German
English
Turkish
French
Italian
Spanish
Russian
Indonesian
Urdu
Arabic
Persian

Hal Rohani dan Jasmani

I. Muslim Bertanya

 

  • Agama Kristiani mengarahkan diri kepada yang surgawi, mementingkan keselamatan jiwa di akhirat. Apa kata agama Kristiani tentang hidup terutama dimensi sosial dan politik di dunia ini?
  • Pemisahan atara negara dan agama asing; Pemisahan ini adalah ide barat dan ide Kristiani.
  • Agama Kristiani memisahkan apa yang menjadi hak Allah dan apa yang menjadi hak kaiser. Bagaimana memahami peristiwa perang salib dan kolonialisasi yang dilakukan atas nama agama Kristiani?

 

II. Pandangan Muslim

 

Secara Umum

 

Agama Islam memahami dirinya sebagai agama wahyu yang terakhir. Dengan demikian Islam adalah penyempurnaan agama-agama sebelumnya. Agama Yahudi dilihatnya terlalu berorientasi kepada aspek jasmani, sedangkan agama Kristiani terlalu menekankan aspek rohani. Islam dipandang sebagai agama sempurna dan “jalan tengah” yang mengharmonisasi kedua kutub di atas (bdk. Surat 5,3 dan 2,143 – din wasat, menurut interpretasi umum). Islam berkaitan dengan perihal jasmani dan rohani, sosial, politik dan kehidupan beragama; kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Agama Kristiani sebaliknya dipandang mengorbankan tubuh untuk jiwa. Agama Kristiani menyibukkan diri dengan hal-hal keagamaan (dïn) dan mengabaikan politik serta urusan kenegaraan (daula). Agama Kristiani juga dipandang mengabaikan pentingnya kebahagiaan di dunia ini dan berharap sepenuhnya untuk masuk Surga.

 

Pandangan di atas sedikit banyaknya berkembang cukup luas di kalangan umat Muslim.(46) Patut diakui bahwa ada sebagian ungkapan dan gambaran dalam khasanah agama Kristiani terutama di abad ke-19 turut memperkuat anggapan ini, misalnya: „Keselamatan jiwa pribadi“, „di dalam lembah tangisan dan air mata ini“, dll. Di pihak lain adanya persepsi negatip terhadap tubuh, terutama menyangkut seksualitas sebagai asal-muasal dosa. Atau agama Kristiani lebih dipandang sebagai agama pribadi dan politik dilihat lebih sebagai sebuah urusan „kotor“.

 

Banyak Muslim melihat kehidupan kerahiban/membiara dan selibat karena iman dan demi Kerajaan Allah sebagai sesuatu yang khas Kristiani dan sekaligus sebuah fenomen yang turut membentuk Kekristenan. Mereka melihat model kehidupan ini sebagai sebuah bentuk „pelarian“ dari dunia (al-firār min al-dunya) yang dari kacamata Islam ditolak keras.

 

Toh perlu diingat bahwa pandangan tradisional di atas sudah banyak berubah, terutama di tahun-tahun terakhir ini. Banyak Muslim mengagumi keterlibatan Gereja-gereja atau umat Kristiani dalam kancah politik dan kehidupan publik, terutama di ranah sosial untuk mengupayakan keadilan dan perdamain serta mensejahterakan kaum miskin dan tertindas. Sebagian pemikir Muslim merasa tertarik dengan Teologi Pembebasan oleh karena opsi perlawanannya terhadap politik yang menekan dan ketidakadilan sosial yang mengecewakan masyarakat.

 

Secara detail

 

Keesaan Allazh adalah warta sentral al-Qur’ān. Sekaligus agama Islam, berasas pada ajaran yang jelas tentang praktek keadilan sosial, sejak masa awal di Mekka berkewajiban untuk berpihak pada kaum miskin, anak-anak yatim piatu dan kaum lemah dan melawan represi orang-orang kaya. Pewartaan tentang kebangkitan dan pengadilan terakhir melalui Nabi Muhammad sejak awalnya bermaksud untuk mengingatkan kaum kaya akan hukuman yang bakal diterima kalau mereka tidak memperbaiki diri. Pewartaan Nabi yang dilakukan selama periode Mekka ini melawan situasi masyarakat waktu itu yang dikuasi oleh interesse kaum kaya-raya dan berujung pada pengejaran orang-orang fakir miskin.

