German
English
Turkish
French
Italian
Spanish
Russian
Indonesian
Urdu
Arabic
Persian

Keanekaragaman agaman dan Kebebasan Beragama

I. Muslim Bertanya

 

  • Mengapa terdapat begitu banyak agama padahal Allah sudah menganugerahkan satu kodrat yang sama untuk semua manusia?
  • Setiap agama, terutama agama Kristiani, mengklaim diri universal. Bagaimana mungkin setiap agama yang berbeda-beda juga universal? Bukankah hanya satu agama saja yang universal? Bukankah agama-agama lainnya hanya benar secara sebagian atau tidak sempurna?
  • Semua agama bertanggung jawab terhadap peperangan hingga saat ini: misalnya Libanon, Irlandia Utara, Srilangka dan lain-lain. Agama-agama pada umumnya merupakan struktur-struktur besar yang dimanipulasi atau diinstrumentalisasi oleh kekuasaan-kekuasaan imperial.
  • Bukankah seharusnya diakui sebuah ide tentang agama universal yang merupakan sebuah sintesis berbagai agama.
  • Dewasa ini orang berbicara tentang kebebasan beragama. Hal ini tidak ada di masa lampau, karena para penganut imperialisme dan kolonialisme menunggang kebebasan beragama untuk tujuan-tujuan pribadi. Apakah mereka berbicara saat ini dengan getolnya dan memperjuangkan kebebasan tersebut karena mereka tidak lagi mencapai tujuannya?
  • Prinsip kebebasan beragama itu baik tetapi apakah dengan demikian seseorang diijinkan untuk berbalik dari agama yang benar dan memeluk sebuah agama yang lain? Apakah prinsip kebebasan beragama ini tidak membawa bahaya yang mengancam agama-agama?
  • Bagaimana mungkin seseorang bisa membaca alQur’ān tanpa menjadi Muslim?

 

II. Pandangan Islam

 

Secara umum

 

1. Islam adalah satu-satunya agama yang benar, sempurna dan mapan. Ia menyerap seluruh nilai-nilai yang benar dari agama-agama lain. Seorang Islam tradisional tentu merasa heran, bahwa saat sekarang masih terdapat orang-orang Yahudi dan Kristiani, padahal dengan kedatangan Islam agama Yahudi dan agama Kristiani sebenarnya tidak relevan lagi. Agama Yahudi dan agama Kristiani pada dasarnya adalah agama-agama sementara yang hanya memiliki separuh kebenaran. Keberadaannya sebenarnya diperuntukkan bagi masyarakat manusia terbatas. Tidak ada „nilai“ keagamaan yang asli di luar Islam, karena Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki kebenaran universal.

 

2. „Perang-perang agama“ adalah suatu kenyataan historis. Dulu perang-perang ini sering terjadi antara dunia Islam dan Kristiani, antara orang-orang Katolik dan Protestan. Juga dewasa ini masih terdapat pertikaian-pertikaian dan perang atasnama agama, misalnya di Libanon, Irlandia Utara, Filipina Selatan, Sudan dan lain-lain.

 

3. Bagi kebanyakan umat Islam, hubungan timbal balik antara agama Kristiani dan imperialisme, kolonialisme serta nasionalisme merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri.

 

4. Berpindah dari satu agama ke agama yang lain adalah suatu yang tak dapat dibenarkan. Manusia dilahirkan sebagai anggota salah satu agama tertentu dan ia harus tetap menganut agama ini, karena agamalah yang menjadi faktor penentu utama bagi identitas pribadi, kelompok dan bangsa. Berpindah dari agama lain ke agama Islam dapat dibenarkan, karena ini berhubungan erat dengan diterimanya seseorang ke dalam suatu persekutuan dan struktur yang kehadirannya sekaligus menghapuskan seluruh paruh identitas dan menjadikannya tak berarti lagi.

 

Secara khusus

 

1. Dalam seluruh al-Qur’ān terpatri sebuah kerinduan akan persatuan seluruh umat manusia dalam satu-satunya persekutuan religius, umma, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah sejak awal mula. Sayangnya umat manusia terpecah belah dalam agama-agama yang berbeda – agama-agama yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya agama yang benar (Surah 10,19; 11,118; 21,92; 43,33).

