 

Adalah penting untuk pertama-tama mengulas timbulnya ajaran Trinitas agar mengenal perbedaan antara isi dan pengaruh budaya terhadap dogma ini.

 

1. Yesus adalah bagian dari umat Israel yang terpilih. Yesus sangat menyatu dengan roh Monotheisme yang konsekuent pada jaman-Nya (Mrk. 12,28-34). Kitab Suci selalu berbicara tentang kecemburuan Allah yang Esa dalam kaitannya dengan kehadiran allah-allah palsu. Yesus tidak pernah mengatakan bahwa Ia adalah Allah, tetapi menamakan diri-Nya „Anak Allah“ (Yoh. 10,36) atau „Putera“ (bdk. Mat. 11,27). Ia mengisyaratkan akan asal-usul-Nya yang ilahi ketika menggunakan titular „Putera Manusia“ untuk diri-Nya yang merujuk pada visi Nabi Daniel (Dan. 7). Yang menjadi hal fundamental di sini adalah bahwa Yesus hidup dalam sebuah hubungan khusus dengan Allah yang Esa, yang dipanggil-Nya dengan sebutan „Abba“ (Bapa). Titel „Putera Allah“ dan „Mesias“ pada zaman Yesus sesungguhnya merupakan hal langka dan asing, apalagi dikenakan oleh Yesus sendiri untuk diri-Nya. Yesus juga jarang berbicara tentang Roh Kudus kecuali di dalam Mrk. 3, 28-30. Sekalipun demikian Ia hidup secara sangat intensif di dalam kekuatan Roh.

 

2. Baru setelah sengsara, kematian dan kebangkitan Yesus, para Rasul memahami arti segala sesuatu yang sudah dialami bersama-Nya oleh karena sebuah inspirasi “khusus”. Berdasarkan ini, para Rasul tiba kepada kepercayaan bahwa Kristus, Mesias, yang hidup karena bangkit dari alam maut itu identik dengan Yesus dari Nasareth, dengan-Nya mereka telah hidup bersama-sama dan pada akhirnya mereka melihat-Nya wafat pada kayu salib. Mereka berani mengakui bahwa Dialah Penyelamat dan Tuhan. Oleh karena Dia memiliki sebuah relasi khusus dengan Allah Bapa, sehingga Dia juga-lah Putera Allah. Justru di sini istilah “formulasi-formulasi trinitaris” akan lebih sering dipakai, juga penamaan “Putera Allah” menjadi semakin akrab. Istilah lain “Roh Allah” (Yunani: pneuma, artinya nafas ilahi) juga mulai digunakan, padahal kehadirannya sudah dialami oleh para Rasul secara sangat menakjubkan sebelum mereka mengenal namanya. Pengalaman ini menghantar mereka kepada pusat pengakuan iman Kristiani bahwa Allah adalah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Iman ini lahir dari realitas Yesus Kristus yang bangkit dan berakar dalam iman para Rasul.

 

3. Oleh karena heresi-heresi Kristologi yang berkembang marak di abad ke-3 dan ke-4, timbul kebutuhan untuk mengkonsolidasi iman akan ke-esa-an Allah dan sekaligus akan realitas Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus. Proses pematangan ajaran yang terjadi berangsur-angsur kemudian menghantar kepada formulasi yang dikeluarkan pada Konsili Lateran IV tahun 1215. Konsili ini menjelaskan bahwa kodrat ilahi Allah hanya satu tetapi pada saat yang sama terdiri dari tiga pribadi. Ketiganya mencakupi Bapa sebagai Asal yang tidak memiliki asal-usul; Putera yang memiliki asal-usul pada Allah Bapa sejak keabadian; dan Roh yang keluar dari keduanya di mana ketiga-tiganya adalah sebuah substansi yang sama(15).

 

IV. Kristiani Menjawab

 

1. Orang-orang Kristiani mengakui secara bulat bahwa Allah adalah satu dan esa. Teologi Kristiani klasik memegang teguh pernyataan ini: Bahwa dalam relasi dengan ciptaan-Nya, Allah berkarya sebagai yang satu dan esa.