 

Tidak lama setelah hijrah ke Medina tahun 622(47), terbentuklah sebuah jemaat Muslim di bawah Nabi Muhammad dengan struktur yang kuat. Kelompok jemaat ini kemudian berhasil menguasai Mekka dan selanjutnya seluruh wilayah Arab. Dengan latar belakang ini, wahyu al-Qur’ān selama periode Medina tidak hanya berkaitan dengan perihal-perihal spiritual seperti sholat, puasa dan kebajikan-kebajikan Islam, tetapi juga menyangkut urusan tata hidup bermasyarakat seperti pengaturan hidup individu, keluarga dan kehidupan sosial (aturan-aturan berperang, pembagian jarahan perang, kewajiban-kewajiban pemimpin, kewajiban untuk saling menegur dan mengoreksi), dan terakhir menyangkut aturan-aturan hukum dalam kehidupan sehari-hari termasuk perihal status orang-orang non-Muslim.

 

Dengan demikian, logis bahwa tradisi Islam tidak bisa dipisahkan dari perkembangan sejarah di atas dan dari berbagai aksentuasi di dalam teks-teks al-Qur’ān. Dari sana lahir pemahaman bahwa Islam adalah sebuah tata kehidupan universal yang bisa memberikan jawaban terhadap segala pertanyaan hidup manusia, baik yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani, maupun rohani, baik secara pribadi maupun komunal, baik dalam tataran sosial maupun politik. Dalam konteks ini dikenal prinsip al-Islām dïn wa daula: Islam adalah sekaligus agama dan negara. Islam mengatur dimensi duniawi (al-dunyā) dan dimensi akhirat kehidupan manusia (al-ākhira). Sebuah Hadïth mengatakan: Seorang Muslim yang baik adalah dia yang tidak banyak menyibukan diri dengan hal-hal duniawi sampai melupakan apa yang ada di akhir hidup ini. Seorang Muslim yang baik tidak mengorbankan hidup ini untuk kehidupan akhirat. Seorang Muslim yang baik adalah dia yang mengerti bagaimana seharusnya memberikan makna terhadap hidup di dunia ini dan di akhirat.

 

Agama Islam menolak pemisahan antara yang sakral dan yang profan dalam hidup ini, tetapi menerima adanya perbedaan antara keduanya. Traktat-traktat klasik membedakan dengan jelas antara aktivitas-aktivitas penyembahan terhadap Allah (’ibādāt) yang bersifat tetap atau tidak berubah dan relasi-relasi sosial dalam masyarakat (mu’āmalāt) yang bersifat bisa berubah. Sebuah Hadïth memuat sebuah jawaban Nabi Muhammad terhadap seseorang yang bertanya tentang bagaimana cara hidup atau sikap yang baik dalam hidup ini: Kalian tahu lebih baik tentang kehidupan di dunia ini daripada saya (antum a’lamū bi-amri dunyā-kum). Komentar Baydāwï(48) terhadap Surat 43,63 mengatakan: Itulah sebabnya mengapa nabi-nabi diutus bukan untuk menjelaskan hal-hal duniawi, melainkan hal-hal rohani.

 