 

2. Islam adalah agama terakhir dan sempurna, agama penutup dan universal. Ia diwartakan oleh nabi Muhammad, “Penutup para nabi”, sebagai satu-satunya jalan kebenaran menuju keselamatan (Surah 3,19.73.85.110; 5,3; 9,33; 43,28; 61,9).

 

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur'ān) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walupun orang-orang musyrik tidak menyukainya" (QS. 9:33; 61,9).

 

Konsekwensinya jelas, bahwa agama Islam beserta segala tuntutannya diarahkan pada seluruh umat manusia (Surah 7,158; 34,28). Hanya ada dua kemungkinan bagi agama-agama yang lain: atau salah (penyembah berhala dan politeisme) atau mereka hanya memiliki paruh kebenaran (seperti “Agama-agama wahyu”: agama Yahudi dan agama Kristiani). Karena kekhasannya ini, agama Islam harus disebarluaskan lewat pewartaan (da’wa: Undangan untuk menjadi Muslimin/Muslimat, setara dengan ungkapan ‘misi’ dalam agama Kristiani), kalau mungkin dengan kekuatan senjata atau pedang. Ditilik dari sejarah, pada mulanya agama Islam memulai penyebarannya dengan cara damai lewat seruan untuk bertahan berhadapan dengan penganiayaan (di Mekka); kemudian ia menghalalkan juga senjata atau pedang (di Medina). Setelah wafatnya Nabi, “usaha penaklukan besar-besaran” yang dilakukan oleh pihak Islam “membuka” jalan bagi misi Islam di banyak negara. Pada tahun-tahun sesudahnya banyak perang dilakukan atas nama Islam, baik itu perang agresi maupun perang demi mempertahankan diri.

 

Pada umumnya usaha penaklukan bangsa-bangsa di bawah kekuasaan Islam terjadi secara bertahap dan damai, terutama di daerah-daerah yang sebelumnya sudah berada di bawah kekuasaan Islam, tetapi juga di daerah-daerah lain yang sebelumnya berada di luar jangkauan pengaruh Islam. Aktor utamanya adalah para saudagar Islam dan para alim ulama. Faktor lain yang tidak boleh dilupakan ialah tekanan sosial terhadap anggota minoritas non-Muslim di tengah mayoritas penduduk Muslim. Para apologet atau pembela Islam kontemporer sering menegaskan, bahwa agama Islam hanya disebarluaskan lewat jalan damai. Mereka lupa bahwa banyak perang dilakukan di bawah panji laskar Islam (fî sabîl Allâh), juga kalau menurut para apologet atau pembela Islam, alasan yang melandasi perang-perang tersebut selalu tertuju pada usaha mempertahankan diri dari serangan musuh.

 

3. Al-Qur’ān menggariskan prinsip bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk percaya atau tidak percaya (Surah 10,40-45; 17,84.89.107) sesuai dengan prinsip yang selalu dikumandangkan dewasa ini: „Tidak ada paksaan dalam agama-agama“ (lâ ikrâha fî l-dîn, Surah 2,256). Tetapi di pihak lain, al-Qur’ān juga menggariskan secara tegas, bahwa kaum musyrik hendaknya dituntun kepada kepercayaan atau kalau tidak dibunuh (Surah 9,5; 48,16). Sementara itu „penganut agama-agama wahyu“, orang-orang Yahudi dan Kristiani, diperbolehkan menikmati status ‚terlindung’ (dhimma). Itu berarti: Juga kalau agama-agama mereka penuh kesalahan dan kekeliruan; juga kalau dengan hadirnya agama Islam, eksistensi mereka sebenarnya tidak aktual lagi, mereka toh boleh mempertahankan hirarkinya dan menjalankan ritus-ritusnya, hanya mereka harus membayar pajak khusus (dschizya) dan tetap tinggal sebagai „kelompok kecil“ dalam artian tidak boleh menyolok dan dapat terkendali sebagai bawahan (Surah 9,29). Seorang Muslimin atau Muslimat yang meninggalkan agamanya dan memeluk agama lain, atau yang melawan agamanya secara terang-terangan, baik lewat perkataan maupun perbuatan akan dikutuk oleh Allah (Surah 3,85-90; 4,137; 16,108) dan harus dikenai hukuman mati (Surah 2,217. Ini sudah selalu ditafsirkan demikian oleh para pakar hukum, dan tafsiran ini diperkuat lagi dengan aneka hadith!).