 

2. Ketiga pribadi ini berkaitan erat, baik dengan karya keselamatan Allah dalam sejarah maupun dengan hidup internalnya tetapi tidak berpengaruh sedikitpun terhadap ke-esa-an-Nya. Kategori Matematika sekalipun tidak bisa menjelaskan realitas Allah.(16) Allah yang sama adalah Bapa, Allah yang sama adalah Putera dan Allah yang sama pula adalah Roh Kudus. Dalam Yesus Kristus, Allah sungguh menjadi manusia. Allah turut mengambil bagian dalam realitas penderitaan dan kematian. Nama-nama Allah di atas termasuk dalam wilayah inti eksistensi iman Kristiani dan menampakan separuh warisan iman yang sudah diturunkan sejak masa-masa awal Kekristenan. Trinitas Allah di atas hendaknya tidak dimengerti dalam konteks sebuah relasi seksual biologis sama seperti relasi manusiawi. Ketika umat Muslim menolak asumsi atau gagasan tentang aktus seksual di dalam relasi Trinitas ini maka dalam hal ini orang Kristiani sepaham dengan umat Islam(17).

 

Ketidaksetujuan umat Muslim terhadap penggunaan istilah Bapa untuk Allah bisa membantu orang Kristiani untuk tetap setia pada karakter metaforis istilah-istilah yang digunakan untuk Allah dan mendalaminya secara sadar. Juga untuk agama Kristiani, Allah tetap Dia yang tidak bisa dijelaskan dengan cara apapun. Dengan ungkapan lain, orang Kristiani menggunakan istilah „Bapa“ dan „Putera“ dalam konteks pemahamannya yang lebih luas daripada pemahaman umat Islam. Allah yang satu dan sama disebut „Bapa“ karena Dia-lah sumber segala sesuatu yang ada. Dia juga adalah Putera karena dalam Yesus, Dia hidup secara sempurna dari sumber ini. Dia juga disebut Roh Kudus karena Dia membagi diri dengan ciptaan-Nya. Allah yang esa, yang sempurna dari diri-Nya sendiri, yang cukup dengan diri-Nya sendiri, yang Maha Agung, adalah Kasih, yang membagi diri-Nya dalam hubungan personal, yang saling memberi dan menerima dalam roh kasih. Dia adalah yang berada dalam tiga pribadi dan toh tetap Allah yang tunggal dan kekal.

 

3. Kalau ditanya mengenai istilah-istilah “Kodrat” dan “Pribadi”, hendaknya dijelaskan masing-masingnya dalam konteks sejarah. Dalam kaitannya dengan ini, bisa dijelaskan juga perbedaan antara pengertian kata “Pribadi” dalam pandangan modern dan pandangan teologi-filsafat klasik.

 

4. Allah hadir dalam tiga jenis keberadaan (ahwāl). Ini berkaitan dengan relasi-Nya dengan manusia dan dengan hubungan internal di antara ketiga Pribadi itu.18

 

5. Ada kegunaanya kalau menggunakan juga kategori-kategori pemikiran yang digunakan pada masa Islam klasik untuk mengungkapkan kekayaan Allah. Cara penjelasan seperti ini sama sekali tidak menyempitkan pemahaman akan ke-esa-an Allah (tawhïd) dalam Islam.

 

Di sini hendaknya diperhatikan dua titik pandang bahwa Pribadi-pribadi Ilahi dalam pemahaman Kristiani tidak identik dengan nama-nama Allah atau atribut-atributNya, seperti contoh Allah yang Maha Rahim, yang Maha Tahu, dll. Nama-nama dan atribut Allah hanya melukiskan kodrat Allah. Dalam pemahaman Kristiani, ketiga Pribadi Ilahi memiliki nama dan atribut-atribut yang sama. Nama-nama dan atribut-atribut itu tidak bisa dipakai untuk membedakan ketiga Pribadi Ilahi.

 

Umat Islam sering bertanya kepada umat Kristiani, mengapa orang Kristiani hanya memilih tiga nama untuk Allah (Bapa, Putera, Roh Kudus), padahal Allah memiliki banyak sekali nama indah. Di sini bisa dijelaskan bahwa nama Allah yang berjumlah banyak itu pada dasarnya hanya menjelaskan/melukiskan kodrat-Nya yang juga dalam pemahaman Kristiani diucapkan oleh Allah sendiri.

 

6. Penjelasan-penjelasan dengan menggunakan perumpamaan bisa merupakan sebuah metode yang baik. Perumpamaan atau metafor bisa menjelaskan bahwa sebuah istilah yang satu dan sama bisa juga mengungkapkan beberapa realitas. Misalnya „api“ adalah sebuah kata yang sering digunakan untuk sekaligus mengatakan bahwa dalam satu kata ini terdapat juga „nyala“, „bara“ dan „cahaya“. Atau contoh lain adalah „es, „air“ dan „uap“, adalah tiga unsur berbeda dari satu unsur saja.