Dalam Islam timbul gerakan berbasis ajaran yang mempertanyakan struktur-struktur sosial dan serta ajaran-ajaran moral yang ada hingga pendirian sebuah agama negara selama masa hidup Nabi Muhammad, artinya selama masa turunya wahyu. Pada masa sesudahnya, gerakan ini dilanjutkan oleh seorang Kalif, yang adalah pengikut Nabi Muhammad dengan julukan “Pengeluar perintah bagi umat Muslim” (amïr al-mu’minïn). Kalif dan para wakilnya pada tempat pertama memiliki kekuasaan duniawi karena sejak awalnya Islam tidak memiliki sebuah hirarki keagamaan atau struktur kepemimpinan seperti dalam Gereja Katolik. Toh para Kalifat dalam perjalanan waktu memiliki tanggungjawab rohani menyangkut “melakukan yang baik dan menjauhkan yang jahat (al-amr bi-l-ma’rūf wa-l-nahy ’an al-munkar). Menurut Louis Massignon (1883-1962), Islam adalah sebuah “Teokrasi sekular yang bersifat egaliter”. Sejak pendirian negara-negara Islam modern, Islam dipandang sebagai agama dan negara (dïn wa daula) dengan sedikit kekecualian seperti Syria atau Jemen. Sementara itu di luar dunia Arab, terdapat sejumlah negara dengan penduduk mayoritas Muslim tetapi menganut sistim pemerintahan sekular dan kelihatan merasa cocok dengan model pemerintan tersebut (Turki, Senegal, Mali, Nigeria, dll).

 

Sejak awal abad ke-20, sebagian pemikir Muslim sadar akan kelemahan sebuah negara agama. Pada satu sisi agama menyempitkan ruang gerak negara yang bisa dengan mudah menjadikan negara sebagai alat atau wadah ideologi agama tersebut. Di sini agama juga turut menderita karena membiarkan diri dikondisikan dalam sebuah struktur. Agama akan dengan mudah menjadi instrumen sebuah partai politik sehingga aktivitas-aktivitas agama seperti kotbah di dalam Masjid mendapat pengawasan pemerintah. Oleh sebab itu dalam dunia Islam sudah lama timbul gerakan-gerakan yang ingin memisahkan agama dari politik; malah semakin banyak timbul suara yang menginginkan sistim pemerintahan sekular(49).

 

Ide-ide ini umumnya timbul terutama di kalangan pemikir Muslim berhaluan sosialis-marxis di negara-negara seperti Mesir, Syria, Marokko dan Pakistan. Pada saat yang sama mereka dikritik secara keras oleh mereka yang berhaluan konservatif(50). Pendukung haluan konservatif ini berpendapat bahwa sistim pemerintahan sekular adalah sebuah „heresi barat dan Kristiani” dan dengan itu menganggap kelompok pemikir innovatif itu tidak setia terhadap Islam dan al-Qur’ān. Di wilayah tengah dari dua pandangan ini terdapat sejumlah besar umat Muslim yang tidak bisa menentukan posisi dengan jelas antara integrasi agama dan politik dalam kesatuan sistim atau memisahkannya secara radikal. Pada satu sisi mereka mendukung eksistensi agama negara dengan keuntungan pada pemeliharaan dan subvensi pendidikan agama di sekolah-sekolah serta pengawasan kehidupan beragama secara teratur. Pada sisi lain mereka melihat kelemahan sistim pemerintahan demikian bahwa iman dan praktek agama bukan lagi merupakan sebuah keputusan dan urusan pribadi setiap individu di mana bisa dihidupkan secara bebas dan bertanggungjawab.

 

III. Pandangan Kristiani

 

1. Antropolgi Kristiani

 

Baik Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru tidak mengenal adanya pemisahan antara tubuh dan jiwa; tidak juga mgenanggap rendah tubuh manusia. Menurut Kitab Suci, manusia memiliki tubuh yang dilengkapi dengan hidup dan roh. Pandangan biblis yang lebih tua mengatakan bahwa manusia itu entah mati secara utuh atau masuk ke dalam sheol. Dibutuhkan waktu agak panjang sampai pernyataan tentang kebangkitan masuk ke dalam buku-buku biblis (Dan 12,2-3). Baru di bagian akhir Kitab Suci Perjanjian Lama, yakni di dalam Kitab Kebijaksanaan tertulis berita tentang “kebangkitan orang-orang benar”. Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Kebangkitan Yesus Kristus dan umat-Nya sudah merupakan inti pewartaan. Kebangkitan yang dimaksudkan di sini adalah kebangkitan badan orang-orang mati seperti yang diakui juga dalam Kredo.