 

4. Dewasa ini banyak negara Islam melalui wakil-wakilnya di Komisi Hak-Hak Asasi Manusia PBB menyatakan kesepahamannya dengan prinsip kebebasan beragama, sebagaimana yang dikumandangkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Pasal 18, dengan penekanan utama pada kebebasan berpikir, suara hati dan kebebasan beragama), tetapi dengan persyaratan, bahwa tak seorang pun diperkenankan untuk berpaling dari agamanya yang benar (dalam hal ini Islam) [lihat: Islamochristiana (Roma), No. 9 (1983), hal. 158-159].

 

5. Di bawah pengaruh lingkungan budaya kontemporer dan kemajemukan ideologis banyak orang Islam mulai berpandangan sebagaimana layaknya kebanyakan orang di dunia barat saat ini: Setiap orang berhak dan diberi kebebasan untuk mengikuti suara hatinya.Yang satu mengatakan, semua agama itu pada dasarnya sama; sementara yang lain malah beranggapan, bahwa agama Islam dan Kristiani itu pada dasarnya bersaudara, juga kalau secara substansial mereka bukanlah identik. Pada umumnya pernyataan dan anggapan seperti ini bukanlah suatu pengakuan akan sinkretisme atau ketakacuhan, melainkan lebih dari itu, ia adalah suatu pengakuan akan kebersamaan dalam persaudaraan dari semua umat manusia yang ingin hidup di atas fundamen iman. Banyak umat Islam malah menganut sebuah agama universal, juga kalau secara praktis ini adalah sebuah bentuk sinkretisme. Sementara itu banyak juga dari antara mereka yang percaya bahwa agama-agama – terutama agama Kristiani dan Islam – hendaknya masuk dalam sebuah dialog yang jujur dan nyata serta berusaha untuk semakin dekat sebagai saudara dan saudari. Tetapi pada akhirnya semua usaha ini diserahkan kepada Allah yang akan menuntun kita, ke mana Ia kehendaki. Tujuan yang paling penting ialah secara bersama-sama memberikan kesaksian tentang iman akan Allah.

 

III. Pandangan Kristiani

 

1. Inti dari kabar gembira yang diwartakan dan dihidupi oleh Yesus ialah pewahyuan diri Allah sebagai Bapa seluruh umat manusia, sebagai cinta yang melingkupi semua dan tanpa syarat, terutama cinta kepada mereka yang hina dan papa, kepada kaum miskin dan pendosa, juga kepada mereka yang disingkirkan dalam masyarakat. Di bawah atap cinta Allah ini Yesus ingin mengumpulkan umatNya dan seluruh umat manusia dalam dunia. Semua umat manusia – terutama „yang miskin dan papa“ – dipanggil untuk masuk dalam „Kerajaan Allah“ yang adalah kerajaan dan lingkup kekuasaan cinta Allah.

 

2. Dalam Perjanjian Baru yang memberikan kesaksian tentang iman Gereja Perdana, Yesus Kristus diperkenalkan sebagai Sabda Allah dan Pewahyuan diri Allah yang paling tinggi, terakhir dan sempurna. Dalam diri Yesus Allah mendatangi semua orang. Agama Kristiani pada dasarnya adalah agama universal. Sejarah menunjukkan bahwa sejak awal Gereja mengerti tugas pengutusannya sebagai suatu tugas universal. Pelayanannya adalah pelayanan universal – pelayanan yang mengantar semua orang kepada cinta Allah yang maha pengampun (bdk. 2 Kor 5,18-21; Eph 2,11-12).