_______________________________________________________________

  • (14) Al-Qur’ān mengikuti aliran-aliran di zaman awal agama Islam yang mengenal kesatuan antara Allah Bapa, Allah Ibu dan Allah Putera. Dalam Injil tentang Kanak Yesus berbahasa Arab, Maria berulang kali disebut sebagai “Maria yang agung dan ilahi” (lih. Martin Bauschke, Jesus - Stein des Anstoßes, Köln: Böhlau, 2000, hal. 155).
  • (15) Pemahaman terminologi “kodrat”, “substansi” dan terutama “pribadi” muncul dari filsafat zaman itu yang nota bene lain dari zaman sekarang. Isi dogma hanya bisa diungkapkan secara benar kalau kandungan isi metafisik dari terminologi-terminologi itu dibiarkan saja pada nuansa dasarnya seperti pada zaman Konsili-konsili. „Pribadi“ (hypostasis) artinya Allah berkarya dan hidup dalam relasi-relasi. Kata “kepribadian” dalam konteks psikologi sudah berarti lain. “Pribadi” ingin menjelaskan apa yang dikatakan oleh Konsili-konsili dengan istilah “kodrat”. Dengan demikian dikatakan pula bahwa terdapat 3 (tiga) kodrat berbeda di dalam Allah.
  • (16) Dalam bahasa Arab, kata yang tepat untuk menjelaskan Trinitas adalah kata sifat “thālūth“ dan bukan kata benda „tathlïth“. Kata benda „tathlïth“ mengandung arti „pemecahan diri dari sebuah kesatuan dalam tiga bagian, padahal Trinitas tidak bisa dipahami dalam konteks ini.
  • (17) Ketika berbicara tentang Yesus sebagai Anak Allah dalam kaitannya dengan Surat 112 (al-ikhlās) hendaknya selalu diingat bahwa kata „Anak“ yang dimaksudkan di sini adalah „ibn“ (Ibn Allāh/Ibnu-llāh) dan bukan „walad“ (walad Allāh/waladu-llāh). Kalau berbicara tentang „Anak“ dalam nuansa metaforis, bahasa Arab hanya menggunakan kata „ibn“ dan bukan „walad“, walaupun dalam konteks bahasa Indonesia, kedua-duanya berarti „anak“. Lasimnya dikatakan demikian „ibn al-sabïl/ibnul sabïl dan bukan „walad al-sabïl/waladus-sabïl. Seorang cendikiawan Muslim, al-birūni, (973 - kira-kira 1050) mengatakan: Untuk Islam, penggunaan istilah „Bapa“ dan „Anak“ untuk Allah adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan sangat teliti, karena dalam pemahaman bahasa Arab sehari-hari, kata „ibn“ hampir selalu dimaksudkan dengan „walad“. Artinya bahwa kata „ibn“ hampir selalu diasosiasikan dengan orangtua dan kelahiran. Akan tetapi ini tidak bisa diterapkan pada Allah. Bahasa-bahasa lain mungkin lebih bebas dalam hal ini. Kadang terjadi bahwa dalam bahasa-bahasa ini, anak-anak menyebut seorang manusia „Bapa“, dan kata yang sama dikenakan juga kepada Tuhan, sama seperti yang dilakukan oleh orang Kristiani. Kata „Putera“ mereka maksudkan secara khusus untuk Yesus, tetapi juga kata yang sama digunakan untuk menyebut diri orang lain. Dialah Yesus yang mengajarkan Murid-murid-Nya untuk berdoa: Bapa Kami yang ada di Surga. Sesaat sebelum wafat, Yesus berkata kepada mereka bahwa Dia pergi kepada Bapa-Nya dan kepada Bapa mereka. Sering Yesus menggunakan kata „Putera“ untuk menyebut diri-Nya sendiri: „Dia adalah Putera Manusia“ (al-Birūni, Ta’rïkh al-Hind, Ed. Sachau, London 1919, Kapitel 3; Teks bahasa Inggris: Bd. I, hal 36 – 39).

_________________________________________________________

Penerjemah: Dr. Markus Solo Kewuta

Kontak

J. Prof. Dr. T. Specker,
Prof. Dr. Christian W. Troll,

Kolleg Sankt Georgen
Offenbacher Landstr. 224
D-60599 Frankfurt
Mail: fragen[ät]antwortenanmuslime.com

More about the authors?