 

Tubuh manusia yang fana ini akan berubah menjadi “tubuh rohani” yang mengambil bagian dalam kesempurnaan (bdk. 1Kor 15,44). Kalau Rasul Paulus dalam surat-suratnya mengatakan bahwa “daging” tidak bisa mewarisi Kerajaan Allah (1Kor 15,50) dan orang-orang beriman tidak boleh membiarkan diri dipimpin oleh “daging” (bdk. Rom 8,4-9), itu bukan berarti bahwa Paulus menganggap hina tubuh manusia dan merendahkan dimensi ke-tubuh-an manusia. “Daging” dalam bahasa Yunani “sarx” dalam perbedaannya dengan “tubuh” (Yunani: sōma) lebih berarti manusia dalam situasi dosa dan segala bentuk kelemahan manusiawinya termasuk keinginan dalam dirinya untuk melawan Allah. Oleh sebab itu Rasul Paulus ingin mengatakan bahwa manusia hendaknya jangan membiarkan diri untuk ditunggangi oleh napsu-napsu sesat (keinginan daging), melainkan membiarkan diri dipimpin oleh Roh Allah sendiri (bdk. Gal 5,13-26). Melalui Roh Allah, tubuh manusia bukan dikalahkan, tetapi sebaliknya dihidupkan melalui nafas ilahi (bdk. Rom, 8,11).

 

Melalui pengaruh filsafat Yunani terutama dari Platon (427-347) sebelum Kristus dan Plotin (205-270) terhadap pemikiran Kristiani di era abad-abad awal Kekristenan, jiwa manusia mendapat penekanan yang lebih kuat dibandingkan dengan tubuh(51). Dalam Gnosis misalnya, pemahaman yang berat sebelah ini berakibat pada pandangan dasar yang malah membenci tubuh, dunia dan fakta-fakta yang berkaitan dengan dunia. Pandangan yang demikian mempengaruhi juga cara pandang dan cara pikir dalam dunia Kekristenan. Akan tetapi Gereja secara sadar membatasi diri dari pengaruh Gnosis di atas dengan berbasis pada keyakinan Kristiani bahwa pada akhirnya bukan hanya jiwa manusia yang mengalami kesempurnaan, tetapi tubuh manusia juga akan bangkit dari alam maut. Ini berarti bahwa Gereja menolak sebuah spiritualisme berat sebelah. Manusia pada dasarnya diciptakan oleh Allah sebagai satu kesatuan tubuh-jiwa. Manusia yang utuh secara utuh dan dalam segala dimensinya (termasuk dimensi seksualitasnya) harus bebas dari kuasa dosa dan kematian agar masuk ke dalam kebebasan dan kemuliaan sebagai anak-anak Allah (bdk. Rom 8,21).

 

2. Agama dan Negara. Iman dan Politik

 

Dari sudut pandang sejarah, agama Kristiani dan agama Islam melewati sejarah perkembangan yang mirip. Pada awalnya kedua agama tersebut mewartakan sebuah pesan rohani dengan implikasi sosial, yakni sebuah pewartaan yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dan politik dari struktur-struktur kemasyarakatan yang ada. Justru kuatnya pesan rohani ini memberikan konsolidasi agama dalam masyarakat yang pada gilirannya menghantar kedua agama tersebut kepada status agama negara.

 

Agama Kristiani baru menjadi agama negara pada abad ke empat di bawah kaiser Konstantinus (berkuasa antara 306-337) dan kaiser Theodosius I (berkuasa dari 379-395). Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tidak ditemukan asas-asas pembentukan negara bercorak agama Kristiani. Yesus tidak mendirikan sebuah negara atau sebuah komunitas agama untuk menyaingi komuntas politik. Seorang Kristiani adalah seorang warga sebuah negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga lainnya, juga kalau negara tersebut dibangun di atas ideologi kafir(52).