 

3. Dari perspektif sejarah, agama Kristiani itu lahir dan berkembang atas dasar iman para rasul dan iman generasi-generasi umat Kristiani perdana yang dinamis. Kesaksian dan pewartaannya berbuah limpah, walaupun atau bahkan karena mereka mengalami penganiayaan. Setelah Edikt Milan (313 M) yang memberikan jaminan kebebasan beragama kepada Gereja, juga sekaligus yang mengantar Gereja sebagai agama imperium yang sah, agama Kristiani mulai terlibat dalam percekcokan perang dan penganiayaan orang-orang yang beragama lain sekaligus menekan mereka secara sosial. Pada prinsipnya semuanya ini berhubungan erat dengan kepentingan politik, yang sengaja diberi warna Kristiani untuk memberikan penekanan lebih pada tingkatan intensitasnya.

 

Beda kalau berbicara tentang Perang Salib, dimana motif yang melatarbelakanginya adalah motif religius murni (pembebasan makam suci). Hubungan antara kolonialisme dan misi tidak boleh diletakkan di bawah satu skema yang sama. Ada kalanya para misionaris datang bersamaan dengan kolonialisme, atau mengikuti jejak kolonialisme (misalnya kolonialisme Portugis dan Spanyol di abad ke-15 dan ke-16); pada kesempatan lain justru para misionaris yang lebih dahulu datang ke suatu tempat (misalnya Afrika Tengah, Cina dan Jepang); sementara pada kesempatan lain lagi para misionaris justru menentang kolonialisme (misalnya Las Casas di Amerika Latin dan Afrika Barat yang menjadi daerah pendudukan Perancis).

 

4. Dalam pandangan iman Kristiani, perkembangan penilaian terhadap agama-agama non-Kristiani melewati suatu jalan panjang: mulai dari Yustinus (+165) yang berbicara tentang benih rohani yang ada dalam diri setiap manusia – benih yang menantikan Sabda Allah untuk dapat menghasilkan buah sampai kepada posisi Agustinus dari Hippo (354-430) yang mengungkapkan pendapatnya dalam suatu dinamika retoris yang tajam, bahwa kebajikan orang-orang kafir itu pada dasarnya adalah suatu kemunafikan hingga bermuara pada teori-teri yang mengakui orang-orang yang tidak beragama sebagai orang-orang yang berkehendak baik (bona fide) dan karena itu tidak patut dicela. Dewasa ini dikembangkan juga teori „pierres d’attente“ yang mempunyai andil besar untuk perkembangan pengertian dan pandangan Kristiani tentang orang-orang non-Kristiani. Teori „pierres d’attente“ adalah teori yang mengajarkan bahwa dalam kepercayaan dan ajaran moral bangsa-bangsa dan budaya lain terdapat unsur-unsur yang menantikan pemenuhan dan pencerahannya dalam terang inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus.

 

Dalam segala usaha yang dilakukan sekarang untuk mengembangkan sebuah teologi agama-agama non-Kristiani yang handal, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian khusus, dimana hal yang kedua telah memicu tanggapan-tanggapan yang luas.

 

a) Penekanan pada pembedaan antara iman dan agama: Teori ini pertama-tama dikembangkan oleh teolog-teolog protestan Karl Barth (1886-1968) dan Dietrich Bonhoeffer (1906-1945) yang kemudian diambil alih oleh teolog-teolog Katolik, terutama oleh Jean Daniélou (1905-1974) dengan beberapa perubahan. Agama dimengerti sebagai gerakan alamiah segala ciptaan manusiawi menuju Allah. Agama-agama adalah manifestasi-manifestasi kolektif agama. Mereka menerjemahkannya dalam ritus-ritus dalam bentuk-bentuk kesalehan dan lain-lain. Sekurang-kurangnya dalam karya-karya awal Barth, agama-agama itu digambarkan secara negatip sebagai karya tangan manusia berhadapan dengan iman akan Sabda Wahyu. Daniélou melihatnya secara positip: Setiap kelompok atau masyarakat manusia, setiap lingkup peradaban memiliki agamanya masing-masing. Ada agama Celtic, ada agama Jermanik, ada agama Mediterania, ada agama Afrika dan ada agama India. Demikian juga dalam agama Kristiani kita bisa mendapatkan karakter-karakter serupa dalam agama-agama.

 

Di pihak lain, iman itu adalah jawaban manusia atas Sabda Allah, ya atas Allah sendiri yang mengambil inisiatip untuk berjumpa dengan makhluk ciptaanNya dan sekaligus mempertanyakan eksistensinya. Kalau agama adalah gerakan jiwa manusia menuju Allah, maka iman adalah jawaban manusia akan Sabda Allah yang menyentuh eksistensinya lewat pewahyuan diri Allah. Iman akan Yesus Kristus hendaknya „menjadi daging“ dalam setiap „agama“. Ketika iman dan agama-agama beserta budaya-budaya yang berhubungan erat dengannya bertemu dalam sebuah lingkup kontekstual yang relevan, pada saat itu ia mentransformasikan agama-agama ini dan memberikan arti baru pada ritus-ritus, hukum serta tradisinya. Daniélou akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa dengan menerima dan menganut iman Kristiani seseorang „tidak berpindah dari satu agama ke agama lain“, melainkan agama yang dianutnya ditempa dan diubah secara baru lewat perjumpaan ini.

 

b) Perbedaan atau diferensiasi antara Wahyu umum dan Wahyu khusus: Diferensiasi ini pertama-tama dikembangkan oleh Karl Rahner (1904-1984). Unsur-unsur yang penting dari pemikirannya kemudian diambil alih dan dikembangkanoleh teolog-teolog lain. Sejak bermulanya kehidupan manusia di atas bumi, Allah tidak pernah berhenti untuk mewahyukan diriNya. Dalam Kitab Suci, kesaksian pewahyuan diri Allah „secara umum“ ini tergambar dalam pewahyuan diri Allah kepada Adam, Nuh, dalam Kitab Kebijaksanaan, dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma (Rom 1,19dst). Agama-agama besar bukan Kristiani adalah manifestasi-manifestasi tingkat tinggi dari Wahyu umum ini. Tetapi Sabda Allah itu tersingkap „secara khusus“ dalam sejarah umat Allah, bermula dari Abraham hingga ke Bapa-bapa Gereja dan para Nabi, sampai akhirnya „pada zaman akhir ini“ Ia mewahyukan diri-Nya lewat Yesus Kristus yang adalah Sabda yang telah menjadi daging dan kepenuhan wahyu. Dalam Wahyu „khusus“ ini, pewahyuan diri Allah yang juga terjadi pada wahyu „umum“ dialami sebagai suatu yang menyejarah; ia mengenakan wajah manusiawi: Yesus dari Nasaret. „Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa“ (Yoh 14,9). Dengan berpatokan pada-Nya, Kehadiran Allah dalam agama-agama dapat dijelaskan.

 

Tetapi pewahyuan diri Allah dalam diri Yesus Kristuspun baru mencapai kepenuhannya pada akhir zaman (parusia). Inilah yang menjadi isi pewartaan dan dialog Gereja dalam perjumpaan dengan agama-agama lain. Dalam masa „antara“, sejarah agama-agama dan juga eksistensi agama-agama non-Kristiani berperan sebagai jembatan menuju „pencerahan arti wahyu“. Dalam lingkup pengertian ini, pengakuan akan Yesus Kristus sebagai pemenuhan wahyu, sebagai pewahyuan diri Allah dalam pribadi seorang manusia, tidak berarti meremehkan agama-agama lain atau bahkan menyangkal hubungannya dengan Allah atau penyembahannya yang benar dan sah. Pengakuan ini lebih berarti sebuah undangan untuk mengakui wahyu-wahyu yang lain sebagai kontribusi yang tidak kalah pentingnya untuk mengungkapkan arti yang penuh dan handal dari Wahyu yang sebenarnya. Dengan demikian, dalam dialog dengan agama-agama lain, agama Kristiani juga dapat diperkaya.