 

Penolakan terhadap teokrasi dalam agama Keristen mendapat pendasaran dari dua sudut pandang; sudut pandang Yesus dan Kitab Suci Perjanjian Baru:

 

– Kehormatan dan kuasa duniawi ditolak demi Kerajaan Allah. ”KerajaanKu bukan dari dunia ini”(Yoh 18,36); Berikanlah kepada kaiser apa yang wajib kamu berikan kepada kaiser dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22,21; bdk Mat 17,27), yang mengisyaratkan penghormatan hak-hak dan kehendak para penguasa dunia dengan otoritas yang berasal dari Allah. Setiap kali ketika orang banyak ingin menjadikan Yesus Raja, Ia mengundurkan diri dari mereka (Yoh 6,15; 12,12-36; Minggu Palma). Satu dari alasan-alasan mengapa Yesus menanggung kematian adalah kekecewaan rakyat atas penolakan diriNya terhadap kekuasaan duniawi, karena rakyat sedang menantikan seorang Mesias yang membebaskan. Sebuah kekristenan yang triumphalistik dan menyukai kekuasaan dunia sedang berada dalam pertentangan dengan kehendak Injil. Agama Kristiani adalah ”agama salib”, dan kemenangan yang ingin dicari atau diraih adalah pertobatan hati menuju Tuhan yang Esa.

 

– Agama Kristiani menolak segala bentuk ketidakadilan di dalam dunia sosial dan politik. Seluruh kehidupan Yesus berada dalam sebuah konfrontasi yang berkepanjangan baik secara tersembunyi maupun secara terbuka terhadap kekuasaan rohani dan sekuler yang melukai hak-hak asasi manusia, terutama hak kaum miskin. Hal ini juga kemudian menjadi salah satu alasan kematianNya. Pewartaan kabar gembira tentang Kerajaan Allah yang pada tempat pertama ditujukan kepada orang-orang kecil, harus mendahului tuntutan-tuntutan ”seorang kaiser” (kekuasaan politik duniawi)(53). Kasih akan Allah tidak bisa dipisahkan dari kasih terhadap sesama manusia. Kasih kepada manusia adalah bukti kasih kepada Allah. Secara ekstrim hal ini bisa berarti bahwa seseorang bisa mengorbankan hidupnya untuk keselamatan sesamanya (Yoh 15,13; Mat 25,40; 1 Yoh 3,16; 4,20). Konflik-konflik bisa menghantar kepada pengorbanan diri seorang Kristiani untuk menyelamatkan sesamanya, terutama konflik-konflik yang berkaitan dengan ketidakadilan yang menyengsarakan hidup manusia. Komitmen politik dalam hal ini merupakan sebuah bagian integral dari misi agama Kristiani.

 

Seperti sudah dikatakan di atas, agama Kristiani pernah menjadi agama negara sejak masa pemerintahan kaiser Konstantinus dan kaiser Theodosius I untuk beberapa abad lamanya. Status agama Kristiani yang demikian sedikit banyaknya masih ditemukan dalam beberapa negara di dunia ini, tetapi sudah berubah dalam bentuk-bentuk yang memudar. Selain itu, ketakberdayaan atau kekosongan struktur politik menjelang akhir kekaiseran romawi menjadi momentum lahirnya kepemimpinan kepausan yang mengambil alih kekuasaan duniawi. Inilah awal dari era kepemimpinan Gereja dalam dunia. Ketika semua penduduk sudah menganut agama Kristiani timbul sebuah teori kekuasaan yang dikenal dengan nama ”pedang ganda” yang berarti pedang ajaran rohani dan ajaran duniawi, di mana keduanya berpadu dalam tangan Paus yang berwewenang untuk mengangkat para raja dan kaiser. Perpaduan kedua jenis kekuasaan tersebut di dalam sebuah institusi dan pribadi berakibat bahwa Gereja memiliki kekuasaan untuk menghukum atau mengambil inisiatif, di mana model kekuasaan seperti ini tidak sepadan dengan roh Injil: perang salib, imperialisme penjajahan, inkwisisi dan lain-lain(54).

 

Konsili Vatikan II mengambil sebuah langkah yang menentukan untuk berbalik kepada Roh Injil(55). Konsili menuntut pembebasan Gereja (dan agama) dari kekuasaan politik dan sekaligus pembebasan kekuasaan politik dari Gereja (dan agama) serta mengajak keduanya untuk bekerja sama demi pemecahan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Konsili juga mengajak komunitas-komunitas Gereja agar menggunakan hak yang sama untuk memperbaiki situasi kehidupan sosial dan politik yang berorientasi pada Injil(56). Di di dalam Gerja Protestan, penjelasan teologi Barmer tahun 1934 menjadi sebuah pegangan penting.