 

5. Berhadapan dengan Kabar Gembira sebagai kabar perdamaian dan pengampunan, agama Kristiani tidak dapat berbuat lain kecuali menyatakan kesetiaan kepadanya. Yesus menolak secara jelas dan definitip untuk menjadi seorang Mesias politis seperti yang diinginkan dan diharapkan oleh orang-orang yang hidup di jamanNya. Ia lebih memilih untuk mati daripada memberontak atas dasar kepentingan politis; lebih mengampuni daripada membalasnya dengan kejahatan. Pada peredaran waktu berikutnya, berkat bantuan Kaiser Konstantin Agung (masa pemerintahan dari tahun 306-337) Gereja berselingkuh dengan negara dalam sebuah relasi yang tak terpisahkan. Sebagai konsekuensinya Gereja akhirnya didaulat untuk berperang sekaligus membenarkannya sebagai sesuatu yang halal. Dalam dekade-dekade selanjutnya Gereja dan para Paus berusaha untuk memajukan perdamaian dan keadilanyang diutarakan dalam berbagai kesempatan. Tentu Gereja mengakui hak dari setiap individu dan bangsa untuk membela diri, juga hak, ya bahkan tugas dari pihak Gereja untuk melawan rezim-rezim politis. Tetapi setiap orang Kristiani diharapkan untuk mengedepankan aksi-aksi tanpa kekerasan di mana dan kapanpun (dan ini terbukti efektip); juga berusaha sesuai kemampuannya untuk mengatasi segala batas-batas teosentris, nasionalisme, ideologi-ideologi agama yang fanatik beserta potensi-potensi kekerasan yang terkandung di dalamnya.

 

6. Iman adalah sebuah karunia Allah yang bebas. Sebagai karunia, ia dapat diterima atau ditolak oleh manusia. Sejarah menunjukkan bahwa banyak usaha „konversi“ dilakukan di bawah paksaan (misalnya Karl Agung dan orang-orang Saxony). Atau juga kasus-kasus lain, dimana konversi terjadi atau sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh motif-motif manusiawi dan faktor-faktor sosial.

 

Dalam tubuh Gereja pernah berkembang suatu dominasi pandangan dan pemikiran dalam sebuah kurun waktu yang lama, bahwa sistem yang paling baik dari hubungan antara Gereja dan negara ialah sistem yang memaklumkan agama Kristiani sebagai agama negara dan sistem yang „tidak memberikan tempat bagi kesalahan dan kekeliruan“. Benar, bahwa sejak awal Gereja selalu menonjolkan kebebasan, dan bahwa setiap orang boleh menganut agama Kristiani tanpa diskriminasi; tetapi bagaimanapun juga, dalam hal mengakui kebebasan setiap orang Kristiani untuk menginterpretasikan imannya secara pribadi, atau menanggalkan iman dan „berpindah ke agama lain“ (bdk. Inquisition), agama Kristiani bersikap lebih hati-hati. Dengan mengenal proses-proses yang panjang dan kadang menyakitkan seperti ini, di dalamnya gagasan-gagasan kebebasan beragama berkembang, kita menjadi lebih mengerti sikap-sikap, reaksi dan kesulitan-kesulitan dari pihak Islam dalam hubungan dengan pemahamannya tentang kebebasan beragama.

 

Sejak Konsili Vatikan II dan Deklarasinya tentang kebebasan beragama, sikap Gereja dalam hal ini menjadi lebih jelas, setidaknya pada taraf normatif: Kebebasan beragama adalah satu dari hak-hak manusia yang paling asasi. Jalan misi hendaknya diiringi oleh rasa hormat terhadap martabat dan nilai-nilai kehidupan manusia. Karena itu yang paling menentukan adalah kesaksian dalam dan melalui relasi dialogis. Pada hakekatnya iman itu adalah tawaran dan undangan (bdk. 2 Kor 5,20), bukan suatu paksaan (faith always is to be proposed not imposed, artinya iman adalah suatu yang hendaknya dianjurkan kepada orang lain dan bukan dipaksakan). Setiap orang secara pribadi bebas dan bertanggungjawab terhadap pilihan pribadinya dalam terang suara hatinya dan di hadapan Allah.

 

IV. Orang Kristiani Menjawab

 

1. Dalam hubungan dengan kemajemukan agama-agama

 

Kemajemukan agama-agama adalah suatu rahasia. Di satu pihak kemajemukan ini berhubungan erat dengan kepedulian Allah terhadap kebebasan manusia, di lain pihak ia juga berhubungan erat dengan kondisi alami dari perkembangan manusia sejagat yang religius dan kultural. Berabad-abad lamanya kelompok-kelompok besar manusia sejagat hidup dalam isolasi satu dengan yang lainnya, di Eropa, Asia dan Amerika. Dewasa ini dunia ditandai oleh aneka macam jaringan dan kesadaran akan saling ketergantungan satu dari yang lain.

 

Memang pada sat ini masih terdapat begitu banyak ketegangan dan konflik-konflik militer/perang antara kelompok-kelompok manusia. Di sini agama-agama memainkan peran penting dan merasa bertanggung jawab untuk mengejawantahkan keadilan dan harmoni yang lebih besar dalam hubungan antar bangsa, antar blok-blok ekonomi dan antar kelompok-kelompok budaya dalam dunia. Setiap konflik (polemik, Proselitisme yang kurang arif) antar agama hendaknya disingkirkan, terutama sinkretisme yang merusak originalitas dan autentitas agama.

 

Hanya dialog dan proses saling belajar dapat membuka jalan bagi agama-agama menuju kebersamaan dalam kebhinekaan, dimana manusia dapat saling mengenal dan mengerti dalam keanekaannya. Yang dimaksudkan bukanlah menyangkal perbedaan, tetapi lebih pada usaha untuk mengerti dan memahami keberadaannya. Dialog di sini berarti juga saling memberikan kesaksian imannya sekaligus mengundang yang lain untuk lebih mengenal dan mengakui apa yang ia anggap benar dan patut dihargai. Dalam hubungan dengan ini seluruh kaum beriman dari agama-agama yang berbeda hendaknya berusaha sedapat mungkin untuk secara bersama-sama memberikan kesaksian tentang iman, termasuk usaha mencari jalan menuju persatuan dalam penyerahan diri yang rendah hati di bawah kehendak Allah.

 

2. Keanekaan agama-agama „universal“

 

Sudah menjadi kenyataan bahwa agama Kristiani dan agama Islam masing-masingnya mengklaim diri sebagai agama universal. Tidak ada alasan yang mendasari pertanyaan, mengapa mereka harus menanggalkan klaimnya ini. Segalanya bergantung pada bagaimana menerapkan metode-metode yang cocok untuk bisa merealisir klaimnya atas universalitas agama bersangkutan. Metode-metode yang didasarkan pada ambisi individu dan kolektip tidak cocok lagi untuk zaman ini dan hendaknya ditanggalkan: Metode yang mengandalkan bantuan kekuatan politik, metode kekerasan, perang, paksaan dalam segala bentuknya – juga bentuk paksaan yang tersirat. Satu-satunya jalan yang dapat diterima dan pantas di hadapan Allah dan manusia untuk mengedepankan nilai-nilai yang baik dan benar sebagai nilai-nilai yang diakui secara universal, ialah memberikan kesaksian tentang iman yang hidup, mengadakan dialog dan kontes spiritual atas dasar rasa hormat pada keputusan-keputusan bebas dari setiap pribadi dan atas dasar suara hatinya.

 

3. Agama-agama bertanggung jawab atas perang

 

Kita harus secara jujur mengakui, bahwa di masa lalu agama-agama bertanggung jawab, atau sekurang-kurangnya ikut bertanggung jawab atas perang-perang yang masih terus berkelanjutan sampai hari ini. Segala-galanya berhubungan dengan pertanyaan tentang terang dan gelap. Dalam perjalanan sejarah faktor agama sudah pernah ikut andil dalam menghindarkan atau memperkecil kemungkinan kekerasan. Kita ingat misalnya institusi “wilayah damai Allah” (“Landfrieden Gottes” dari pihak Kristiani) di abad pertengahan, atau juga akan persyaratan-persyaratan yang ketat yang terdapat dalam hukum Islam menyangkut perihal sebuah “perang adil”.