 

3. Kehidupan di dunia dan di akhirat

 

Kebangkitan Yesus Kristus mengindikasi akhir sebuah zaman. Kehidupan akhirat sudah dimulai: ”Akulah kebangkitan dan hidup” (Yoh 11,25; bdk 5,24; 1 Yoh 3,14; Rom 6,5). ”Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus“ (Yoh 17,3; bdk 3,15-16; 5,24; 6,40. 47). Kehidupan abadi sudah dimulai tetapi belum terpenuhi. Seorang Kristiani hidup di dalam ladang ketegangan antara ”sudah sekarang” dan ”belum”. Penantian terhadap ralisasi keselamatan ada di dalam kebangkitan Yesus tetapi di dalam kehidupan iman Kristiani, hal ini belum terpenuhi secara total. Wajah dunia harus terus-menerus diperbaharui melalui kekuatan Roh Kudus agar semakin mendekati kehendak Allah.

 

Penyempurnaan ciptaan dalam Roh Allah baru akan terpenuhi ketika Yesus Kristus datang kembali, yang sekaligus merupakan akhir dunia waktu dan sejarah. Tidak akan lahir sebuah dunia baru, tetapi dunia yang sama ini akan diperbaharui dan diubah terus-menerus. Harapan ini bukanlah sebuah utopi karena dibangun di atas Yesus Kristus, di dalam ajaran, di dalam penyerahan diri dan kebangkitanNya. Sekaligus ini merupakan harapan yang realistik, karena seorang Kristiani tahu bahwa upaya penyempurnaan diri manusia dan dunia akan tetap tidak sempurna hingga kedatangan Yesus Kristus(57).

 

Iman Kristiani menuntut komitmen utuh dalam melayani dunia dan berusaha agar pesan-pesan Injil bisa mempengaruhi dunia dalam perjalanannya menuju akhirat. Injil juga menuntut partisipasi aktif manusia untuk kesejahteraan bersama. Hal ini bisa direalisasi di dalam berbagai bentuk aktivitas, misalnya melalui partisipasi di dalam partai-partai politik yang pada ruang dan waktu tertentu bisa merupakan media yang tepat untuk menyampaikan nilai-nilai injil, dan bahkan ketika orang Kristiani bekerja sama dengan orang-orang dari agama lain atau dengan kaum ateis sekalipun. Model kerja sama demikian bisa juga diterapkan di dunia ekonomi, sosial dan budaya. Dimensi kontemplatip kehidupan Kristiani juga memainkan peranan tertentu dalam proses menuju penyempurnaan diri. Toh harus tetap disadari bahwa program Kerajaan Allah di dalam Injil tidak identik dengan program politik duniawi. Komitmen orang-orang Kristiani dalam kancah sosio-politik menuntut juga peran kritis terhadap segala kebijakan dan keputusan sambil menaruh rasa hormat terhadap otonomi struktur-struktur dunia ini. Peran kritis tersebut tentu saja berdimensi ad-ekstra (terhadap struktur-struktur luar) dan sekaligus ad-intra (oto-kritik diri Gereja sendiri)(58).

 

IV. Kristiani Menjawab

 

1. Tubuh dan jiwa

 

Tubuh dan jiwa adalah sebuah kesatuan dari pribadi manusia. Sebagai citra Allah, manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Oleh sebab itu orang Kristiani menghormati dan menghargai tubuh manusia seksualitas.