 

Juga kita tak boleh lupa akan kepedulian agama-agama terhadap para tawanan perang dan korban-korban tak bersalah, dll. Harus diingat, bahwa alasan utama yang menjadi dasar perang-perang agama, pertama dan terutama tidak terletak pada permusuhan antar agama, melainkan kecanduan dan haus akan kekuasaan dari segelintir individu dan kelompok-kelompok (kerajaan, dinasti dan bangsa-bangsa). Mereka memperalat agama untuk memuaskan ambisi pribadi dan kolektip. Dalam hubungan dengan konflik-konflik aktual seperti yang terjadi di Libanon, Irlandia Utara, daerah Balkan, Philipina dan Afganistan, perlu untuk mengkritisi informasi-informasi sebelum mengangkat motif-motif religius sebagai penyebabnya. Adalah sangat murah dan sederhana kalau kita secara gegabah menyatakan konflik-konflik ini sebagai konflik agama. Kenyataan yang berbicara ialah bahwa dalam kasus-kasus konflik itu para pengelola atau pemimpin agama-agama bukanlah pemicu utama konflik. Sebaliknya mereka justru secara jelas menunjukkan komitmennya dalam hubungan dengan penegakan perdamaian dan usaha rekonsiliasi.

 

4. Tentang kebebasan beragama(64)

 

Kebebasan beragama adalah salah satu dari hak-hak setiap manusia yang tak dapat diganggu gugat. Menekan kebebasan ini ataupun membelenggunya berarti menghina Tuhan dan manusia itu sendiri. Adalah hubungan antara agama dan negaralah (atau dewasa ini disebut juga dengan hubungan antara nasionalisme dan negara atau antara Atheisme praktis dengan corak kapitalis atau sosial dengan aparatur negara) yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran berat dalam bidang ini, baik di masa lalu maupun masa kini. Semua agama mempunyai hak untuk membebaskan diri dari sistem-sistem ini dan berusaha untuk mematahkan resistensi terakhir dari sistem-sistem ini untuk menghalangi secara efektif penegakkan kebebasan beragama.

 

Setiap orang, entah Kristiani atau Muslim, hidup dan mengusahakan solidaritas dengan masyarakat agamanya sendiri atau dengan kelompok beserta segala usahanya menuju perdamaian dan kesejahteraan, entah itu dengan kelompok umma atau Gereja. Bersamaan dengan ini hendaknya digarisbawahi penghormatan atau respek terhadap keputusan bebas dari setiap pribadi berhubungan dengan iman dan agama yang dianutnya, sejauh keputusan itu diambil atas dasar suara hati dan dalam terang cahaya yang dikaruniakan Allah. Satu-satunya hukum yang mengikat dalam lingkup keputusan ini ialah suara hati nurani yang selalu berusaha secara jujur untuk mencari kebenaran. Hanya Allahlah yang dapat menyelidiki hati dan menghakiminya. Untuk bisa menganut iman dan agama yang sejati, seseorang harus dapat memilih atau menolaknya dalam kebebasan total. Yang dituntut dari setiap kita ialah selalu berusaha untuk mencari kehendak Allah.

______________________________________________________________

  • (64) Dengan dokumen Dignitatis Humanai, Gereja Katolik mewajibkan dirinya tanpa syarat untuk mendukung asas-asas kebebasan beragama di dalam masyarakat.

_________________________________________________________

Penerjemah: Dr. Markus Solo Kewuta

Kontak

J. Prof. Dr. T. Specker,
Prof. Dr. Christian W. Troll,

Kolleg Sankt Georgen
Offenbacher Landstr. 224
D-60599 Frankfurt
Mail: fragen[ät]antwortenanmuslime.com

More about the authors?