 

2. Agama dan negara

 

Orang Kristiani mengakui adanya fakta penyalahgunaan dan pengkhianatan Injil dalam sejarah Gereja, akan tetapi setiap titik kelam sejarah tidak pernah terlepas dari konteks waktu dan tempat. Baik umat Kristiani maupun umat Muslim diajak untuk menelusuri tapak-tapak sejarah agamanya masing-masing secara kritis. Dituntut kemampuan dan kebiasaan untuk mengeritik secara inteligent sejarah bersama agama Kristiani dan Islam baik secara individual maupun komunal, baik hanya dari perspektif Kristiani maupun dari perspektif Muslim(59). Langkah seperti ini bukan bertujuan untuk mengikat kita pada tahap-tahap sejarah tertentu, tetapi sebaliknya membuka mata terhadap masa depan dan bersama-sama membangun kesepakatan baru untuk membangun sebuah sistem politik yang mendukung kebebasan beragama dan saling menghormati(60).

 

3. Kehidupan di dunia dan di akhirat

 

Iman akan hidup setelah kematian tidak boleh luntur sekalipun terus-menerus berkonfrontasi dengan pelbagai tantangan serta permasalahan di dunia ini. Sebaliknya iman harus memotifasi orang Kristiani untuk tetap melayani sesama manusia terutama orang-orang kecil dan dirugikan. Iman ini hendaknya menguatkan harapan dan hasrat kita untuk bekerja demi masa depan dunia yang lebih baik dan sekaligus membantu membedakan proyek-proyek manusia dengan rencana keselamatan melalui Kerajaan Allah. Akhir zaman berarti juga penghakiman terakhir. Di sini keadilan akan berkuasa. Manusia akan diadili menurut perbuatannya, terutama bagaimana perlakuannya terhadap orang-orang kecil serta mereka yang tertindas. Di sini Alkitab dan al-Qur’ān menyampaikan ajaran yang sama. Bukti bahwa seseorang menaruh rasa hormat terhadap ”hak-hak Allah” (huqūq Allāh) terlihat dalam rasa hormatnya terhadap hak-hak (asasi) manusia (huqūq al-insān). Perintah di dalam Alkitab tentang kasih akan Allah mencakupi kasih akan manusia, hal mana berarti penghormatan terhadap hak-hak manusia(61).

______________________________________________________________

  • (46) Di abad ke-20 ditemukan pernyataan-pernyataan serupa dalam sejumlah teks apologetik dari Muhammad ’Abduh (Mesir, meninggal 1905), Rashïd Ridā (Syria, meninggal 1935) dan ’ālim Ibn Badïs (Aljazair, meninggal 1940)
  • (47) Lihat sebelumnya ”Muhammad – Nabi” hal. 50
  • (48) Al-Baydāwï (meninggal sekitar 1920) adalah seorang komentator al-’Qur’ān terkenal dan banyak dikutip. Komentar-komentarnya umumnya adalah sebuah revisi dan kesimpulan dari versi-versi terdahulu yang dibuat oleh al-Zamakhschari (meninggal 1144)
  • (49) Pembela terkenal reformasi seperti itu adalah Syeikh al-Azhar, ’Ali, ’Abdurrāziq. Dalam bukunya al- Islām wa usūl al-hukm (Islam dan asal-usul kekuasaan pada tahun 1925) beliau mengatakan bahwa pesan al-’Qur’ān pada dasarnya bersifat religius/rohani dan upaya-upaya pembentukan negara Islam tidak merupakan tugas kenabian dari Nabi Muhammad. Oleh sebab itu para pemikir Muslim yang berjuang demi pemisahan radikal antara agama dan negara/politik, harus menempatkan interpretasi dan persepsi mereka pada level tertentu, tetapi mau tidak mau berkonfrontasi dengan pandangan tradisional di atas. Buku dari ’Ali, ’Abdurrāziq di atas sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis: L. Bercher, in Revue des Etudes Islamiques, 1933/III dan 1934/II. Terjemahan publikasi ’Abdurrāziq ini diperkuat lagi oleh intelektual Marokko, Abdou Filali Ansari, dalam: ’Ali, ’Abdurrāziq, L’Islam et les Fondements du Pouvoir, ed. Abdou Filali Ansari, Paris: Editions Decouverte, 1994.
  • (50) Perlu disinggung di sini menyangkut Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) yang didirikan oleh Hasan al-Banā (1906-1949) dan Jamā’at-i Islāmï dari A. A. Maudūdi (1903-1979)
  • (51) Platon berpendapat bahwa manusia itu pada dasarnya adalah jiwa yang terpenjara dalam tubuh. Jiwa senantiasa berusaha untuk bebas dari hambatan tubuh agar boleh menemukan jalan bebas menuju Tuhan. Konsep manusia menurut Platon ini mempengaruhi cara pikir Gereja Kristiani secara mendalam dan pengaruh ini masih dirasakan hingga dewasa ini. Akan tetapi konsep pemikiran tentang manusia di atas mengalami tendensi kuat kepada konsep pemahaman biblis berkat pengembangan pengaruh ilmu antropologi modern.
  • (52) Tentang kewajiban-kewajiban orang-orang Kristiani terhadap penguasa-penguasa kafir, lihat Rom.13.1-7; Tim 2.1-2; Tit 3.1; I Ptr 2.13-15
  • (53) Adalah lebih baik mendengarkan Allah daripada manusia (Kis. 4.19; 5.29; bdk. Mat 10.18)
  • (54) Hingga beberapa waktu lalu, menurut dokumen-dokumen resmi bahwa terbentuknya negara Kristiani merupakan situasi ideal untuk umat Kristiani, sekalipun para Paus, dimulai dengan Paul Leo XIII (menjelang akhir abad ke-19), tidak setuju dengan ide teokrasi (negara agama) dan menghendaki pemisahan radikal antara Gereja dan Negara, di mana negara harus selalu berusaha untuk memenuhi kewajibannya,yakni melindungi segenap warga. Bdk. juga Ensiklik “Imortale Dei” dari Paus Leo XIII tahun 1885, Dh 3168, dan Lumen Gentium, Konsili Vatikan II, no 38.
  • (55) Ha lini menjadi lebih jelas dalam Pernyataan Tentang Kebebasan Beragama “Dignitatis Humanai” (Konsili Vatikan II), di mana diakui bahwa “Sesungguhnya dalam kehidupan umat Allah melalui silih-bergantinya kenyataan-kenyataan sejarah bangsa manusia yang sedang berziarah, adakalanya ditempuh cara bertindak yang kurang selaras dengan semangat Injil, bahkan bertentangan dengannya…” (no.12)
  • (56) Bdk. “Dignitatis Humanai” no.4; “Gaudium et Spes” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja) no.76 dan Dekrit Tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja “Christus Dominus”, no.19-20
  • (57) Utopia Marxis sebaliknya menganggap diri bisa mempertemukan segala pertentangan dalam perjalanan sejarah.
  • (58) Bdk. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja “Gaudium et Spes” no.43. Teks ini menekankan secara khusus primat Injil berhadapan dengan segala bentuk program politik apapun.
  • (59) Agama Kristiani dengan sumber wahyuhnya semakin hari semakin ditantang untuk berhaadapan dengan sebuah ujian baru dan kritis oleh karena perubahan waktu. Pola pemikiran umat Muslim juga semakin saat dihadapkan kepada tantangan yang sama. Tantangan ini khususnya dipelopori oleh gerakan-gerakan sekular-humanistik yang lebih condong kepada otonomi struktur-struktur profan sambil mengklaim atas dasar Sejarah bahwa semakin politis sebuah agama, semakin kabur juga kandungan dan pancaran rohaninya. Hal ini telah menyadarkan beberapa sebagian pemikir Muslim di berbagai negara unuk mengusahan gerakan pembebasan Islam dari intimidasi politik dan sebaliknya.
  • (60) Teks-teks Konsili Vatikan II tentang Kebebasan Beragama (Dignitatis Humanai), ″Gaudium et Spes“ dan Ensiklik ″Popularum Progresio“ sangat berguna dalam hal ini.
  • (61) Konsili Vatikan II mengajak Kristiani dan Muslim “…dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan“ (Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristiani, no. 3)

_________________________________________________________

Penerjemah: Dr. Markus Solo Kewuta

Kontak

J. Prof. Dr. T. Specker,
Prof. Dr. Christian W. Troll,

Kolleg Sankt Georgen
Offenbacher Landstr. 224
D-60599 Frankfurt
Mail: fragen[ät]antwortenanmuslime.com

More about the authors?